Tersandera
Politik Informalitas
Wawan Sobari, Dosen Program Studi Ilmu Politik
Universitas Brawijaya;
Mahasiswa Doktoral Flinders University,
Adelaide, South Australia
SUMBER : KORAN TEMPO, 10 April 2012
Saat pertama kali Satuan Tugas Pemberantasan
Mafia Hukum diperkenalkan kepada publik pada akhir Desember 2009, pemerintah
secara terbuka mengakui kehadiran praktek-praktek informal dalam sistem hukum
Indonesia. Istilah “mafia” kemudian begitu dikenal hingga publik mengetahui
adanya praktek mafia peradilan, mafia pajak, dan mafia anggaran.
Praktek informalitas merujuk pada adanya
aktivitas, aktor, saluran, dan kesepakatan informal yang menyetir proses
pembuatan kebijakan formal. Informalitas menerapkan mekanisme penggunaan
kekuasaan dalam mengendalikan pembuatan kebijakan. Tujuannya agar kebijakan
berpihak pada aktor dan kepentingan tertentu secara eksklusif. Praktek mafia
merupakan salah satu tipe informalitas dalam politik.
Terkait dengan partisipasi pengambilan
kebijakan, Hans-Joachim Lauth (2000) mengkategorikan lima tipe utama
informalitas, yaitu klientelisme, korupsi, ancaman, pengabaian sipil, dan hukum
adat. Bahaya informalitas muncul saat kepentingan partikularistik lebih
diakomodasi daripada aspirasi publik dalam pembuatan kebijakan. Informalitas
bisa merusak tatanan kepercayaan politik, terutama saat para aktor negara dan
non-negara berkolaborasi memperjuangkan kepentingan tertentu demi meraih
keuntungan individu atau kelompok.
Klientelisme mendorong aktor informal
mempengaruhi kebijakan agar memprioritaskan kepentingannya. Melalui jalinan
hubungan khusus dengan pembuat kebijakan dan pejabat, para aktor melakukan
pertukaran materi guna mempengaruhi pembuatan kebijakan. Terungkapnya kasus
korupsi yang melibatkan para legislator, terutama Nazaruddin, dan beberapa
pejabat kementerian menunjukkan hubungan khusus telah berefek pada sistem
pengambilan kebijakan negara.
Karena itu, proses penganggaran negara
menjadi arena barter kepentingan dalam mengakses sumber-sumber dana. Para
pejabat, legislator, sekaligus bos partai politik terlibat dalam debat semu
pembahasan anggaran proyek-proyek strategis. Nama-nama politikus lintas partai,
yang disangka menerima suap tender pembangunan fasilitas SEA Games di Palembang,
telah memberi bukti informalitas sistemik dalam proses penganggaran.
Informalitas dalam bentuk korupsi muncul saat
proses pembuatan kebijakan didistorsi oleh para aktor demi meraih keuntungan
pribadi. Transparency International
(TI) menyebut tiga praktek korupsi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang, yaitu
penyuapan pejabat publik, suap pengadaan barang dan jasa, serta penjarahan uang
negara. TI menggunakan tiga indikator itu dan dikombinasikan dengan efektivitas
pemberantasan korupsi untuk mengukur indeks persepsi korupsi (IPK) 178 negara.
Berdasarkan pengukuran indikator tersebut, TI
mengelompokkan Indonesia ke dalam 35 persen mayoritas negara dengan skor
korupsi tinggi. Indonesia menempati peringkat ke-120 dari 178 negara yang
disurvei pada 2010. Berdasarkan data TI, IPK Indonesia membaik secara
inkremental dari skor 1,9 pada 1999 menuju skor 3,0 pada 2010.
Jeleknya, skor indeks penyuapan Indonesia
mencapai 7,1, yang mengindikasikan meluasnya praktek suap di kalangan
pemerintahan dan bisnis. Berkaca pada data itu, Indonesia saat ini bisa dikatakan
berada dalam situasi darurat akibat tersandera praktek-praktek informal.
Gejala informalitas lainnya yang tampak
adalah penggunaan ancaman dan pengabaian sipil. Beredarnya rumor penggulingan
pemerintahan dan demonstrasi massal yang berujung bentrokan dalam merespons
kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak menunjukkan adanya penggunaan
ancaman dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan.
Ironisnya, para legislator dan politikus
anggota koalisi justru lebih sibuk membahas jatah pembagian kompensasi pada
rakyat miskin daripada merespons protes-protes jalanan di seluruh negeri (Tempo.co,
24 Maret). Situasi paradoks ini telah mempertontonkan dengan jelas bahwa motif
patronase politik negosiasi kebijakan kompensasi lebih kuat daripada merespons
oposisi jalanan. Maka bisa dikatakan ada masalah serius terkait dengan saluran
formal partisipasi politik warga dalam mempengaruhi kebijakan strategis negara.
Publik pun tampaknya tak lagi berharap banyak
pada institusi formal. Beberapa peristiwa pengabaian sipil mengindikasikan
bukti-bukti empiris runtuhnya kepercayaan publik pada institusi formal dalam
menyelesaikan masalah mereka. Kasus konflik di Mesuji, Lampung, dan Bima, Nusa
Tenggara Barat, memperlihatkan jalur partisipasi konvensional tidak mampu
merespons dengan baik persoalan pertanahan tersebut.
Cukup beralasan bila gelombang demokratisasi
yang dimulai pada 1998 dinilai tidak mampu mengangkat level partisipasi warga
dan kesadaran elite atas kebutuhan perubahan radikal sistem politik Indonesia.
Informalitas telah memasung politik Indonesia dan memunculkan partisipasi
eksklusif dalam proses pembuatan serta implementasi kebijakan, baik di pusat
maupun di daerah. Informalitas telah membajak gerakan-gerakan reformasi
demokratik.
Praktek dan fakta informalitas itu telah
memvalidasi bahwa pembuat kebijakan dan politikus secara konstan memelihara
informalitas dalam banyak proses politik. Situasi ini tentu saja tidak adil,
karena mereka menangguk keuntungan di atas kerugian banyak pihak.
Untuk memberantas informalitas dan
partisipasi eksklusif, pemerintah dan para legislator mesti membuka akses dan
kesempatan secara terbuka bagi publik untuk ambil bagian dalam proses pembuatan
kebijakan. Keduanya bisa menciptakan sejumlah program partisipasi populis dalam
mengkaji dampak pra-kebijakan. Polling dan dialog nasional bisa
digalakkan guna memulai gerakan ini.
Selain itu, partisipasi populis mensyaratkan
inisiatif-inisiatif transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah dan para
legislator bisa secara terbuka mempublikasikan setiap draf kebijakan, proses
pembahasannya, pilihan-pilihan kebijakan yang krusial, dan argumen yang
menyertai proposal kebijakan.
Tujuannya adalah mengundang konfirmasi dan
umpan balik yang konstruktif dari warga. Saat ini media jejaring sosial tak berbayar
bisa digunakan untuk menjangkau seluruh pemangku kepentingan, mulai warga awam
hingga para ahli.
Terakhir, melalui kerja sama dengan
organisasi non-pemerintah, para pembuat kebijakan bisa melakukan kegiatan
pendidikan publik. Targetnya mendorong timbulnya kesadaran warga terkait dengan
praktek informalitas. Usaha ini diharapkan bisa mendorong sensitivitas publik
untuk menutup setiap peluang informalitas, seperti praktek patronase politik
selama pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serta bentuk-bentuk
klientelisme lainnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar