Kamis, 05 April 2012

Jokowi oh Jokowi


Jokowi oh Jokowi
Sasongko Tedjo, Wartawan SUARA MERDEKA di Semarang
SUMBER : SUARA MERDEKA, 05 April 2012



WALI Kota Surakarta Joko Widodo yang akrab dipanggil Jokowi mempunyai ketenaran luar biasa, paling tidak dibanding kepala daerah lain di Indonesia. Kini dia menjadi newsmaker sehingga seakan-akan semua media gemar memberitakan sepak terjangnya. Setelah terakhir resmi menjadi calon gubernur DKI diusung PDIP, kabar baik masih saja datang. Jokowi masuk daftar nominasi wali kota terbaik sedunia versi The City Major Foundation. Tetap saja menarik walaupun kita belum tahu seberapa kredibel lembaga tersebut.

Saya pun termasuk pengagumnya karena gaya kepemimpinannya yang sangat kontroversial dalam arti positif. Ia seperti melawan arus di tengah merebaknya pejabat yang bergaya hedonis, korup, dan haus kekuasaan. Ia seperti mampu menjadi teladan dan anutan di tengah kegersangan pemimpin yang dianggap mengerti rakyatnya. Bahkan konon kabarnya rela kekayaannya menurun setelah 5 tahun menjabat wali kota.

Citra Solo sebagai kota dengan slogan Spirit of Java pun makin moncer. Kendati gambaran sejatinya belum tentu seindah namanya. Belum tentu sebagus promosi yang didengung-dengungkan Namun tetaplah ada ë’’sesuatu’’ di sana. Paling tidak wali kota yang satu ini tampaknya benar-benar dekat dengan warganya dan memperoleh dukungan sangat besar. Ketika ia akan maju sebagai cagub DKI, banyak yang merasa keberatan. Poster-poster besar terpampang dengan tulisan: Biarkan Jokowi tetap di Solo. 

Sebenarnya dalam ukuran yang lebih riil keberhasilan Jokowi belum terlalu tampak. Tetapi bukan berarti pencitraannya hanyalah pepesan kosong. Ada ajaran nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya. Moralitas dalam kepemimpinan adalah sesuatu yang langka pada saat ini. Itulah yang masih dimiliki Jokowi. Prinsip moralitas yang baik sangatlah sederhana namun tidak mudah menjalankannya.

Kita tidak boleh menggunakan orang, tidak boleh membunuh orang untuk menyelamatkan orang lain, dan kita harus melakukan apa yang menguntungkan orang yang terkena tindakan kita (James Rachels, 2003). Moralitas yang baik seperti itu hampir selalu diabaikan para pemimpin kita, baik di pusat maupun daerah. Maka keberadaan seorang Jokowi benar-benar memberi makna besar. Salah satu langkah fenomenal yang dilakukan misalnya adalah ketika ia berhasil menggusur ratusan pedagang dengan damai. Walaupun harus berdialog berulang-ulang hasilnya sangatlah diterima karena tidak ada yang dirugikan. Tidak perlu menggunakan Satpol PP.

Kepemimpinan yang mampu meneladani membawa arus perubahan besar di lingkungan internal birokrasi ataupun masyarakat luas yang merasa mempunyai pemimpin andal dan tepercaya. Kita belum sampai menilai dari indikator yang lebih objektif dan luas. Kita sudah merasa terwakili dan tercukupi manakala melihat sang pemimpin mampu mengayomi dan memberi teladan. Jauh dari godaan untuk mengurus kepentingannya atau memperkaya diri sendiri. Saya yakin partai pengusungnya pun tak meminta jatah ’’upeti’’ terlampau besar karena ikut menyesuaikan.

Bahaya Popularitas

Popularitas begitu mudah diraih berkat pemberitaan di media massa, baik cetak maupun elektronik. Siapa yang tak kenal Jokowi yang juga sudah menerima banyak dukungan lewat jejaring sosial seperti facebook dan twitter. Yang dikhawatirkan kemudian adalah pada kontrol diri akibat terlalu populer.
Tidaklah perlu diragukan komitmen dan konsistensi seorang Jokowi terhadap nilai-nilai moral kepemimpinan yang sudah menjadi wataknya. Namun popularitas yang tinggi bisa membuat seseorang ’’mabuk’’ karena mendengar banyak tepuk tangan dan pujian. Bak seorang penari yang sangat bersemangat karena iringan musiknya juga makin bersemangat. 

Akibatnya justru bisa bertindak di luar proporsi atau pun hanya sekadar ingin meningkatkan pencitraan diri. Padahal sebenarnya sudah tidak dibutuhkan karena yang harus segera dipenuhi justru soal-soal yang lebih substansial.
Mirip dengan Jokowi adalah Menteri BUMN Dahlan Iskan yang juga popularitasnya meroket karena berbagai tindakan nyentrik yang dilakukan. Semua menyorotinya ketika ia dengan sigap membuka pintu tol gara-gara petugasnya belum datang sehingga antrean mobil begitu panjang.

Masyarakat merasa senang dan bangga karena apapun yang dilakukan pemimpin semacam itu sangat prorakyat. Membela kepentingan masyarakat dan menjauhkan dari kepentingan pribadi. Tetapi bisa menjadi sesuatu yang menjemukan manakala pencitraan yang lebih sering terjadi dan mungkin bisa dikesankan agak kebablasan. 

Ada contoh lain terkait Jokowi. Dukungan penuh bahkan cenderung berlebihan terhadap mobil Esemka, tentu menjadi sesuatu yang perlu diapresiasi. Namun segala sesuatunya harus dilakukan dengan terukur agar ia tak lupa bahwa dirinya ’’hanyalah’’ seorang wali kota. Demikian juga ketika Dahlan Iskan tidur di rumah penduduk beralaskan tikar. Pastilah mengundang simpati masyarakat namun tetaplah tak boleh dilupakan bahwa Dahlan ’’hanyalah’’ Menteri BUMN. Apa sih maunya? Begitulah orang mungkin bertanya.

Cagub DKI

Sampailah akhirnya pada soal pencalonan Jokowi dalam pilkada DKI. Walaupun kita tak tahu apakah itu lebih karena desakan partai atau memang keinginan pribadi, majunya Jokowi menjadi kandidat gubernur DKI Jakarta memang patut dipertanyakan. Sebenarnya ia secara tak sadar melanggar dari komitmen moral yang selama ini dipegangnya. Juga ada masalah etika politik di sana. Karena sebenarnya ketika maju untuk periode kedua memimpin Surakarta, Jokowi sudah mengikatkan diri untuk memimpin selama 5 tahun.

Ternyata sekarang belum ada separo jalan sudah berniat meninggalkan tugas itu. Di sinilah yang patut disesalkan terlepas dari itu sebagai sebuah kelaziman dalam politik atau juga tak ada dilanggar secara hukum. Mungkin banyak juga warga Solo merelakan, dan bahkan bangga karena dianggapnya menjadi gubernur DKI itu seperti naik pangkat. Tetapi bagaimana kalau sebaliknya, yakni tak berhasil? Akankah ini menjadi antiklimaks bagi Jokowi?

Saya bukan analis politik yang mampu memprediksi peluang Jokowi dalam pilkada DKI. Tetapi ada penggambaran sederhana tentang keberhasilan pemimpin yang juga ditentukan oleh ruang dan waktu. Ketika Pak Mardiyanto sukses memimpin Jawa Tengah dan pada waktu yang hampir bersamaan Pak Sutiyoso juga dianggap berhasil memimpin DKI, pada waktu itu saya berandai-andai. Yakni, seandainya keduanya ditukar tempat maka bisa jadi keduanya bakal gagal. Argumennya sederhana karena lebih kepada karakter masing-masing.

Sulit untuk menemukan teori yang tepat untuk membuktikan argumen itu namun terus terang ada kekhawatiran karena sebenarnya sukses Jokowi itu ya hanya untuk Solo bukan untuk tempat lain apalagi Ibu Kota yang bak rimba belantara. Memang pemimpin yang andal harus bisa ditempatkan di mana pun dan berhasil. Tetapi tetap saja ada dalam teori manajemen yang disebut dengan the right man in the right place. Mudah-mudahan saya keliru tetapi saya tidak bisa menyembunyikan kekhawatiran itu. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar