Memilih Pemimpin NU di Akhir Zaman
A Halim Iskandar ;
Ketua DPW PKB Jawa Timur; Ketua
DPRD Jawa Timur
|
JAWA
POS, 01 Agustus 2015
BERMULA dari pesantren Demangan di Madura asuhan Syaikhona
Kholil Bangkalan yang kemudian mengader ulama-ulama besar, mulai Kyai As’ad
Syamsul Arifin di Jawa Timur hingga Abah Sepuh di Jawa Barat. NU lahir dari
jaringan pesantren yang kemudian menjelma menjadi jaringan organisasi para
ulama yang fakih, wira’i dan zuhud. Dengan kata lain, NU merupakan pesantren
besar dan bukan sekadar ormas semata. Tanpa adanya pesantren, maka takkan
berdiri NU. Pesantren pulalah yang mengader ulama. Tidak ada ulama yang alim
berkat didikan universitas. Ulama, pesantren, dan NU merupakan tiga hal yang
tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu, Muktamar Ke-33 NU di Jombang ini
harus menjadi momentum kebangkitan besar pesantren sekaligus ulama.
Membangun kaderisasi NU
Tercatat sejak era Reformasi dimulai, tiba-tiba NU secara
mengejutkan banjir kader. Banyak tokoh besar, akademisi, birokrat dan
pejabat, anggota parlemen, pengusaha, dan juga politisi tidak takut
menyatakan dirinya sebagai warga NU, kemudian berusaha dan ”dimasukkan” dalam
struktur kepengurusan NU. Artinya, era Reformasi telah menghapus rasa rendah
diri warga NU yang selama Orde Baru takut atau ditakut-takuti untuk mengakui
sebagai nahdliyyin.
Booming kader itu baik dan pernah dipraktikkan dalam
sejarah NU masa lalu. Ketika NU lepas dari Masyumi dan menjadi kontestan
pemilu, saat itu tokoh Masyumi Isa Anshari bertanya kepada Kiai Wahab
Hasbullah tentang minimnya kader NU yang siap mengisi pos-pos politik dan
pemerintahan. Kiai Wahab dengan enteng menjawab, ”Jika saya akan membeli
mobil baru, penjual mobil takkan bertanya kepada saya ’apa tuan bisa
mengemudi?’ Pertanyaan seperti itu tidak perlu. Sebab, andai kata saya tidak
dapat mengemudi, saya bisa memasang iklan mencari sopir, nanti datang
pelamar-pelamar sopir antre di depan rumah saya.” (Andree Feillard:1999:46)
Hari ini NU tidak perlu memasang iklan mencari kader baru.
Arus urbanisasi santri desa serta NU-isasi yang massif telah mendorong orang
gampang sekali masuk NU dan tibatiba menjadi pengurus penting. Namun, patut
menjadi catatan bahwa NU di zaman Kiai Wahab Hasbullah adalah NU yang
menempatkan posisi ulama dalam status begitu penting. Alhasil, meski figur
ironik seperti Subhan Z.E. muncul menghentak, hal itu tidak serta-merta
melikuidasi posisi pesantren salaf serta peran Kiai Wahab Hasbullah atau Kiai
Idham Khalid.
Pertanyaannya, bagaimana Muktamar Ke-33 NU dapat mengembalikan
dan mempertahankan marwah pesantren dan kiai. Salah satunya, penerapan
mekanisme AHWA. Bagi penulis, penerapan AHWA bukan semata-mata mekanisme
tersebut merupakan mekanisme yang sesuai dengan asas musyawarah mufakat dalam
AD/ART NU maupun sekadar menghindari intervensi politik dan isu politik uang.
Lebih penting dari semua itu, AHWA pada dasarnya sejenis cara untuk
menempatkan NU agar selaras dengan manhaj Aswaja, baik dalam berpikir,
berperilaku, maupun beribadah.
Dalam logika ijtima’iyah Aswaja, jamak diketahui bahwa
pemimpin baik akan lahir dari masyarakat yang baik. Jika masyarakat saleh,
pemimpinnya saleh. Terkenal kisah Sayyidina Ali yang diprotes rakyat tentang
situasi pemerintahan Sayyidina Ali yang kisruh dan tidak tenteram sebagaimana
masa Sayyidina Abu Bakar dan Umar. Sayyidina Ali dengan diplomatis menjawab,
”Jika di masa Abu Bakar kehidupan tenteram karena yang menjadi rakyat adalah
saya dan sahabat-sahabat lain, di masa saya tidak tenteram karena yang
menjadi rakyat
adalah kalian semua.”
Dalam kepemimpinan NU saat ini, tidak sedikit di antara
kita menjumpai kasus-kasus ironis seperti rais syuriah dan ketua tanfidziyah
yang tidak memiliki kedalaman ilmu agama, bahkan tidak dapat membaca
kitab-kitab kuning. Dulu, jangankan pengurus tingkat cabang atau wilayah,
banyak pengurus tingkat ranting yang hafal Alfiyah. Kini hal itu sulit
dijumpai. Lebih parah lagi, terkadang ketua tanfidziyah, bahkan rais syuriah,
adalah orang yang tidak paham pesantren dan terkadang salah memahami bahwa NU
sebagai jamiyyah bukanlah parpol.
Karena itu, penulis berpandangan bahwa AHWA layak
diterapkan bukan hanya dalam muktamar, namun juga dalam konferwil, konfercab,
bahkan sampai pemilihan pimpinan tingkat ranting. AHWA dapat dipilih dari
kiai-kiai pesantren salaf yang bertebaran di Nusantara. Para kiai yang
benar-benar ulama itulah yang kemudian menetapkan rais syuriah sekaligus
ketua tanfidziyah. Di tangan para ulama, pemimpin yang tidak fakih, tidak
wara’ tidak akan terpilih. Berbeda jika mekanisme pemilihan diserahkan kepada
warga NU yang bisa jadi memilih tidak berdasar atas kriteria kealiman dan
kezuhudan, namun hanya berdasar logika dangkal dan oportunistis.
Para ulama anggota AHWA harus figur yang alim dan dipilih
dari pesantren. Pesantren-pesantren yang memiliki kriteria, antara lain,
memiliki kesejarahan dengan NU, berkurikulum salaf/mengajarkan kitab-kitab
salaf, dan memiliki santri yang banyak, minimal 1.000 santri. Para ulama AHWA
juga harus memahami NU sebagai jamiyah nahdliyyah.
Selain diterapkan dalam mekanisme pemilihan pengurus di
semua level, mulai ranting hingga wilayah, dalam pemilihan ketua tanfidziyah
dan rais syuriah, menurut hemat kami, AHWA seharusnya diterapkan dalam
mekanisme pemilihan ketua umum PB NU serta ketua tanfidziyah di level wilayah
dan cabang. Alangkah indahnya jika ketua umum dan rais am terpilih berdasar
logika bersih dari hati nurani yang sehat para ulama anggota AHWA. Alangkah
bijaknya jika ketua umum dan rais am terpilih berdasar isyarat langit melalui
istikharah dan munajat ulama-ulama saleh itu. Di masa ini, pengurus yang
terpilih berdasar restu langit mutlak dibutuhkan di tengah besarnya tantangan
yang dihadapi Aswaja.
Karena itulah, hemat penulis, Muktamar Ke 33 NU ini harus
mengatur penerapan AHWA sampai level kepengurusan NU paling bawah serta
menghasilkan aturan teknis tentang penerapan AHWA seperti merumuskan kriteria
pengurus NU. Di antara kreteria tersebut, memiliki kedalaman ilmu agama, atau
alim dan memahami dunia pesantren salaf. Selain itu, pucuk-pucuk pimpinan NU
harus mandiri secara ekonomi. Mengapa harus mandiri secara ekonomi karena
martabat ulama akan tetap terjaga jika para pengurus NU tidak menjadi manusia
proposal yang terkadang menggadaikan martabat ke-NU-annya.
Kemandirian ekonomi akan meninggikan martabat itu, mirip
dhawuh Imam Syadzili: ”Aku ini kaya. Karenanya, wahai para penguasa, jangan
kasihani aku”. Dhawuh itu sering dilontarkan Imam Syadzili bersamaan dengan
pameran materi yang dimilikinya.
Ulama NU yang kaya sifat beraninya takkan turun, tetap
kritis, dan mandiri terhadap penguasa. Hal penting lainnya adalah pengurus NU
semua tingkatan harus memahami NU secara mendalam serta memahami betul bahwa
NU bukan partai politik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar