Rabu, 04 April 2012

Potensi Kenaikan Harga BBM dan Eskalasi Persoalan


Potensi Kenaikan Harga BBM dan Eskalasi Persoalan
Bambang Soesatyo, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia
SUMBER : SINDO, 04 April 2012



Alih-alih menyelesaikan masalah, keputusan sidang paripurna DPR akhir pekan lalu justru mengeskalasi persoalan.

Rakyat kembali terperangkap dalam ketidakpastian, sementara kerusakan harga di pasar kebutuhan pokok semakin sulit diperbaiki. Bukan hanya isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi yang membuat rakyat tidak nyaman. Persoalan lain yang langsung dan sedang dihadapi rakyat hari-hari ini adalah kenaikan harga kebutuhan pokok. Harga aneka komoditi kebutuhan pokok sudah naik sebelum kenaikan harga BBM bersubsidi dinyatakan final. Kenyataan ini menyengsarakan begitu banyak orang. Dan, tidak ada yang peduli, termasuk pemerintah sendiri.

Apakah harga kebutuhan pokok akan turun mengikuti keputusan Sidang Paripurna DPR tentang prospek harga BBM dalam beberapa waktu ke depan? Jelas tidak! Sebab, keputusan Sidang Paripurna DPR itu justru akan menjadi modal bagi para spekulan di pasar kebutuhan pokok. Karena ketidakpastian harga BBM akan berlangsung selama syarat dalam pasal 7 ayat 6a belum terpenuhi, selama rentang waktu itu pula para spekulan akan leluasa menggoreng harga komoditi kebutuhan pokok. Kecenderungan yang sama pun akan terjadi di pasar BBM bersubsidi.

Spekulan akan terus berupaya melakukan penimbunan. Di banyak pelosok daerah, sudah bermunculan pasar-pasar gelap yang menawarkan BBM bersubsidi dengan harga tinggi. Dengan keputusan Sidang Paripurna DPR seperti itu, bisa dipastikan bahwa pasar gelap BBM akan terus berlangsung. Bukan tidak mungkin akan terjadi kelangkaan BBM bersubsidi di pelosok-pelosok daerah.

Keputusan Sidang Paripurna DPR yang bahwa jika harga minyak mentah rata-rata Indonesia dalam kurun waktu enam bulan terakhir mengalami kenaikan atau penurunan lebih dari 15%, pemerintah diberikan kewenangan untuk melakukan penyesuaian harga BBM bersubsidi dan kebijakan pendukungnya itu serba mengambang dan gagal meredam emosi publik. Bahkan, sebaliknya, banyak elemen masyarakat semakin marah karena DPR justru memberi peluang kepada pemerintah untuk menaikkan harga BBM bersubsidi.

Sebagai wakil rakyat, DPR justru dinilai tidak menyerap aspirasi masyarakat. Sikap DPR yang demikian akan direspons dengan gelombang protes yang berkelanjutan. Sebab, bagi mahasiswa, pekerja dan kaum tani, persoalan belum selesai kendati DPR berhasil membatalkan kenaikan harga BBM pada 1 April 2012. Berbagai kalangan pun langsung membenturkan keputusan Sidang paripurna DPR itu dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap pasal 28 undang-undang(UU) tentang Migas.

Keputusan MK No. 002/PUU-I/2003sudah menetapkan bahwa harga BBM bersubsidi tidak boleh diserahkan kepada mekanisme pasar. Lebih dari itu, Pasal 7 ayat 6 UU No.22 Tahun 2011 tentang APBN 2012 yang menetapkan “Harga Jual BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan” itu sudah menjadi UU yang hakikatnya tidak bisa divoting lagi. Maka, keputusan Sidang Paripurna DPR itu otomatis dinilai inkonstitusional. Sejumlah ahli hukum tata negara pun bersiap menguji keputusan DPR itu.

Jangan Malas

Aspek yang sama sekali tidak diperhitungkan dari keputusan itu adalah eksesnya. Inilah yang menjadi keprihatinan banyak orang. Alih-alih membantu menurunkan derajat permasalahan, keputusan itu justru destruktif. Akan muncul ragam persoalan dalam rentang waktu enam bulan ke depan. Untuk menurunkan derajat permasalahan, baik pemerintah maupun DPR harus bekerja keras. DPR harus lebih gigih dalam upaya mendapatkan data akurat tentang biaya produksi BBM.

Data-data tentang harga bahan baku, impor dan biaya distribusi harus dipaparkan kepada publik. Publik perlu diberi pemahaman tentang hal ini agar setiap perubahan kebijakan tentang BBM bersubsidi tidak bergejolak. Semua orang setuju bahwa membengkaknya anggaran subsidi BBM tidak boleh terjadi. Pun sepakat bahwa subsidi apa pun harus sampai kepada pihak-pihak yang berhak, yakni warga negara yang dikategorikan kurang mampu. Masalahnya, pembengkakan anggaran subsidi BBM selama ini bisa terjadi karena sebagian besar salah sasaran.

Sudah tahu subsidi salah sasaran, pemerintah terus saja mengulangi kesalahan itu dari tahun ke tahun. Kini saatnya pemerintah harus bekerja keras memperbaiki kesalahan itu. Harus ada keberanian untuk melakukan pembatasan terhadap konsumsi BBM bersubsidi. Muncul anggapan pemerintah malas dan tidak berani melakukan pembatasan. Dan, setiap kali keseimbangan APBN terganggu oleh gelembung anggaran subsidi BBM, pemerintah mengambil langkah instan dengan menawarkan kenaikan harga BBM bersubsidi.

Padahal, jika pemerintah memiliki keberanian menetapkan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, pembengkakan anggaran BBM bersubsidi bisa dihindari. Misalnya, tetapkan saja hanya pengendara motor, angkutan umum, angkutan barang dan jasa plus nelayan yang berhak mengonsumsi BBM bersubsidi. Angkutan roda empat milik pribadi dan plat merah dilarang mengonsumsi BBM bersubsidi. Pola ini kurang lebih sama dengan keberanian pemerintah menetapkan siapa saja warga negara yang berhak menerima bantuan langsung tunai (BLT) dan raskin (beras untuk warga miskin).

Sebelum merealisasikan penyaluran BLT dan raskin, pemerintah tentu bekerja keras dalam mengidentifikasi warga yang berhak menerima, serta berkoordinasi dengan semua pihak terkait agar penyalurannya tidak salahsasaran. Sejauh ini, program BLT maupun Raskin relatif berjalan dengan baik. Kalau benar-benar ingin mencegah terjadinya pembengkakan anggaran subsidi BBM, mengapa pola yang kurang lebih sama tidak diterapkan untuk menyalurkan BBM bersubsidi? Kalau pola ini yang diterapkan, bisa dipastikan bahwa seperti apa pun kebijakan atas BBM bersubsidi tidak pernah akan merusak harga di pasar komoditi kebutuhan pokok. Sebab, cakupan atau areal kebijakannya terbatasi.

Bagaimanapun harus diakui bahwa munculnya ekses pada kebijakan subsidi BBM lebih disebabkan pemerintah sendiri yang belum bekerja maksimal dalam mengefektifkan penyaluran BBM bersubsidi. Pemerintah harus menyalahkan dirinya sendiri karena kesalahan menyalurkan BBM bersubsidi dilakukan terus menerus. Satu hal yang pasti, menaikkan harga BBM bersubsidi bukan jalan keluar yang bisa menghentikan gelembung anggaran subsidi BBM.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar