Ketika Golkar Kontrol DPR
Syamsuddin Haris, Kepala Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
SUMBER : SINDO, 04 April 2012
Sulit
dibantah, Partai Golongan Karya (Golkar) menjadi “pemenang” pemungutan suara Sidang Paripurna DPR yang berlangsung
pada Sabtu dini hari pekan lalu.
Mayoritas
anggota DPR menyetujui opsi penambahan ayat (6a) dalam Pasal 7 UU No 22 Tahun
2011 tentang APBN Perubahan 2012 dalam sidang paripurna, Jumat (30/3/2012). Apa
dampaknya bagi Partai Demokrat dan Setgab Koalisi? Usulan kenaikan atau
penurunan sebesar 15% dari harga rata-rata minyak mentah Indonesia (Indonesian
Crude Price/ ICP) sebagai prasyarat bagi pemerintah agar bisa menaikkan harga
BBM dalam enam bulan terakhir diklaim berasal dari Golkar. Selain Fraksi
Golkar, fraksi-fraksi Demokrat, PAN, PKB, dan PPP yang berjumlah total 356
orang anggota menyatakan setuju terhadap opsi penambahan ayat tersebut.
Sementara itu, hanya 82 anggota Fraksi PKS dan Gerindra yang memilih opsi bahwa Pasal 7 ayat 6 tidak berubah sehingga tak ada kenaikan harga BBM. Dua fraksi lainnya yang kecewa atas opsi yang tersedia, PDI Perjuangan dan Hanura, meninggalkan ruang sidang (walk out). Opsi usulan Demokrat, yakni kenaikan atau penurunan 5% harga minyak mentah Indonesia sebagai prasyarat kenaikan harga BBM, ditolak oleh parpol koalisi pendukung pemerintah lainnya.
Keputusan DPR tak hanya meng-indikasikan kegagalan Demokrat, tetapi sekaligus juga merefleksikan ketidakmampuan para politisi partai segitiga biru ini dalam berhadapan dengan para politisi Golkar. Akibatnya, lobi politik parlemen internal koalisi lebih dikontrol oleh partai beringin ketimbang Demokrat selaku parpol pemimpin koalisi.
Demokrat Membebani SBY
Alih-alih berjuang keras mempertahankan usulan opsinya sendiri, Partai Demokrat justru terperangkap ke dalam skenario politik Golkar. Karena itu, Partai Demokrat yang menjadi basis politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebenarnya tak hanya gagal memperjuangkan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Lebih jauh dari itu, keputusan DPR justru “membebani” sang Ketua Dewan Pembina karena Presiden SBY harus memonitor pergerakan harga ICP hingga enam bulan ke depan sebagai dasar mempertimbangkan kenaikan harga BBM. Meskipun demikian, keputusan DPR tampaknya merupakan hasil maksimal yang bisa dicapai oleh Partai Demokrat. Persoalannya, sehari menjelang Rapat Paripurna DPR, Golkar sempat mengumumkan sikap politiknya untuk menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM.
Perubahan sikap politik Golkar yang konon dipicu oleh pernyataan mantan Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah ini— seolah-olah Golkar setuju kenaikan harga premium lebih Rp1.500 per liter—membuat Demokrat panik. Akan tetapi, Golkar tetaplah Golkar. Para politisi parpol warisan Orde Baru ini tak hanya dikenal licin dan licik, tetapi juga memiliki strategi dan taktik politik lebih piawai dibandingkan kemampuan rata-rata politisi parpol lainnya. Karena itu, tidak mustahil perubahan sikap Golkar sehari menjelang paripurna adalah bagian dari strategi parpol beringin dalam rangka membaca arah sikap politik parpol lain di satu pihak, dan upaya meraih simpati dan dukungan publik di lain pihak. Sulit dipungkiri, strategi Golkar menghadapi sidang paripurna DPR akhirnya berhasil.
Tiga Sukses Golkar
Paling kurang ada tiga tujuan Golkar tercapai sekaligus. Pertama, meskipun tidak persis sama dengan tuntutan publik, atau tepatnya tuntutan para demonstran dan pengunjuk rasa, partai beringin berhasil menggiring sikap parpol koalisi selain PKS untuk menunda kenaikan harga BBM. Artinya, rencana pemerintah menaikkan harga BBM per 1 April akhirnya ditolak. Kedua, Golkar berhasil mengontrol sikap politik parpol koalisi di luar PKS agar usulannya yakni batas toleransi kenaikan 15% dari ICP sebagai prasyarat bagi pemerintah menaikkan harga BBM, disepakati sebagai sikap parpol koalisi.
Ketiga, secara keseluruhan dapat dikatakan, keputusan sidang paripurna DPR yang menyepakati penundaan kenaikan harga BBM akhir pekan lalu dikontrol oleh Golkar. Keberhasilan Golkar tidak semata-mata lantaran rekam jejak para politisi mereka yang di atas rata-rata parpol lain, tetapi juga karena kegagalan Demokrat memimpin Sekretariat Gabungan Koalisi Parpol Pendukung Pemerintah (Setgab Koalisi).
Sikap konsisten PKS yang menolak kenaikan harga BBM adalah indikasi lain yang memperlihatkan ketidakmampuan para anak buah SBY dalam berpolitik, menyusun strategi, dan mengelola koalisi secara cerdas. Padahal, beberapa waktu sebelumnya para ketua umum parpol koalisi telah diundang Presiden SBY ke Puri Cikeas untuk menjelaskan rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Salah satu dampak politik keputusan DPR yang cenderung dikontrol oleh Golkar ini adalah semakin bergantungnya Partai Demokrat pada dukungan politik Golkar.
Itu artinya, jika deviasi harga ICP dalam enam bulan ke depan mencapai 15% atau lebih, Presiden SBY pun mau tidak mau masih membutuhkan dukungan politik Golkar kendati secara formal dukungan itu sudah diperoleh dari DPR melalui penambahan ayat baru dalam UU APBN-P 2012.
Nasib Setgab Koalisi
Lalu, apa nilai tambah keberadaan Setgab Koalisi bagi Demokrat dan SBY jika parpol segitiga biru ini hampir selalu gagal menegosiasikan berbagai isu kebijakan strategis pemerintah di DPR? Mengapa Setgab Koalisi harus tetap dipertahankan jika keberadaannya lebih menjadi problem ketimbang solusi bagi pemerintahan SBY? Mungkin inilah tantangan terbesar bagi Demokrat dan Presiden SBY, yakni bagaimana memanfaatkan dukungan sekitar 75,5% kekuatan koalisi DPR bagi berbagai isu kebijakan pemerintah.
Rapat paripurna DPR akhir pekan lalu membuktikan, Partai Golkarlah yang justru menikmati model koalisi ala SBY, bukan Demokrat. Ibarat kata pepatah, “kambing punya susu, sapi punya nama”. ●
Sementara itu, hanya 82 anggota Fraksi PKS dan Gerindra yang memilih opsi bahwa Pasal 7 ayat 6 tidak berubah sehingga tak ada kenaikan harga BBM. Dua fraksi lainnya yang kecewa atas opsi yang tersedia, PDI Perjuangan dan Hanura, meninggalkan ruang sidang (walk out). Opsi usulan Demokrat, yakni kenaikan atau penurunan 5% harga minyak mentah Indonesia sebagai prasyarat kenaikan harga BBM, ditolak oleh parpol koalisi pendukung pemerintah lainnya.
Keputusan DPR tak hanya meng-indikasikan kegagalan Demokrat, tetapi sekaligus juga merefleksikan ketidakmampuan para politisi partai segitiga biru ini dalam berhadapan dengan para politisi Golkar. Akibatnya, lobi politik parlemen internal koalisi lebih dikontrol oleh partai beringin ketimbang Demokrat selaku parpol pemimpin koalisi.
Demokrat Membebani SBY
Alih-alih berjuang keras mempertahankan usulan opsinya sendiri, Partai Demokrat justru terperangkap ke dalam skenario politik Golkar. Karena itu, Partai Demokrat yang menjadi basis politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebenarnya tak hanya gagal memperjuangkan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM).
Lebih jauh dari itu, keputusan DPR justru “membebani” sang Ketua Dewan Pembina karena Presiden SBY harus memonitor pergerakan harga ICP hingga enam bulan ke depan sebagai dasar mempertimbangkan kenaikan harga BBM. Meskipun demikian, keputusan DPR tampaknya merupakan hasil maksimal yang bisa dicapai oleh Partai Demokrat. Persoalannya, sehari menjelang Rapat Paripurna DPR, Golkar sempat mengumumkan sikap politiknya untuk menolak rencana pemerintah menaikkan harga BBM.
Perubahan sikap politik Golkar yang konon dipicu oleh pernyataan mantan Ketua Fraksi Demokrat Jafar Hafsah ini— seolah-olah Golkar setuju kenaikan harga premium lebih Rp1.500 per liter—membuat Demokrat panik. Akan tetapi, Golkar tetaplah Golkar. Para politisi parpol warisan Orde Baru ini tak hanya dikenal licin dan licik, tetapi juga memiliki strategi dan taktik politik lebih piawai dibandingkan kemampuan rata-rata politisi parpol lainnya. Karena itu, tidak mustahil perubahan sikap Golkar sehari menjelang paripurna adalah bagian dari strategi parpol beringin dalam rangka membaca arah sikap politik parpol lain di satu pihak, dan upaya meraih simpati dan dukungan publik di lain pihak. Sulit dipungkiri, strategi Golkar menghadapi sidang paripurna DPR akhirnya berhasil.
Tiga Sukses Golkar
Paling kurang ada tiga tujuan Golkar tercapai sekaligus. Pertama, meskipun tidak persis sama dengan tuntutan publik, atau tepatnya tuntutan para demonstran dan pengunjuk rasa, partai beringin berhasil menggiring sikap parpol koalisi selain PKS untuk menunda kenaikan harga BBM. Artinya, rencana pemerintah menaikkan harga BBM per 1 April akhirnya ditolak. Kedua, Golkar berhasil mengontrol sikap politik parpol koalisi di luar PKS agar usulannya yakni batas toleransi kenaikan 15% dari ICP sebagai prasyarat bagi pemerintah menaikkan harga BBM, disepakati sebagai sikap parpol koalisi.
Ketiga, secara keseluruhan dapat dikatakan, keputusan sidang paripurna DPR yang menyepakati penundaan kenaikan harga BBM akhir pekan lalu dikontrol oleh Golkar. Keberhasilan Golkar tidak semata-mata lantaran rekam jejak para politisi mereka yang di atas rata-rata parpol lain, tetapi juga karena kegagalan Demokrat memimpin Sekretariat Gabungan Koalisi Parpol Pendukung Pemerintah (Setgab Koalisi).
Sikap konsisten PKS yang menolak kenaikan harga BBM adalah indikasi lain yang memperlihatkan ketidakmampuan para anak buah SBY dalam berpolitik, menyusun strategi, dan mengelola koalisi secara cerdas. Padahal, beberapa waktu sebelumnya para ketua umum parpol koalisi telah diundang Presiden SBY ke Puri Cikeas untuk menjelaskan rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Salah satu dampak politik keputusan DPR yang cenderung dikontrol oleh Golkar ini adalah semakin bergantungnya Partai Demokrat pada dukungan politik Golkar.
Itu artinya, jika deviasi harga ICP dalam enam bulan ke depan mencapai 15% atau lebih, Presiden SBY pun mau tidak mau masih membutuhkan dukungan politik Golkar kendati secara formal dukungan itu sudah diperoleh dari DPR melalui penambahan ayat baru dalam UU APBN-P 2012.
Nasib Setgab Koalisi
Lalu, apa nilai tambah keberadaan Setgab Koalisi bagi Demokrat dan SBY jika parpol segitiga biru ini hampir selalu gagal menegosiasikan berbagai isu kebijakan strategis pemerintah di DPR? Mengapa Setgab Koalisi harus tetap dipertahankan jika keberadaannya lebih menjadi problem ketimbang solusi bagi pemerintahan SBY? Mungkin inilah tantangan terbesar bagi Demokrat dan Presiden SBY, yakni bagaimana memanfaatkan dukungan sekitar 75,5% kekuatan koalisi DPR bagi berbagai isu kebijakan pemerintah.
Rapat paripurna DPR akhir pekan lalu membuktikan, Partai Golkarlah yang justru menikmati model koalisi ala SBY, bukan Demokrat. Ibarat kata pepatah, “kambing punya susu, sapi punya nama”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar