Dampak Kesepakatan Nuklir Iran
Smith Alhadar ; Penasihat
ISMES; Staf Ahli Institute for Democracy Education (IDe)
|
KOMPAS,
05 Agustus 2015
Setelah perundingan maraton 18
hari yang melelahkan di Vienna, Austria, pada 14 Juli, Iran dan P5+1 mencapai
kesepakatan final bersejarah atas program nuklir Iran. P5+1 adalah enam
kekuatan dunia: AS, Rusia, Tiongkok, Inggris, Perancis, dan Jerman.
Tercapainya kesepakatan ini tak
lepas dari sanksi ekonomi PBB, AS, dan Uni Eropa (UE) yang telah memukul ekonomi
Iran. Di lain pihak, AS juga
menghadapi masalah di kawasan Ukraina,
Asia Pasifik, dan masalah internal. Tadinya, harapan AS dan UE agar musim
semi Arab berdampak pada Iran ternyata tidak terwujud.
Dampak
internal-regional
Kesepakatan ini punya implikasi
signifikan atas identitas Iran. Sejak Revolusi 1979, Iran mendefinisikan
dirinya sebagai penentang kekuatan global, khususnya AS yang disebut
"Setan Besar". Ini dapat dilihat dari pernyataan pemimpin tertinggi
Iran Ayatullah Ali Khamenei di hadapan mahasiswa di Teheran (11 Juli 2015) bahwa inti dari revolusi Iran adalah
melawan arogansi global AS.
Hal ini tentu tak diharapkan oleh
Washington yang berharap kesepakatan ini akan mengakhiri permusuhan Iran-AS.
Apalagi, Khamenei juga menyerukan agar mahasiswa melanjutkan perjuangan
melawan AS. Mengingat Khamenei telah memberikan mandat kepada tim perunding
Iran untuk mencapai kesepakatan dengan P5+1, dengan memberikan konsesi
secukupnya, kita harus menganggap pernyataan Khamenei itu hanya untuk konsumsi
dalam negeri.
Kesepakatan yang merintangi
aktivitas program nuklir Iran hingga ke batas di mana Iran dianggap tidak
mungkin membuat bom nuklir, setidaknya hingga 10 tahun ke depan, telah
mengecewakan kelompok garis keras dalam negeri. Kesepakatan itu dinilai
menghilangkan identitas Iran yang dibangun pemimpin revolusi, Ayatullah
Ruhullah Khomeini (alm).
Hilangnya identitas itu tentu
sangat menyakitkan. Khamenei, pengganti Khomeini, tidak memiliki kharisma dan
kedudukan keagamaan yang sama dengan Khomeini. Hal ini membuat Khamenei
selalu mencari titik kompromi di antara kelompok-kelompok yang bertikai.
Dalam konteks inilah, pernyataan
Khamenei harus diletakkan. Hilangnya identitas itu akan menelanjangi Iran
sebagai negara yang menjalankan politik sektarian, yaitu mendukung kelompok
Syiah di mana pun, yang membawa konflik dengan negara-negara Arab Sunni di
kawasan, seperti Arab Saudi.
Kesepakatan membuat kubu reformis
yang berkuasa memiliki kesempatan lagi untuk memperkokoh eksistensi mereka.
Dulu, selama dua periode pemerintahan reformis (1997-2005) gagal total karena
tidak didukung lingkungan internasional. Ratusan media reformis dan
kelonggaran kode berpakaian bagi perempuan dan musik Barat tak dapat diteruskan, menyusul memburuknya kondisi
ekonomi. Inflasi dan pengangguran sangat tinggi. Mata uang riyal Iran terjun
bebas.
Faktor-faktor inilah yang membuat
Mahmoud Ahmadinejad-Wali Kota Teheran yang sederhana dan pekerja keras dari
kubu konservatif-menang mudah dalam Pemilu 2005. Pemilihnya kelas menengah ke
bawah yang paling terkena dampak ekonomi. Namun, pemerintahan Ahmadinejad pun
gagal lantaran dikenai sanksi ekonomi dan isolasi politik yang lebih berat
oleh PBB, AS, dan UE, menyusul sikap kerasnya dalam soal program nuklir dan
retorika anti-semitnya. Ini membuat
Hassan Rouhani dari kalangan reformis mengalahkan lawan dari kubu konservatif
dalam Pemilu 2013.
Dicabutnya sanksi memungkinkan
pemerintahan Presiden Hassan Rouhani mendapatkan kembali dana Iran sekitar
100 miliar-150 miliar dollar AS yang dibekukan di bank-bank luar negeri. Uang sebanyak itu
bisa dipakai sebagai kompensasi bagi kelompok garis keras, membangun
infrastruktur, dan memperluas serta meningkatkan kapasitas industri Iran.
Kelompok garis keras di parlemen bisa saja bersuara keras, tapi sejumlah
jajak pendapat di Iran menunjukkan mayoritas rakyat Iran menyukai AS.
Kalau Iran gembira, tidak demikian
dengan Israel dan Arab Saudi. Selama bertahun-tahun Iran menjadi mimpi buruk
bagi mereka. Saking takutnya, PM Israel Benjamin Netanyahu, pada Maret lalu,
berkunjung dan berpidato di Kongres AS, dengan melangkahi Gedung Putih.
Pidato Netanyahu yang provokatif itu bertujuan menjegal kesepakatan yang
masih bersifat tentatif ketika itu.
Pencabutan sanksi atas Iran memang
mengubah perimbangan kekuatan di Timur Tengah. Setelah Perang 1967, Israel
belum pernah merasa rentan seperti saat ini. Toh, Iran tidak mengakui
eksistensi Israel, tidak mendukung Otoritas Palestina pimpinan Presiden
Mahmoud Abbas dari faksi Fatah, dan hanya mendukung Hamas dan Jihad Islami.
Arab Saudi pun mengambil langkah
yang tidak biasa. Mendiang Raja Abdullah bin Abdul Aziz menawarkan suplai minyak murah berjangka
panjang kepada Presiden Xi Jinping
asalkan Tiongkok mau menjegal kesepakatan program nuklir Iran. Gagal dengan
Tiongkok, Saudi membangun aliansi dengan Perancis dan Rusia.
Pada Mei, Presiden Perancis
Francois Hollande menghadiri KTT GCC di Riyadh untuk membicarakan nuklir Iran
dan kerja sama pertahanan. Pada akhir Juni, Wakil Putra Mahkota Arab Saudi
Mohammad bin Salman bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin di Moskwa.
Permintaan Saudi agar Rusia menarik dukungan terhadap Presiden Suriah Bashar
al-Assad dukungan Iran tidak dikabulkan. Namun, Rusia menyetujui kerja sama
pertahanan dengan Saudi dan pembangunan 16 reaktor nuklir sipil di sana untuk
menandingi Iran. Hal ini menandai lomba nuklir di kawasan. Toh, Mesir juga
telah menyatakan akan mengikuti jejak Iran.
Terkait Afganistan, pemerintahan
Presiden Ashraf Gani dukungan AS dan Iran
terlalu rapuh, sementara koalisi Pakistan-Dewan Kerja Sama Teluk (GCC)
ingin mengembalikan Taliban ke pusat kekuasaan. Pakistan ingin mengendalikan
pemerintahan Kabul untuk memudahkannya mendapat akses ke Asia Tengah,
sementara GCC-terdiri dari Arab Saudi, Oman, Uni Emirat Arab, Qatar, Bahrain,
dan Kuwait-hendak menyedot kekuatan Iran dari sebelah timur, sebagaimana yang
mereka lakukan di masa lalu. GCC juga akan meningkatkan bantuan kepada
oposisi Suriah untuk menjatuhkan rezim Bashar al-Assad dukungan Iran. Ini
juga akan berarti melemahkan Hizbullah di Lebanon yang selama ini mendapat
bantuan Iran melalui Suriah.
Hal lain yang akan dilakukan Iran
adalah mengontrol Teluk Persia. Mungkin saja Iran menyulut rakyat Bahrain yang 70 persen populasinya
menganut Syiah. Iran juga mungkin akan mengompori Syiah di Saudi dan UEA yang
diperlakukan sebagai warga kelas dua, serta terus membantu milisi Houthi di
Yaman. Alhasil, Timur Tengah akan
menyaksikan dinamika baru.
Dampak
global
Rekonsiliasi dengan Iran
memungkinkan AS berkonsentrasi pada Tiongkok yang asertif di Asia Pasifik dan
Rusia yang mendukung separatis Ukraina. Mobilisasi militer di Baltik, Eropa
Timur, dan Asia Pasifik sangat penting untuk memperkuat diplomasi AS vis a
vis Tiongkok dan Rusia. Hal lain,
pencabutan sanksi akan menurunkan harga minyak dunia, menyusul masuknya satu
juta barrel minyak Iran ke pasar internasional jika Saudi tidak bersedia
memotong produksinya. Dampak lain, Iran yang kaya sumber alam dapat menjadi
pusat pertumbuhan ekonomi baru. Apalagi, dunia bisa mendapatkan akses ke Asia
Tengah yang tertutup melalui Iran. Akses melalui Turki tidak praktis dan
mahal.
Namun, harus dikatakan juga bahwa
dicabutnya sanksi belum membuat Iran bisa leluasa membantu persenjataan
kepada sekutu-sekutunya di Timur Tengah. Namun, ini tidak berarti Iran dapat
berperangai agresif. Jika Teheran secara frontal memaksakan perubahan status
quo di kawasan yang mengancam kepentingan Barat, akan tercipta situasi
genting yang melibatkan kekuatan-kekuatan global.
Semua ini, beserta oposisi Saudi
dan Israel, dapat mendorong Kongres membatalkan kesepakatan itu. Namun, jika
AS membatalkan, sementara PBB, UE, Rusia, dan Tiongkok mendukungnya, akan
muncul persoalan internasional baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar