Rabu, 04 April 2012

Urgensi Memangkas Subsidi


Urgensi Memangkas Subsidi
Refi Kunaefi, Mahasiswa Master of Energy and Environment,
Ecole des Mines de Nantes, Prancis
SUMBER : REPUBLIKA, 04 April 2012



Sejarah panjang produksi minyak Indonesia diawali oleh J Reerink (1871) yang menemukan rembesan minyak di lereng Gunung Ciremai, Cirebon. Pengeboran empat sumur yang dilakukannya dengan bantuan tenaga lembu tersebut menghasilkan 6.000 liter minyak. Sejak itu, banyak perusahaan swasta asing yang “bermain“ dalam industi emas hitam di Indonesia.

Orde baru merupakan periode keemasan industri minyak Indonesia. Pada awal masa itu, produksi minyak Indonesia mencapai 500 kbpd (thousand barrels per day) dengan konsumsi yang tidak sampai setengahnya. Kemudian, pada rentang waktu 1973-2000 produksi ratarata minyak Indonesia mencapai 1,5 mbpd (million barrels per day) dengan konsumsi 200 kbpd (1973) dan meningkat sampai 1,1 mbpd (2000) (BP Statistical Review, 2011). Surplus tersebut menjadikan Indonesia menjadi pemain penting dalam industri perminyakan internasional.

Sayangnya, sejak 2003, Indonesia mulai menjadi negara pengimpor minyak karena mengalami defisit produksi. Konsumsi minyak kita saat ini 1,4 mbpd, jauh melebihi lifting yang hanya mencapai 930 kbpd. Bahkan, kecenderungan yang ada sekarang menunjukkan bahwa defisit minyak kita akan semakin besar dari tahun ke tahun disebabkan kapasitas produksi yang menurun tidak mampu mengimbangi peningkatan konsumsi yang karena pertumbuhan jumlah penduduk.

Pengurangan Subsidi

Saat ini, harga pasar BBM kelas paling rendah (Premium) hanya sekitar setengah dari harga keekonomiannya. Hasilnya, pemerintah dari tahun ke tahun memberikan subsidi untuk membayar selisih harga pasar dan harga produksi tersebut. Dua tahun terakhir, subsidi energi (BBM dan listrik) mencapai 20 persen belanja pemerintah pusat (Data Pokok APBN 2006-2012, Kemkeu). Menyikapi isu kenaikan BBM untuk mencegah bertambahnya subsidi (atau juga pengurangan subsidi) BBM, penulis mendukung rencana pemerintah tersebut.

Ada beberapa alasan mengapa subsidi energi mesti dikurangi. Pertama, dalam RAPBN 2012, beban subsidi energi mencapai Rp 168,5 triliun (Rp 123,5 triliun untuk BBM), dengan asumsi makro bahwa harga minyak dunia adalah 90 dolar AS per barel dan lifting minyak Indonesia 950 kbpd. Nyatanya, sampai maret 2012 harga minyak dunia mencapai 120 dolar AS dan defisit 20 kbpd dari target lifting. Selain itu, harga minyak dunia bisa saja terus meningkat mengingat ketegangan Iran melawan sanksi Amerika dan Uni Eropa belum menunjukkan perbaikan berarti.

Perbedaan asumsi harga minyak awal dan aktual inilah yang menyebabkan beban subsidi BBM bisa mencapai Rp 190 triliun, jika tidak ada intervensi yang dilakukan pemerintah. Dalam kasus ini, beban negara akan terlalu besar dan menimbulkan defisit anggaran yang lebih besar lagi. Tentu kita tidak ingin krisis di beberapa negara Eropa, yang terjadi saat ini, dan disebabkan oleh defisit anggaran berlebih dibanding PDB terjadi juga di Indonesia dalam waktu dekat.

Akan lain ceritanya jika kita sedang berada pada masa keemasan sebelumnya di mana kapasitas produksi kita (1,5 mbpd) jauh melebihi konsumsi (400 kbpd) pada tahun '70-an. Saat itu, karena setiap kenaikan satu dolar AS harga minyak per barel akan menghasilkan 400 miliar dolar AS tambahan pemasukan negara setiap tahunnya.

Kedua, pemerintah tidak layak memberikan subsidi tambahan tersebut yang notabennya tidak tepat sasaran. BBM selama ini lebih banyak dinikmati oleh golongan menengah ke atas yang memiliki kendaraan bermotor. Ketersediaan energi murah ini menstimulus banyak hal lain yang kontraproduktif dengan pembangungan berkelanjutan--yang paling menonjol adalah melonjaknya pasar industri otomotif, yang berarti mandeknya perkembangan transportasi umum.

Selain itu, beban subsidi tambahan akan menghambat pertumbuhan di sektor lain karena kurangnya investasi yang dialokasikan. Akan lebih bijak jika kita mengalokasikan subsidi tambahan tersebut, beserta penghematan anggaran lainnya, untuk lebih agresif mengembangkan energi terbarukan seperti yang tertuang dalam rencana bauran energi Indonesia 2025. Sampai saat ini, target-target untuk mencapai tujuan tersebut belum signifikan.

Ketiga, rencana pemerintah yang akan memberikan empat paket kompensasi kenaikan BBM selama beberapa bulan adalah tindakan yang tepat sasaran. Penambahan jatah beras rakyat (raskin), BLSM (Bantuan Langsung Sementara Masyarakat), dan kompensasi transportasi sampai lima triliun rupiah akan mampu membantu hampir 20 juta masyarakat yang tidak mampu untuk menghadapi kenaikan harga barang di periode awal setelah kebijakan kenaikan harga BBM diterapkan.

Namun demikian, setelah menaikkan harga BBM untuk mengurangi beban subsidi, pemerintah harus memprioritaskan pembangungan di berbagai bidang lain. Penyediaan transportasi umum yang layak dan profesional, investasi lebih pada sumber energi alternatif untuk kendaraan, seperti dengan penyediaan teknologi gas converter, serta pengembangan dan pemanfaatan yang lebih maksimal sumber energi terbarukan, seperti microhydro dan geothermal adalah keharusan. Beberapa langkah tersebut dapat mengurangi tingkat konsumsi BBM secara signifikan.

Dengan kenaikan harga pasar BBM ini, masyarakat juga menuntut pemerintah untuk melakukan pemberantasan korupsi dan mafia anggaran yang menjadikan pembangunan Indonesia lamban. Sekarang, kita tinggal menunggu keberaniaan pemerintah untuk mengambil kebijakan yang tidak populer ini dengan tujuan besar untuk menyelamatkan negara. Tapi perlu diingat, jangan sampai kepercayaan masyarakat dikhianati dengan korupsi-korupsi berbagai program kompensasi yang dijanjikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar