Rabu, 11 April 2012

Kangen Jurus JK, Konversi BBM ke BBG


Kangen Jurus JK, Konversi BBM ke BBG
Budi Santosa, Dosen, Ketua Jurusan Teknik Industri ITS
SUMBER : JAWA POS, 11 April 2012



ZAMAN batu berakhir bukan karena persediaan batu menipis, tetapi karena ada alternatif baru yang lebih baik. Begitulah sejarah zaman ketika alternatif baru ditemukan, cara lama yang kurang menguntungkan ditinggalkan. Bagaimana mengakhiri zaman BBM? Kita menunggu terobosan ala Jusuf Kalla: konversi bensin (BBM) ke gas (BBG). Apalagi zaman BBM perlu segera disudahi karena cadangan minyak kita di bumi Indonesia disebutkan tinggal 12 tahun lagi.

Fakta menunjukkan bahwa harga BBM di pasar internasional sudah hampir dua kali lipat harga premium di Indonesia. Sementara itu, gas hanya sekitar Rp 3.500 tanpa subsidi untuk volume setara satu liter bensin. Mengapa kita tidak beralih? Itu yang harus "dipaksakan" dan difasilitasi oleh pemerintah.

Jusuf Kalla pernah melakukan langkah luar biasa dengan memaksa pedagang dan rumah tangga serta masyarakat bawah beralih dari minyak tanah ke gas. Subsidi untuk tabung gas jauh lebih murah jika dibandingkan dengan subsidi untuk minyak tanah. Kini sulit ditemukan orang memasak menggunakan minyak tanah.

Seandainya JK hanya berwacana murahnya gas tanpa bertindak luar biasa, ya rakyat tetap memakai minyak tanah. Sebab, hanya pilihan itu yang tersedia. JK sukses walaupun di awal tidak kurang-kurang kritik dan perlawanan dilayangkan berbagai pihak kepada dia. Namun, ide yang solutif itu tetap jalan terus dan ternyata sukses.

Kini ketika pemerintah harus menyubsidi hampir Rp 4.500 per liter bensin (separo harga), sudah saatnya kita beralih ke gas untuk kendaraan. Subsidi yang jumlahnya hampir Rp 197 triliun itu kebanyakan dinikmati orang yang tidak berhak. Banyak mobil mewah yang mestinya memakai pertamax tetap menggunakan premium. Artinya, mereka yang mestinya tidak pantas disubsidi akan menerima subsidi.

Jalan keluar sementara yang ditawarkan pemerintah adalah memberikan pelat nomor yang berbeda warna untuk mobil mewah (Jawa Pos, 6 April). Tentu saja itu akan efektif kalau para petugas di lapangan taat melaksanakan aturan. Begitu juga, perilaku pemakai mobil mewah sesuai aturan. Jalan keluar tersebut hanya untuk menjaga subsidi tidak jatuh kepada yang tidak berhak.

Namun, kita perlu merancang jalan keluar yang lebih terintegrasi dengan memperhatikan efisiensi bahan bakar sekaligus kemampuan negara. Selain itu, solusi tersebut jangan terlalu lama diimplementasikan. Sebab, negara semakin banyak membayar subsidi untuk BBM yang semestinya bisa digunakan untuk keperluan lain, seperti pendidikan, kesehatan, infrastruktur, yang lebih mendasar jika dibandingkan dengan dibakar jadi asap.

Salah satu jalan keluar jangka menengah adalah berpindah dari BBM ke BBG untuk kendaraan bermotor. Tentu saja ada jalan keluar yang lain seperti diusulkan Menteri BUMN Dahlan Iskan untuk menciptakan mobil listrik. Tetapi, jalan keluar itu butuh waktu lebih lama.

Setelah jelas hitung-hitungannya bahwa BBG jauh lebih murah dan ketersediaan di bumi kita masih berlimpah, kita nantikan langkah pemerintah untuk menindaklanjuti. Langkah itu berupa penyediaan gas di area publik (SPBU) yang mudah diakses pemakai kendaraan dan yang kedua penyediaan converter kits dengan segala aturan subsidinya yang bisa memfasilitasi perubahan "minuman" kendaraan bermotor dari BBM menjadi BBG.

Sekarang tinggal siapa pejabat pemerintah yang bisa mengemban tugas yang dulu pernah dilakukan Jusuf Kalla? Tanpa terobosan seperti itu, kita akan susah beralih ke pemakaian BBG. Kita akan cenderung merasa BBM masih layak dipakai. Selama BBM masih disubsidi pemerintah, status "kemurahan" dan keefisienan BBG tidak akan muncul.

Bagaimana isu keselamatan kalau menggunakan BBG? Ada yang khawatir terjadinya ledakan seperti terjadi pada kompor gas ketika beralih ke BBG. Di negara tetangga, Malaysia, mobil-mobil sudah beralih memakai BBG. Begitu juga di Australia, mobil-mobil sudah menggunakan BBG tanpa ada masalah dengan keselamatan. Kita punya industri-industri yang siap memproduksi komponen-komponen yang diperlukan untuk menyalurkan gas dari SPBG ke mobil.

PT Dirgantara Indonesia atau PT Pindad rasanya bisa diandalkan untuk melakukan tugas itu. Jadi, isu keselamatan akan terjadi ledakan bisa diminimalkan. Wamen ESDM Wijoyono Partowidagdo menegaskan bahwa SPBU sekarang bisa dialihfungsikan menjadi SPBG. Hanya perlu mengubah peraturan agar supplier pindah dari Pertamina ke PGN untuk menyuplai gas.

Kini kita tunggu jalan keluar yang cerdas, tegas, dan berani dari pemerintah untuk jangka menengah agar kita bisa berpindah dari BBM ke BBG.

Kita sekarang tidak mengeluh harga minyak tanah naik karena orang sudah ''tidak butuh". Begitu pula kelak ketika sudah umum mobil ber-BBG, BBM akan naik berapa pun terserah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar