Rabu, 11 April 2012

Tersandera Politik Informalitas


Tersandera Politik Informalitas
Wawan Sobari, Dosen Program Studi Ilmu Politik Universitas Brawijaya;
Mahasiswa Doktoral Flinders University, Adelaide, South Australia
SUMBER : KORAN TEMPO, 10 April 2012



Saat pertama kali Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum diperkenalkan kepada publik pada akhir Desember 2009, pemerintah secara terbuka mengakui kehadiran praktek-praktek informal dalam sistem hukum Indonesia. Istilah “mafia” kemudian begitu dikenal hingga publik mengetahui adanya praktek mafia peradilan, mafia pajak, dan mafia anggaran.

Praktek informalitas merujuk pada adanya aktivitas, aktor, saluran, dan kesepakatan informal yang menyetir proses pembuatan kebijakan formal. Informalitas menerapkan mekanisme penggunaan kekuasaan dalam mengendalikan pembuatan kebijakan. Tujuannya agar kebijakan berpihak pada aktor dan kepentingan tertentu secara eksklusif. Praktek mafia merupakan salah satu tipe informalitas dalam politik.

Terkait dengan partisipasi pengambilan kebijakan, Hans-Joachim Lauth (2000) mengkategorikan lima tipe utama informalitas, yaitu klientelisme, korupsi, ancaman, pengabaian sipil, dan hukum adat. Bahaya informalitas muncul saat kepentingan partikularistik lebih diakomodasi daripada aspirasi publik dalam pembuatan kebijakan. Informalitas bisa merusak tatanan kepercayaan politik, terutama saat para aktor negara dan non-negara berkolaborasi memperjuangkan kepentingan tertentu demi meraih keuntungan individu atau kelompok.

Klientelisme mendorong aktor informal mempengaruhi kebijakan agar memprioritaskan kepentingannya. Melalui jalinan hubungan khusus dengan pembuat kebijakan dan pejabat, para aktor melakukan pertukaran materi guna mempengaruhi pembuatan kebijakan. Terungkapnya kasus korupsi yang melibatkan para legislator, terutama Nazaruddin, dan beberapa pejabat kementerian menunjukkan hubungan khusus telah berefek pada sistem pengambilan kebijakan negara.

Karena itu, proses penganggaran negara menjadi arena barter kepentingan dalam mengakses sumber-sumber dana. Para pejabat, legislator, sekaligus bos partai politik terlibat dalam debat semu pembahasan anggaran proyek-proyek strategis. Nama-nama politikus lintas partai, yang disangka menerima suap tender pembangunan fasilitas SEA Games di Palembang, telah memberi bukti informalitas sistemik dalam proses penganggaran.

Informalitas dalam bentuk korupsi muncul saat proses pembuatan kebijakan didistorsi oleh para aktor demi meraih keuntungan pribadi. Transparency International (TI) menyebut tiga praktek korupsi dalam bentuk penyalahgunaan wewenang, yaitu penyuapan pejabat publik, suap pengadaan barang dan jasa, serta penjarahan uang negara. TI menggunakan tiga indikator itu dan dikombinasikan dengan efektivitas pemberantasan korupsi untuk mengukur indeks persepsi korupsi (IPK) 178 negara.

Berdasarkan pengukuran indikator tersebut, TI mengelompokkan Indonesia ke dalam 35 persen mayoritas negara dengan skor korupsi tinggi. Indonesia menempati peringkat ke-120 dari 178 negara yang disurvei pada 2010. Berdasarkan data TI, IPK Indonesia membaik secara inkremental dari skor 1,9 pada 1999 menuju skor 3,0 pada 2010.

Jeleknya, skor indeks penyuapan Indonesia mencapai 7,1, yang mengindikasikan meluasnya praktek suap di kalangan pemerintahan dan bisnis. Berkaca pada data itu, Indonesia saat ini bisa dikatakan berada dalam situasi darurat akibat tersandera praktek-praktek informal.

Gejala informalitas lainnya yang tampak adalah penggunaan ancaman dan pengabaian sipil. Beredarnya rumor penggulingan pemerintahan dan demonstrasi massal yang berujung bentrokan dalam merespons kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak menunjukkan adanya penggunaan ancaman dalam mempengaruhi pembuatan kebijakan.

Ironisnya, para legislator dan politikus anggota koalisi justru lebih sibuk membahas jatah pembagian kompensasi pada rakyat miskin daripada merespons protes-protes jalanan di seluruh negeri (Tempo.co, 24 Maret). Situasi paradoks ini telah mempertontonkan dengan jelas bahwa motif patronase politik negosiasi kebijakan kompensasi lebih kuat daripada merespons oposisi jalanan. Maka bisa dikatakan ada masalah serius terkait dengan saluran formal partisipasi politik warga dalam mempengaruhi kebijakan strategis negara.

Publik pun tampaknya tak lagi berharap banyak pada institusi formal. Beberapa peristiwa pengabaian sipil mengindikasikan bukti-bukti empiris runtuhnya kepercayaan publik pada institusi formal dalam menyelesaikan masalah mereka. Kasus konflik di Mesuji, Lampung, dan Bima, Nusa Tenggara Barat, memperlihatkan jalur partisipasi konvensional tidak mampu merespons dengan baik persoalan pertanahan tersebut.

Cukup beralasan bila gelombang demokratisasi yang dimulai pada 1998 dinilai tidak mampu mengangkat level partisipasi warga dan kesadaran elite atas kebutuhan perubahan radikal sistem politik Indonesia. Informalitas telah memasung politik Indonesia dan memunculkan partisipasi eksklusif dalam proses pembuatan serta implementasi kebijakan, baik di pusat maupun di daerah. Informalitas telah membajak gerakan-gerakan reformasi demokratik.

Praktek dan fakta informalitas itu telah memvalidasi bahwa pembuat kebijakan dan politikus secara konstan memelihara informalitas dalam banyak proses politik. Situasi ini tentu saja tidak adil, karena mereka menangguk keuntungan di atas kerugian banyak pihak.

Untuk memberantas informalitas dan partisipasi eksklusif, pemerintah dan para legislator mesti membuka akses dan kesempatan secara terbuka bagi publik untuk ambil bagian dalam proses pembuatan kebijakan. Keduanya bisa menciptakan sejumlah program partisipasi populis dalam mengkaji dampak pra-kebijakan. Polling dan dialog nasional bisa digalakkan guna memulai gerakan ini.

Selain itu, partisipasi populis mensyaratkan inisiatif-inisiatif transparansi dan akuntabilitas. Pemerintah dan para legislator bisa secara terbuka mempublikasikan setiap draf kebijakan, proses pembahasannya, pilihan-pilihan kebijakan yang krusial, dan argumen yang menyertai proposal kebijakan.

Tujuannya adalah mengundang konfirmasi dan umpan balik yang konstruktif dari warga. Saat ini media jejaring sosial tak berbayar bisa digunakan untuk menjangkau seluruh pemangku kepentingan, mulai warga awam hingga para ahli.

Terakhir, melalui kerja sama dengan organisasi non-pemerintah, para pembuat kebijakan bisa melakukan kegiatan pendidikan publik. Targetnya mendorong timbulnya kesadaran warga terkait dengan praktek informalitas. Usaha ini diharapkan bisa mendorong sensitivitas publik untuk menutup setiap peluang informalitas, seperti praktek patronase politik selama pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah serta bentuk-bentuk klientelisme lainnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar