Tasbih dan Jati Diri NU
Ali Maschan Moesa ; Wakil Rais Syuriah PW NU Jatim; Guru Besar
UINSA
|
JAWA
POS, 05 Agustus 2015
KONON, ketika Kiai Wahab Hasbullah selalu memohon kepada
Hadhratu al-Syaikh KH M. Hasyim Asy’ari untuk mendirikan wadah bagi kiai
pesantren, Kiai Wahab mendahului dengan mendirikan nahdlatu al-wathan
(kebangkitan bangsa), nahdlatu al-tujjar (kebangkitan para pedagang), dan
tashwir al-afkar (publik opini). Akhirnya, Hadhratu al-Syaikh meminta kepada
gurunya, Syaikhana Khalil dari Demangan Bangkalan, untuk melakukan sembahyang
istikarah.
Alhamdulillah, setelah melakukannya, beliau mendapat
beberapa isyarat yang diyakini bahwa para kiai diizinkan Allah SWT untuk
mendirikan sebuah organisasi yang akhirnya dinamai Nahdlatul Ulama (NU).
Beberapa isyarat tersebut dibawa ke Tebuireng oleh seorang kurir, yaitu KH
As’ad Syamsul Arifin.
Isyarat yang dimaksud adalah ’’Surah Thaha 17– 23’’ dan
sebuah tasbih.
Menurut penuturan para kiai, ayatayat tersebut bermakna
komitmen empowerment of society, khususnya kepada
fuqara’-masakinmustadh’afin. Di dalam ayat-ayat tersebut, terdapat kosakata
’asha (tongkat Nabi Musa AS) yang memberikan isyarat komitmen NU terhadap
eksistensi NKRI sebagai nation-state yang final.
Karena itulah, pada Muktamar Ke27 di Situbondo, NU
menegaskan bahwa NKRI yang berdasar Pancasila dan UUD 1945 adalah bentuk
final bagi umat Islam untuk mendirikan sebuah negara. Adapun makna sebuah
’’tasbih’’ adalah dimensi spiritualitas dalam menjalankan ajaran agama.
Dimensi spiritualitas atau tasawuf itulah –pada dasarnya– yang menjadi jati
diri NU.
Sebagaimana diketahui, garis besar ajaran Islam adalah
iman, Islam, dan ihsan. Setelah seratus tahun Rasul SAW wafat, barulah
ilmunya disusun para ulama dengan sebutan akidah, syariat, dan akhlak yang
sehari-hari juga lebih umum disebut tauhid, fikih, serta tasawuf. Di antara
tiga ajaran tersebut, para kiai sadar benar bahwa ketika Rasul SAW berada di
Makkah, ayat-ayat akidah dan akhlak diturunkan lebih dahulu. Setelah beliau
hijrah ke Madinah, barulah turun ayat yang berisi ajaran syariat. Hal itu
bermakna, dalam beragama, dimensi akidah dan tasawuf-lah yang harus
didahulukan dalam konteks pengamalan keagamaan secara tepat.
Dalam konteks spiritualitas, saat ini populer kosakata ESQ
(kecerdasan spiritual). Menurut penelitian yang mutakhir, ternyata kesuksesan
manusia ditentukan oleh IQ (kecerdasan otak) hanya sekitar 27 persen,
sedangkan ESQ mencapai dua kali lipatnya, yaitu sekitar 55 persen. Unsur life
skill menempati sisanya.
Merujuk pemahaman tersebut, NU memandang bahwa komponen
dasar Islam ahlu al-sunnah wa aljamaah adalah akidah, syariat, dan akhlaq.
Sebagai sumber motivasi masyarakat, agama sangat berperan dalam menumbuhkan
sikap dan perilaku yang egalitarian. Implementasinya kemudian diatur dalam
rumusan syariat sebagai katalog lengkap dari perintah, larangan, tausiah,
serta pengatur lalu lintas aspek-aspek kehidupan manusia.
Karena itu, Islam dan public good mempunyai titik singgung
yang kuat jika keduanya dipahami sebagai sarana untuk menata kehidupan
manusia secara menyeluruh. Namun, Islam tidak boleh dijadikan instrumen dan
legitimasi terhadap kepentingan dunia saja. Apalagi dipahami sebagai sarana
perjuangan untuk menduduki struktur kekuasaan belaka.
Dalam konteks inilah, NU tidak merespons formalisasi
syariat Islam yang sudah lama muncul di tanah air yang pluralis ini. Sejak
negara ini akan diproklamasikan, wacana pemberlakuan syariat telah diupayakan
kalangan pejuang Islam santri, yang berhadapan dengan pejuang Islam
nasionalis, yang kemudian disepakati bahwa Indonesia bukan negara agama.
Memang, seluruh umat Islam tentu harus melaksanakan ajaran
agama. Persoalannya, apakah syariat harus dilembagakan sehingga harus ada
kontrol dari negara dengan membentuk polisi syariat? Bukankah itu berarti
dominasi negara kembali terjadi atas warganya yang semestinya diberi
kebebasan untuk mengurus agamanya?
Dalam konteks seperti itulah, NU berpandangan bahwa visi
kemanusiaan dari syariatlah yang paling penting untuk diimplementasikan
secara lebih optimal daripada formalisasi syariat. Formalisasi syariat
dikhawatirkan mengakibatkan syariat tidak lagi mencerminkan kesantunan sosial
dan pembelaannya kepada dhuafa mustadh’afin. Dalam hal ini, mereka merasa
diawasi ’’tuhan-tuhan kecil’’ yang menjadi polisi syariat yang siap menghukum
pemeluknya.
Dua kemungkinan yang sama buruknya harus dihindarkan.
Yaitu, politisasi agama untuk kepentingan politik tertentu atau agamanisasi
politik. Politisasi agama berarti menggunakan simbol-simbol agama untuk
menggerakkan massa untuk menyusun kekuatan di parlemen dan seterusnya, namun
tujuannya adalah menjadikan agama as a
tool of political engeneering. Sementara itu, agamanisasi politik berarti
menjadikan politik seperti agama yang berdimensi dunia akhirat.
Akhirnya, catatan yang bisa dikemukakan, seluruh warga NU,
khususnya mereka yang akan menjadi imam dalam Muktamar Ke-33 NU, hendaknya
memahami betul dimensi spiritual yang semakin tipis. Dalam konteks recovery keutuhan jamiyyah, hal itu sangat penting. Sebab, sangat terasa hari ini
kurangnya rasa ukhuwah di antara para ulama. Padahal, sumber kekuatan NU
terletak pada mereka. Lebih lanjut, lihat saja pembahasan tata tertib
muktamar di Jombang lalu yang sampai menyita waktu selama dua hari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar