Rabu, 11 April 2012

Otonomi Daerah dan Beban Berat APBD untuk Gaji Pegawai


Otonomi Daerah dan Beban Berat APBD
untuk Gaji Pegawai
Wawan Sobari, Dosen FISIP Unibraw, sedang kuliah S-3 di Flinders University, Australia
SUMBER : JAWA POS, 11 April 2012



FORUM Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) memublikasikan hasil kajian APBD kabupaten dan kota di Indonesia awal pekan ini (9/4). Dalam rilisnya Fitra mengungkap adanya 291 daerah (59,3 persen) yang mengalokasikan APBD lebih dari 50 persen untuk belanja pegawai. Sebelas daerah di antaranya bahkan membelanjakan lebih dari 70 persen APBD untuk membiayai para birokrat daerah tersebut (11 Daerah Terancam Kolaps, Jawa Pos, kemarin 10/4).

Konsekuensi dari besarnya porsi APBD untuk belanja pegawai itu berdampak langsung pada semakin kecilnya belanja untuk rakyat. Kemampuan daerah mendorong perbaikan pelayanan dan pembangunan infrastruktur menjadi tersendat. Pembiayaan subsidi juga makin terkurangi.

Merujuk pada data yang dirilis Fitra, akar masalah borosnya APBD sebenarnya bukan dari daerah. Kebijakan pemerintah menaikkan gaji PNS setiap tahun sejak 2007, tetap berlangsungnya rekrutmen PNS daerah, dan gemuknya struktur organisasi perangkat daerah ditengarai sebagai penyebab membengkaknya anggaran belanja pegawai daerah. Dengan kata lain, persoalan tersebut sebenarnya berasal dari pemerintah (pusat).

Karena itu, sangat disayangkan bila ketua DPR kemudian menilai situasi tersebut sebagai persoalan otonomi daerah (Jawa Pos, 10/4).

Sejatinya, terdapat dua model utama hubungan pusat-daerah yang diterapkan di banyak negara di dunia, yaitu model federasi dan kesatuan (unitary). Perbedaan keduanya secara prinsipil terletak pada asal kekuasaan atau kewenangan penyelenggaraan pemerintahan.

Dalam model pertama, kekuasaan pada awalnya dari negara-negara (daerah) kecil yang sepakat menyerahkan kedaulatan pada satu kekuasaan pemersatu untuk membentuk negara federal. Sedangkan model kedua menggunakan logika sebaliknya. Kekuasaan awalnya berasal dari pemerintah pusat kemudian didelegasikan kepada daerah-daerah untuk diimplementasikan.

Meski sama-sama mengusung otonomi untuk setiap daerah atau negara bagian, perbedaan krusial tetap ada dalam praktik penyelenggaraan pemerintahan daerah. Di negara federal, antarnegara bagian memiliki derajat perbedaan yang tinggi dalam desain kebijakan dan pengaturan daerah masing-masing. Sebaliknya, di negara kesatuan cenderung lebih seragam, karena sangat bergantung pada pedoman atau standar pemerintah pusat.

Karena Indonesia menganut prinsip unitary, terasa janggal bila kabupaten dan kota harus menanggung kesalahan-kesalahan yang tidak sepenuhnya diakibatkan oleh inisiatif mereka. Daerah justru harus menanggung beban anggaran tatkala pemerintah setiap tahun menaikkan gaji PNS. Begitu pula kebijakan rekrutmen PNS baru sangat bergantung pada kebijakan pemerintah yang ditetapkan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi.

Terkait dengan struktur organisasi yang tidak ramping, itu pun berpedoman pada kebijakan pemerintah yang ditetapkan dalam PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah. Peraturan ini harus mengakomodasiasi penyelenggaraan setidaknya 14 urusan wajib yang didelegasikan ke daerah. Belum lagi, daerah harus berhadapan dengan fakta banyaknya jumlah institusi kementerian yang perlu pula diakomodasi kepentingannya di daerah.

Salah satunya melalui pendirian organisasi perangkat daerah yang memiliki kewenangan pelaksanaan urusan yang paralel dengan kementerian. Alasan pragmatisnya agar mampu menampung dan menyalurkan anggaran-anggaran kementerian itu di daerah.

Terkait dengan kritik lemahnya kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD), hal itu pun merupakan klaim yang salah alamat. Daerah tidak bisa seenaknya memungut pajak dan retribusi daerah karena dipagari UU 28/2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah beserta peraturan pelaksananya. Jenis dan besaran pajak sudah ditentukan. Bila daerah menetapkan perda yang tidak sesuai UU tersebut, pemerintah akan membatalkannya.

Belum lagi daerah harus dihadapkan pada persoalan desain pendapatan daerah yang tidak adil sebagaimana ditentukan dalam UU tersebut. Rilis hasil studi peneliti Magister Ekonomika Pembangunan (MEP) UGM mengungkap bahwa sistem pendaerahan pajak hanya akan menguntungkan kenaikan PAD kota besar. Sedangkan kabupaten akan gigit jari dan berpotensi enggan menggali pajak yang tidak cukup besar nilainya itu, karena mesti menghabiskan biaya penagihan lebih besar sebagai akibat ketidaksiapan fasilitas di daerah.

Batasan lainnya, daerah tidak bisa memaksakan kehendak dalam menetapkan pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam APBD. Ini karena daerah harus merujuk pada pedoman pengelolaan keuangan daerah dan pedoman penyusunan APBD yang dikeluarkan Kemendagri. Artinya, setiap mata anggaran pendapatan, belanja langsung dan tidak langsung, belanja bantuan sosial, subsidi, hibah, bantuan keuangan, dan belanja tidak terduga akan disaring oleh Kemendagri melalui pemerintah provinsi.

Masih terkait kerentanan APBD, dewan perwakilan daerah (DPD) pernah mengkaji ketidakadilan desain perimbangan keuangan pusat dan daerah. UU 33/2004 yang mengatur hal tersebut dinilai tidak mampu mendorong transfer pendanaan daerah yang cukup. Padahal, permasalahan dan kebutuhan yang dihadapi daerah sangat kompleks.

Hasil studi JPIP pada 2011 lalu yang mewawancarai para kepala daerah (beserta stafnya) di Jawa Timur memvalidasi fakta tersebut. Para bupati menilai formula dana alokasi umum (DAU) antara kabupaten dan kota tidak sensitif terhadap perbedaan kondisi dan kebutuhan daerah. Ironisnya, ketergantungan APBD kabupaten dan kota (minus Surabaya) di Jawa Timur terhadap DAU cukup tinggi, yakni mencapai rata-rata 68,34 persen selama kurun 2006-2010.

Selain disparitas alokasi DAU antara kabupaten dan kota, JPIP menemukan problem sistem pembiayaan DAU dan dana alokasi khusus (DAK) yang menimbulkan ketergantungan kepada pemerintah. Juga daerah masih dibebani keharusan mengalokasikan dana BD untuk membiayai sharing DAK dari pemerintah.

Karena itu, merupakan satu kesalahan berpikir apabila persoalan alokasi APBD yang tidak prorakyat diarahkan pada daerah semata. Apalagi, dengan mengerucutkan kesimpulan pada persoalan otonomi daerah. Fakta-fakta dan pernyataan itu justru menegasikan dan menjadi kampanye negatif pelaksanaan otonomi daerah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar