Migas Kita
Dikuasai Pihak Asing
Gde Pradnyana, Praktisi Migas
SUMBER : KORAN TEMPO, 10 April 2012
Kegiatan operasi beberapa perusahaan minyak
dan gas (migas) multinasional di Indonesia menyebabkan sektor hulu migas negeri
ini sering dituding dikuasai asing. Dengan jargon nasionalisme sempit, tudingan
ini dengan gampang disebarluaskan setiap kali isu kebijakan publik terkait
dengan energi, termasuk kenaikan harga bahan bakar minyak yang sebenarnya
berada di ranah hilir, mencuat ke permukaan. Pertanyaannya, apakah kecurigaan
ini memiliki dasar.
Pengusahaan migas di Indonesia sesungguhnya
sangat berbeda polanya dengan pengusahaan bahan tambang atau mineral. Untuk
mengeksploitasi migas, Bung Karno, yang sudah kita ketahui sangat anti-asing,
memperkenalkan kontrak bagi hasil yang mengadopsi konsep petani penggarap yang
khas Indonesia.
Dalam konsep kontrak bagi hasil ini,
pemerintah sebagai pemilik "sawah" (wilayah kerja migas) menyerahkan
pengelolaan lahan tersebut kepada "petani penggarap" atau dalam dunia
migas disebut kontraktor, yaitu perusahaan migas, baik National Oil Company
(NOC) maupun International Oil Company (IOC). Untuk melindungi agar pemerintah
tidak terekspos dalam berbagai risiko bisnis, dibentuk Badan Pelaksana Kegiatan
Usaha Hulu Migas (BP Migas). Badan ini yang ditugasi pemerintah berkontrak
dengan para kontraktor, sehingga tidak terjadi kontrak G (government) to
B (business) seperti yang dikhawatirkan beberapa pihak.
Selanjutnya, para penggarap ini (baik NOC
maupun IOC) datang membawa dan membeli dengan modal mereka sendiri (investasi)
semua kebutuhan untuk menggarap "sawah" tersebut. Tentu semua
pengeluaran si penggarap ini harus dengan persetujuan kita sebagai pemilik
lahan terlebih dulu, karena kelak pada saat "panen", semua modal yang
dibawa si penggarap akan kita bayar kembali (dalam dunia migas disebut cost
recovery).
Penggantian ini dilakukan hanya jika
"panen" tersebut berhasil (ada discovery dalam jumlah yang
bisa dikomersialisasi). Jika gagal, kerugian sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor.
Data menunjukkan industri hulu migas telah kehilangan modal Rp 12,4 triliun
akibat sumur dry hole dalam dua tahun terakhir. Dana eksplorasi yang
menguap ini sepenuhnya menjadi tanggungan mereka tanpa sepeser pun uang negara
keluar.
Dengan konsep ini, modal awal yang dibawa
para penggarap sejatinya adalah investasi yang pada saat "panen" atau
produksi menjadi cost recovery yang harus dikembalikan kepada penggarap.
Hasil panen setelah dikurangi cost recovery ini kemudian dibagi antara penggarap
dan pemilik sawah. Untuk memperkecil jumlah cost recovery, tentu kita
bisa mengurangi investasi dengan meminta agar sawahnya tidak usah diberi pupuk
atau tanamannya tidak usah diairi. Tapi kita juga pasti tahu bahwa tindakan
seperti ini akan membuat hasil panen tidak maksimal.
Sistem bagi hasil khas Indonesia ini
diciptakan Bung Karno pada 1960-an sebagai pengganti kontrak konsesi (yang
berdasarkan pengenaan royalti) pada pengusahaan migas yang lazim digunakan di
negara-negara Barat yang menganut pola kapitalis. Bung Karno mengganti semua
kontrak royalti migas warisan Belanda untuk menghindari penguasaan sumber daya
migas oleh pihak asing. Pola bagi hasil ini kemudian berkembang dan dipakai
oleh berbagai negara lain yang menganut pola penguasaan sumber daya alam oleh
negara. Kini di Indonesia kontrak tersebut dikenal dengan istilah kontrak kerja
sama (KKS), dan para penggarap tersebut kita sebut dengan kontraktor KKS (atau
KKKS/K3S).
Kembali pada pertanyaan di atas, benarkah
sumber daya migas kita dikuasai asing. Jawabannya, tidak. Dengan pola KKS,
pengelolaan migas sepenuhnya dikuasai negara. Kita sendirilah yang menguras
sumber daya migas kita dengan mempekerjakan para penggarap. Kita memberikan
berbagai cara, termasuk memberi insentif dan mendorong NOC ataupun IOC agar
pengurasan cadangan bisa lebih cepat dan produksi bisa terus meningkat.
Pihak yang menuding adanya penguasaan asing
atas sumber daya migas Indonesia sering melengkapi argumentasinya dengan
permintaan supaya minyak dan gas yang dihasilkan dari Ibu Pertiwi dihargai nol,
alias digratiskan saja. Pemahaman ini jelas sangat mengkhawatirkan. Masyarakat
seharusnya justru didorong untuk memahami migas adalah sumber daya alam yang
tak terbarui dan semua sumber daya alam jenis ini haruslah diperlakukan dengan
cermat serta dipandang sebagai sesuatu yang bernilai sangat strategis. Terlebih
lagi dengan kenyataan bahwa cadangan migas tersebut tidak ditemukan di semua
tempat atau negara, melainkan hanya di tempat-tempat atau negara tertentu.
Saat ini pun jumlah cadangan minyak kita
terus menurun, sedangkan tingkat pengurasan tercatat sangat tinggi. Data yang
ada menunjukkan Indonesia sudah menguras cadangan minyak delapan kali lebih
cepat daripada Arab Saudi dan Libya. Kegiatan eksplorasi yang dilakukan lebih
banyak menemukan cadangan gas dibanding cadangan minyak. Alam memang tidak bisa
kita paksa untuk terus memberikan cadangan minyak mengikuti kemauan kita.
Penghargaan terhadap migas sebagai komoditas
strategis akan mendorong penghematan sekaligus merangsang kontraktor untuk
terus melakukan eksplorasi guna menambah cadangan. Selain itu, hal ini akan
membangkitkan kesadaran untuk membantu menggalakkan usaha-usaha pemanfaatan
sumber energi lain, terutama energi yang terbarukan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar