Celoteh
Pelestarian Hutan
Marison Guciano, Mahasiswa
Pascasarjana UI; Pengurus Yayasan Greennet Indonesia; Juru Kampanye Sekretariat
Kerja Sama Pelestarian Hutan Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 09 April 2012
Penghancuran hutan Indonesia masih terus
berlangsung. Pada 2 Maret, Greenpeace dan Walhi menyampaikan hasil investigasi
dugaan perusakan hutan di Riau— termasuk menebang ramin—oleh perusahaan kertas
ke Mabes Polri.
Penebangan ramin dilarang sejak 2001 dan
secara internasional spesies ramin dilindungi oleh Convention on International Trade in Endangered Species (CITES).
Laporan itu juga menyebutkan, sejak 2001 paling tidak 180.000 hektar hutan
lahan gambut di Sumatera hancur dikonsesi-konsesi perusahaan.
Laporan disampaikan kepada polisi ketika
Presiden SBY belum genap tiga pekan menegaskan komitmennya melestarikan
lingkungan di hadapan para diplomat asing (Kompas, 16/2). Komitmen yang
berulang kali diucapkan untuk menyelamatkan hutan Indonesia itu dinilai tak
lebih dari sekadar pernyataan belaka.
Belajar dari sejarah
Sepanjang sejarah Indonesia, negara sering
tak berdaya menghentikan perusakan hutan alam oleh perusahaan-perusahaan
pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH). Dengan kekuatan uang, perusahaan
membuktikan dirinya jauh lebih kuat—bahkan daripada negara sekalipun—untuk
memegang kendali atas sumber daya hutan yang semestinya dipergunakan bagi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Akibat konflik sumber daya hutan dengan
perusahaan, tak jarang masyarakat terusir dari tanahnya tanpa perlindungan
negara dan kompensasi apa pun. Kasus Mesuji adalah salah satu contohnya.
Padahal, jika kita mau belajar dari sejarah, kekayaan hutan yang
dikuras perusahaan tak pernah sebanding dengan kontribusi mereka bagi
perekonomian nasional dan peningkatan kesejahteraan penduduk lokal.
Dekade 1980-an adalah masa sumber daya hutan
Indonesia mulai dieksploitasi oleh ratusan perusahaan HPH. Sepanjang 1980-1999
tercatat ada 115 industri kayu nasional. San Afri Awang—dalam pidato pengukuhan
guru besarnya di UGM tahun 2008—menyebutkan, setelah dikelompokkan, pemegang
izin HPH itu hanya dimiliki sekitar 20 konglomerat kehutanan.
Ironisnya, sepanjang tahun 1980-1999 itu pula
pemanfaatan hasil hutan tidak berkontribusi maksimal terhadap perekonomian
nasional dan kesejahteraan penduduk di sekitar hutan. Bahkan, yang
terjadi justru sebaliknya. Cifor (2004) mengungkapkan, pengelakan pajak hutan
diperkirakan merugikan negara 1,5 miliar dollar AS per tahun.
Kini, yang ditinggalkan para konglomerat
kehutanan hanyalah kerusakan. Kerusakan hutan tercepat di Indonesia terjadi
dalam kurun 1980-1999, saat para konglomerat kehutanan dengan serakah
mengeksploitasi hutan alam Indonesia hingga 2,83 juta hektar per tahun.
Hutan rusak adalah sumber malapetaka. Bencana
akibat susutnya hutan hadir di sekitar kita. Pada musim hujan, bencana banjir
datang seolah tanpa berkesudahan. Pada musim kemarau, kekeringan ada di
mana-mana. Hancurnya hutan telah memusnahkan sumber kehidupan karena hutan
menyediakan jutaan keanekaan hayati yang berfungsi sebagai penyedia sumber air
dan kebutuhan nyata jutaan penduduk, penyedia tanaman obat, sumber stok
genetik, regulator iklim, pencegah bencana alam, dan penjaga keseimbangan
ekosistem.
Ketulusan hati
Pada 2001, penelitian yang dilakukan Pieter
van Beukering dan Herman Cesar tentang nilai ekonomi hutan Leuser menunjukkan,
nilai konservasi hutan jauh melebihi nilai ekonomi daripada pemanfaatan kayu.
Dalam hitungan mereka, upaya konservasi
Kawasan Ekosistem Leuser selama 30 tahun akan memberi pendapatan Rp 85 triliun,
antara lain dari pemanfaatan air oleh berbagai sektor dan jasa lingkungan. Di
antaranya penyediaan air bersih, plasma nutfah, pengendalian erosi dan banjir,
penyerapan karbon, pengaturan iklim lokal, perikanan air tawar, dan pariwisata.
Dalam kurun waktu yang sama, pengambilan kayu hutan hanya menghasilkan Rp 31
triliun.
Pemerintah seharusnya merujuk hasil
penelitian Van Beukering dan Cesar untuk menentukan pilihan pengelolaan sumber
daya hutan, terutama saat hutan Indonesia memprihatinkan seperti sekarang.
Namun, pilihan konservasi hutan jangan pernah
didasari pada niat untuk mendapat bantuan asing yang berkedok utang, seperti
program Reducing Emissions from
Deforestation and Forest Degradation (REDD) sekarang. Selain menjadi beban
anak cucu dan jadi ajang korupsi penyelenggara negara, utang itu
jelas memosisikan bangsa kita lebih rendah daripada bangsa lain.
Sikap yang jauh lebih terhormat adalah
merawat hutan dengan ketulusan kita, sebagaimana hutan pun ikhlas memberikan
semua yang ada padanya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar