Rabu, 04 April 2012

Jalan Terjal Memperoleh Keadilan

Jalan Terjal Memperoleh Keadilan
Dominikus Dalu S., Senior Asisten Ombudsman pada Ombudsman Republik Indonesia
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 04 April 2012



HIRUK-PIKUK rencana penaikan harga BBM rupanya sedikit menenggelamkan berita tentang sosok Indra Azwan, laki-laki sederhana asal Malang, Jawa Timur.
Semangatnya mencari keadilan menjadi simbol betapa mahalnya keadilan di negeri ini bagi kaum kecil dan papa. Ia memperjuangkan keadilan atas kematian anak kandungnya bernama Rifki Andika, 12, yang menjadi korban tabrak lari di Kota Malang pada 8 Februari 1993 oleh seorang oknum perwira polisi.

Sayangnya, oknum polisi itu dibebaskan dari jeratan hukuman walaupun sempat ditahan karena perkaranya baru diproses Detasemen Polisi Militer Brawijaya, Malang, dan diserahkan ke Otmil Oktober 2004, disidangkan pada 2007 serta diputus 2008 oleh Mahkamah Militer III Surabaya. Amar putusan pengadilan membebaskan sang perwira dengan pertimbangan antara lain bahwa kasusnya telah kedaluwarsa, yakni telah lebih dari 12 tahun sejak peristiwa kecelakaan. Padahal, ancaman hukuman sesuai dengan Pasal 359 KUHP yaitu `kelalaian yang menyebabkan kematian mencapai lima tahun'. Ironisnya, penyebab kedaluwarsa itu justru karena kesalahan penegak hukum sendiri yang tidak serius mengusut tuntas kasus kecelakaan tersebut. Kepada penyidik yang terlambat memproses perkara, sudah pula divonis bersalah oleh Mahkamah Militer Tinggi Surabaya.

Sebagai sikap protes dan mencari keadilan, Indra Azwan akhirnya berjuang dengan caranya sendiri, yakni menempuh perjalanan ratusan kilometer dari Malang menuju Jakarta dengan berjalan kaki dan kali ini untuk ketiga kali ia melakukan aksi jalan kaki ke Jakarta. Aksi pertamanya dilakukan pada 9 Juli 2010 dan tiba di Istana Negara 22 hari kemudian. Aksi kedua pada 27 September 2011 melalui jalur selatan Pulau Jawa, tetapi tak kesampaian karena ia sakit.

Disusul aksi ketiga kalinya pada 18 Februari 2012 dan baru tiba di Pulo Gadung, Jakarta, 18 Maret 2012. Pada aksi pertama, ia sempat diterima Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Istana Negara dan dijanjikan akan dibantu penyelesaian kasusnya melalui ins tansi berwenang. Akan tetapi sampai saat ini, bantuan tersebut belum juga terealisasi.

Ngeluh, Ngambek, Ngamuk

Dalam budaya ketimuran yang berlaku umum, ekspresi penyampaian keluh kesah masyarakat memang mengenal tingkatan dari cara yang halus sampai yang paling keras. Bila digambarkan paling tidak mencakup tiga klasifikasi, yakni ngeluh, ngambek, ngamuk. Pertama, ngeluh, masyarakat menyampaikan keluh rakat menyampaikan ke kesahnya secara santun dengan mengutarakan unek-uneknya kepada orang yang dianggap dapat menolong meng atasi masalah ata persoalannya. Itu tingkatan penyampaian permasalahan yang paling halus.

Kedua, ngambek, jika keluhannya tidak didengar, tidak menda pat solusi, atau terselesaikan sesuai dengan harapannya oleh orang yang dianggap mampu menolong, ekspresi ketidakpuasan atau bahkan ketidaksukaan disampaikan melalui cara ngambek atau dalam budaya Jawa dikenal dengan mutung.

Kategori itu sebenarnya sudah pada tingkatan waspada atau lampu kuning atau sama halnya dengan pepatah yang menyatakan orang tidak mau terjatuh pada lubang yang sama untuk kedua kalinya. Karena itu, momen tersebut sebenarnya merupakan kesempatan terakhir bagi si penolong untuk mencarikan solusi terbaik atau pemecahan masalah. Ketiga, ngamuk atau huru-hara, hal yang sebenarnya harus dihindari karena jika terjadi, itu akan merugikan semua pihak dan pemuli hannya membutuhkan ongkos yang tidak murah dalam segala aspek.

Kalau sampai Indra Azwan mengembali kan sejumlah uang yang telah ia terima dari SBY, kita tentunya bisa mengartikan tindakan ter ebut sebagai bentuk protes dalam tingkatan ngambek yang artinya memberikan sinyal peringatan agar segera memperoleh perhatian.
Bila tidak ditanggapi secara serius, bisa jadi tindakan yang lebih nekat dapat dilakukan. Namun Indra Azwan sudah me nyampai kan bahwa sebagai orang kecil ia akan berjuang dengan cara kesatria. Ia tidak ingin melakukan keonaran apalagi huru-hara. Pengadilan yang paling adil buat Indra Azwan adalah pengadilan Tuhan yang empunya hidup. Oleh karena itu, tekadnya sudah bulat bila langkahnya kali ini tidak juga ditanggapi serius oleh Presiden dan jajarannya, ia akan berjalan kaki menuju Arab Saudi untuk berpasrah diri di tanah suci Mekah.

Solusi yang Mungkin

Tidak ada yang salah dengan tindakan Indra Azwan untuk memperjuangkan keadilan atas kematian anaknya agar pelaku dihukum sehingga keadilan ditegakkan, sebagaimana ucapan terkenal dari Lucius Calpurnius Piso Caesoninus (43 SM) fiat justitia et pereat mundus atau biar dunia runtuh hukum harus tetap ditegakkan. Tidak ada pula yang salah dari SBY karena bukankah persoalan yuridis merupakan kewenangan penegak hukum yang tidak boleh diintervensi siapa pun? Akan tetapi sebagai kepala negara, Presiden adalah simbol.

Jika kepada simbol negara warga sudah mengeluhkan permasalahannya bahkan sampai bersikap mutung, tetapi tidak pula dilayani yang berwajib (baca penegak hukum), kepada siapa lagi warga mengeluhkan permasalahannya? Dalam penegakan hukum terdapat tiga unsur penting, yakni kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan (gerechtigkeit).
Dalam kasus kematian putra Indra Azwan, ketiga unsur tersebut belum diperoleh keluarga korban.

Kepastian hukum belum diperoleh karena masih ada upaya hukum luar biasa yang bisa dilakukan Oditur Militer. Bukankah penyidik yang menyalahgunakan kewenangannya karena terlambat melakukan penyidikan sudah diambil tindakan? Hal tersebut dapat pula dipakai sebagai bukti baru (novum) dalam mengajukan peninjauan kembali (PK) kepada Mahkamah Agung RI, mengingat peristiwa kecelakaan terjadi pada 1993 sehingga anggota Polri yang terlibat tindak pidana masih tunduk kepada peradilan militer sebelum berlakunya UU No 2/2002 tentang Kepolisian RI, yang menyatakan anggota Polri diadili oleh pengadilan umum bila terlibat dalam tindak pidana. Apalagi, unsur kemanfaatan dan keadilan sampai saat ini masih jauh dari harapan.

Apa yang dialami Indra Azwan merupakan cermin bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, hal yang jamak terjadi dalam praktik hukum kita saat ini. Akhirnya, semoga upaya yang tidak mengenal lelah dari Indra Azwan membuahkan peluang untuk mendapatkan keadilan di negeri ini. Lebih dari itu, kiranya tidak ada korban ketidakadilan sejenis di kemudian hari. Penegak hukum sudah seharusnya bertindak profesional karena menunda pelayanan ialah bentuk ketidakadilan itu sendiri.

Lagi pula dalam hukum pidana tidak ada batas waktu pengajuan PK sehingga peluang memperoleh keadilan masih dimungkinkan. Akhirnya, kepada penegak hukum janganlah menyalahgunakan hukum kita male enim nostro iure uti non debemus karena kepada merekalah, para pencari keadilan menaruh asa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar