Rabu, 11 April 2012

Migas Kita Dikuasai Pihak Asing


Migas Kita Dikuasai Pihak Asing
Gde Pradnyana, Praktisi Migas
SUMBER : KORAN TEMPO, 10 April 2012



Kegiatan operasi beberapa perusahaan minyak dan gas (migas) multinasional di Indonesia menyebabkan sektor hulu migas negeri ini sering dituding dikuasai asing. Dengan jargon nasionalisme sempit, tudingan ini dengan gampang disebarluaskan setiap kali isu kebijakan publik terkait dengan energi, termasuk kenaikan harga bahan bakar minyak yang sebenarnya berada di ranah hilir, mencuat ke permukaan. Pertanyaannya, apakah kecurigaan ini memiliki dasar.

Pengusahaan migas di Indonesia sesungguhnya sangat berbeda polanya dengan pengusahaan bahan tambang atau mineral. Untuk mengeksploitasi migas, Bung Karno, yang sudah kita ketahui sangat anti-asing, memperkenalkan kontrak bagi hasil yang mengadopsi konsep petani penggarap yang khas Indonesia.

Dalam konsep kontrak bagi hasil ini, pemerintah sebagai pemilik "sawah" (wilayah kerja migas) menyerahkan pengelolaan lahan tersebut kepada "petani penggarap" atau dalam dunia migas disebut kontraktor, yaitu perusahaan migas, baik National Oil Company (NOC) maupun International Oil Company (IOC). Untuk melindungi agar pemerintah tidak terekspos dalam berbagai risiko bisnis, dibentuk Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (BP Migas). Badan ini yang ditugasi pemerintah berkontrak dengan para kontraktor, sehingga tidak terjadi kontrak G (government) to B (business) seperti yang dikhawatirkan beberapa pihak.

Selanjutnya, para penggarap ini (baik NOC maupun IOC) datang membawa dan membeli dengan modal mereka sendiri (investasi) semua kebutuhan untuk menggarap "sawah" tersebut. Tentu semua pengeluaran si penggarap ini harus dengan persetujuan kita sebagai pemilik lahan terlebih dulu, karena kelak pada saat "panen", semua modal yang dibawa si penggarap akan kita bayar kembali (dalam dunia migas disebut cost recovery).

Penggantian ini dilakukan hanya jika "panen" tersebut berhasil (ada discovery dalam jumlah yang bisa dikomersialisasi). Jika gagal, kerugian sepenuhnya ditanggung oleh kontraktor. Data menunjukkan industri hulu migas telah kehilangan modal Rp 12,4 triliun akibat sumur dry hole dalam dua tahun terakhir. Dana eksplorasi yang menguap ini sepenuhnya menjadi tanggungan mereka tanpa sepeser pun uang negara keluar.

Dengan konsep ini, modal awal yang dibawa para penggarap sejatinya adalah investasi yang pada saat "panen" atau produksi menjadi cost recovery yang harus dikembalikan kepada penggarap. Hasil panen setelah dikurangi cost recovery ini kemudian dibagi antara penggarap dan pemilik sawah. Untuk memperkecil jumlah cost recovery, tentu kita bisa mengurangi investasi dengan meminta agar sawahnya tidak usah diberi pupuk atau tanamannya tidak usah diairi. Tapi kita juga pasti tahu bahwa tindakan seperti ini akan membuat hasil panen tidak maksimal.

Sistem bagi hasil khas Indonesia ini diciptakan Bung Karno pada 1960-an sebagai pengganti kontrak konsesi (yang berdasarkan pengenaan royalti) pada pengusahaan migas yang lazim digunakan di negara-negara Barat yang menganut pola kapitalis. Bung Karno mengganti semua kontrak royalti migas warisan Belanda untuk menghindari penguasaan sumber daya migas oleh pihak asing. Pola bagi hasil ini kemudian berkembang dan dipakai oleh berbagai negara lain yang menganut pola penguasaan sumber daya alam oleh negara. Kini di Indonesia kontrak tersebut dikenal dengan istilah kontrak kerja sama (KKS), dan para penggarap tersebut kita sebut dengan kontraktor KKS (atau KKKS/K3S).

Kembali pada pertanyaan di atas, benarkah sumber daya migas kita dikuasai asing. Jawabannya, tidak. Dengan pola KKS, pengelolaan migas sepenuhnya dikuasai negara. Kita sendirilah yang menguras sumber daya migas kita dengan mempekerjakan para penggarap. Kita memberikan berbagai cara, termasuk memberi insentif dan mendorong NOC ataupun IOC agar pengurasan cadangan bisa lebih cepat dan produksi bisa terus meningkat.

Pihak yang menuding adanya penguasaan asing atas sumber daya migas Indonesia sering melengkapi argumentasinya dengan permintaan supaya minyak dan gas yang dihasilkan dari Ibu Pertiwi dihargai nol, alias digratiskan saja. Pemahaman ini jelas sangat mengkhawatirkan. Masyarakat seharusnya justru didorong untuk memahami migas adalah sumber daya alam yang tak terbarui dan semua sumber daya alam jenis ini haruslah diperlakukan dengan cermat serta dipandang sebagai sesuatu yang bernilai sangat strategis. Terlebih lagi dengan kenyataan bahwa cadangan migas tersebut tidak ditemukan di semua tempat atau negara, melainkan hanya di tempat-tempat atau negara tertentu.

Saat ini pun jumlah cadangan minyak kita terus menurun, sedangkan tingkat pengurasan tercatat sangat tinggi. Data yang ada menunjukkan Indonesia sudah menguras cadangan minyak delapan kali lebih cepat daripada Arab Saudi dan Libya. Kegiatan eksplorasi yang dilakukan lebih banyak menemukan cadangan gas dibanding cadangan minyak. Alam memang tidak bisa kita paksa untuk terus memberikan cadangan minyak mengikuti kemauan kita.

Penghargaan terhadap migas sebagai komoditas strategis akan mendorong penghematan sekaligus merangsang kontraktor untuk terus melakukan eksplorasi guna menambah cadangan. Selain itu, hal ini akan membangkitkan kesadaran untuk membantu menggalakkan usaha-usaha pemanfaatan sumber energi lain, terutama energi yang terbarukan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar