Selasa, 07 Maret 2017

Kampanye

Kampanye
Putu Setia  ;   Pengarang;  Wartawan Senior Tempo
                                                         TEMPO, 04 Maret 2017

                                                                                                                                                           
                                                                                                                                                           

Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud turun dari pesawat dengan menggunakan tangga berjalan yang khusus didatangkan dari negerinya, Arab Saudi. Di bawah, sudah menunggu Presiden Joko Widodo. Salaman pun dimulai. Lalu ada yang menyodorkan tangan untuk bersalaman dengan Sang Raja. Ia adalah Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Raja Salman pun menyambut tangan Ahok seperti menyambut tangan-tangan yang lain.

Yang viral di media sosial dan heboh di layar televisi bukan salaman Raja Salman dengan Presiden Jokowi, melainkan Raja dengan Ahok. Kok bisa? Bukankah Ahok sebagai Gubernur DKI sudah biasa-dan sesuai aturan protokol-ikut menjemput tamu negara? Ahok semata menjalankan "tugas dinas" sebagai Gubernur DKI. Jadi itu hal yang biasa saja.

Menjadi tidak biasa karena Jakarta sedang memilih gubernur baru dan Ahok kembali mencalonkan diri sebagai kandidat inkumben. Karena itu, setiap adegan yang bisa mengangkat citra dirinya menjelang putaran kedua pilkada ini pasti dilakukan Ahok. Ia menyiapkan tim, dan kedatangan Raja Salman sudah diperhitungkan bisa dijadikan ajang kampanye. Tak sampai hitungan jam, salaman Raja Salman dengan Ahok sudah di-posting di akun pribadi Ahok-sudah pasti ini pekerjaan tim. Lalu para "pencinta Ahok" ramai-ramai menyebarkannya. Bahkan, tutup kepala Raja Salman yang bercorak kotak-kotak pun disebut sebagai "kode mendukung Ahok". Betul kata seorang teman, ada yang hilang dalam pilkada DKI Jakarta ini, yakni kejernihan.

Bisa jadi Ketua KPU Jakarta Sumarno sudah memprediksi ada kampanye terselubung seperti ini dan dia ingin menjernihkan masalah. Caranya, dengan melegalkan kegiatan yang dilakukan oleh calon-calon gubernur sehingga tidak ada kampanye terselubung. Semua kampanye harus terang-benderang, adil untuk semua calon. Ini berarti mau tak mau Ahok diharuskan cuti selama masa kampanye putaran kedua pilkada DKI Jakarta.

Surat keputusan KPU DKI tentang kampanye ini sedang diproses yang didahului uji publik. Namun kubu Ahok langsung belingsatan. Juru bicara tim pemenangan Ahok, Gusti Putu Artha, mantan anggota KPU pusat, siap melaporkan KPU DKIke Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu (DKPP) apabila memberlakukan kampanye pada putaran kedua pilkada DKI.Alasannya, Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2016 tak ada menyebut kampanye tatap muka dan penyebaran brosur. Yang ada hanya penajaman visi-misi program dalam bentuk debat. Namun Sumarno menyebut dasar hukum itu sesuai dengan undang-undang dan KPU DKI boleh membuat keputusan tentang kampanye putaran kedua.

Yang hilang dari pilkada DKI adalah kejernihan-mengutip lagi suara teman. Bukan saja nalar tak jernih, juga tak jernih melihat kenyataan. Kalau kampanye hanya diisi debat dan tidak ada tatap muka, bagaimana keadilan bisa diwujudkan untuk kedua pasangan calon? Ahok setiap pagi bertatap muka dengan warga Jakarta yang datang ke Balai Kota. Bisa pula setiap hari "dinas" sebagai gubernur, meresmikan proyek atau memberi bantuan sosial. Salaman dengan Raja Salman saja diunggah dalam hitungan menit ke media sosial, bagaimana dengan "dinas kerja" lainnya? Apa Ahok tidak boleh keluar dari ruang kerjanya seraya menunggu pencoblosan? Pasti ramai lagi protes: gubernur kok tak mengurusi warganya.

Pelajaran dari pilkada Jakarta ini adalah undang-undang dan peraturan yang menyangkut pemilu dan pilkada tidak rinci mengatur putaran kedua, sehingga niat KPU DKI membuat aturan kampanye yang mengharuskan inkumben cuti lagi dicurigai sebagai tidak netral. Itu saja, titik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar