Kamis, 05 April 2012

Nasib Malang Wamen


Nasib Malang Wamen
Sudjito, Ketua Program Doktor Ilmu Hukum UGM
SUMBER : SINDO, 05 April 2012



Kebahagiaan seorang pejabat yang amanah adalah ketika dia mampu menjalankan tugas-tugasnya secara maksimal dan hasil yang dicapai pun optimal. 

Kebahagiaan demikian tentu diinginkan oleh seorang Wakil Menteri (Wamen) Hukum dan HAM Denny Indrayana. Namun, asa ternyata berbeda dengan realita. Denny justru harus berhadapan dengan bawahannya, bahkan dituduh menampar pegawai (sipir) Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas II Pekanbaru saat melakukan inspeksi mendadak (sidak) pada Senin (2/4). Sementara kita juga paham bahwa pegawai lapas pun sedang berburu kebahagiaan. Kebahagiaannya ketika dia mampu menjalankan tugastugas sesuai dengan prosedur dan tradisi setempat, dan sekaligus mampu menambah penghasilannya yang selama ini tergolong kecil.

Di situlah kita melihat betapa pun tujuan yang dicapai sama, tetapi kualitas dan cara pencapaiannya berbeda. Mungkinkah jalur berbeda dan sering berseberangan itu diparalelkan sehingga kasus demikian tidak perlu terulang lagi? Sangat mungkin asalkan beberapa persyaratan berikut terpenuhi. Pertama, kesamaan pandang terhadap tugas.Wamen dan sipir jelas berbeda, dan perbedaan itu terletak pada tugas.Walau beda kedudukan, visi dan misi yang diemban sama. Apabila semua jajaran Kementerian Hukum dan HAM mampu menyelami visi dan misi lapas, perbedaan perilaku segera dapat diluruskan ke dalam visi dan misi tersebut sehingga tidak perlu ada saling menyalahkan.

Untuk ini, pembinaan kelembagaan perlu ditingkatkan,utamanya komitmen pada fungsi dan tugas masing-masing. Kedua, ketenangan, ketertiban, dan “kebersihan” suasana kerja. Optimalisasi kinerja lapas hanya akan terwujud apabila semua jajaran pegawainya berada dalam suasana kerja yang kondusif.Iman yang tinggi dan gaji yang cukup akan melahirkan pegawai yang tahap banting, tidak mudah tergoda oleh suap-menyuap. Sistem kerja yang tertib, teratur, dan terkontrol akan memudahkan pendeteksian segala bentuk penyimpangan dan mudah pula pembenahannya. Namun, lapas sebagaimana ada saat ini sangat jauh dari suasana kerja yang kondusif itu.

Lapas merupakan tempat “kotor”. Di sanalah secara empiris terjadi segala bentuk transaksi seperti narkoba, “pendidikan penjahat”, mengubah kamar hotel prodeo menjadi hotel berbintang, dan sebagainya. Ini persoalan lama, telah menggurita, dan terkait dengan sistem pemasyarakatan. Persoalan ini perlu dibenahi secara sistemik dan mendasar. Ketiga, saling menghargai. Dalam suasana normal sikap saling menghargai merupakan bagian dari karakter bangsa ini. Pastilah seorang Wamen akan menghargai kepala lapas, petugas pengaman pintu utama (P2U), sipir, ataupun pegawai lainnya.

Demikian juga sebaliknya, para pegawai lapas akan hormat dan patuh kepada Wamen dan jajarannya. Namun, ketika keadaan abnormal tentu sikap saling menghargai bisa dipraktikan dengan cara berbeda. Sidak untuk mengungkap kejahatan di lapas merupakan langkah mengatasi keadaan abnormal itu. Situasi demikian mesti dipahami jajaran lapas sehingga tidak mudah menuduh Wamen melanggar prosedur, tata tertib, apalagi disertai tindak penamparan. Keempat, berlomba berprestasi. Semua orang pasti ingin menjadi yang terbaik dalam kedudukan dan tugasnya masing-masing.

Karena itu, selama diamanahi kedudukan dan tugas apa pun mestinya berusaha untuk berbuat yang terbaik. Kebaikan itu diukur dengan prestasi kerja. Bagi Wamen, mampu mengungkap dan membenahi kejahatan narkoba di lapas merupakan bagian dari prestasi.Bangsa ini akan bangga dengan keberanian dan prestasi yang penuh risiko itu. Sebaliknya, jajaran lapas yang mampu memberikan bantuan maksimal untuk tugas pemberantasan narkoba dan kejahatan lain juga tergolong berprestasi.Selayaknya mereka diberi penghargaan, baik materi maupun imateri. Berlomba berprestasi ini perlu dibudayakan melalui kebijakan sistemik.

Risiko Tinggi

Sedari awal mudah diprediksi bahwa pembenahan lapas akan menuai risiko tinggi. Penjahat dan pegawai lapas sering terlibat persekongkolan jahat untuk lepas dari penderitaan akibat pemidanaan. Di balik nasib malang seorang Wamen dan terkuaknya sikap arogansi jajaran lapas, pasti ada secercah sinar terang yang mampu membimbing bangsa ini ke jalan lurus dan mulia.

Tak selayaknya kasus ini ditanggapi secara emosional,tapi memang perlu perenungan, introspeksi, koreksi diri, dan diikuti pembenahan sistem pemasyarakatan secara mendasar. Kasus Denny sudah sampai di tangan Presiden. Ada kekuatan dan kekuasaan Presiden untuk menjadikan kasus ini sebagai momentum perbaikan sistem pemasyarakatan itu,dan jangan biarkan langkah pemberantasan narkoba, korupsi, dan berbagai kejahatan di negeri ini terhalang oleh sikap dan wawasan sempit di kalangan pegawai lapas.

Kasus Lapas Pekanbaru merupakan bagian dari skenario agung untuk membuka mata bangsa ini tentang realitas kehidupan di balik tirai besi. Ketika kasus demikian merajalela sementara bangsa ini diam dan menerimanya sebagai ”salah kaprah”, tidak bersegera membenahinya, kasus-kasus demikian pasti akan semakin mewabah dan menggerogoti sendisendi kehidupan bangsa dan ujungnya kehancuran negara. Kita terima kasus ini sebagai keagungan rahmat dan kuasa Sang Pencipta kepada bangsa ini. Pernyataan dalam Tajuk harian ini berjudul “Kriminalitas di Lapas” (4/4) perlu digarisbawahi.

Dinyatakan, ”Lembaga pemasyarakatan (lapas) yang seharusnya menjadi tempat pembinaan para pelaku kejahatan justru disulap menjadi tempat untuk melanggengkan tindak kejahatan. Kondisi itulah yang terjadi di beberapa (mungkin sebagian besar) lapas di Tanah Air.” Denny pun pasti lebih banyak tahu tentang kondisi buruk lapas itu, dan sudah selayaknya dia berbuat yang terbaik. Kita dukung langkah Denny. Kita giatkan pemberantasan narkoba, korupsi, dan segala kejahatan di negeri ini. Pantang menyerah, rawe-rawe rantas, malang-malang buntung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar