Pelajaran
dari Hongaria
Donny Koesoema A, Pemerhati
Pendidikan
SUMBER : KOMPAS, 09 April 2012
Hari-hari ini Hongaria memberi pelajaran
penting bagi kita tentang arti kejujuran dan tanggung jawab pemimpin. Presiden
Hongaria Pal Schmitt mundur dari jabatannya setelah gelar doktornya dicabut
karena terbukti melakukan plagiat.
Isu bahwa Schmitt akan mundur sudah terdengar
santer beberapa hari lalu. Tepatnya hari Jumat (30/3), sehari setelah
Universitas Semmelweis di Budapest mencabut gelar doktor filsafatnya.
Universitas menemukan bahwa Schmitt telah
menyalin ”kata per kata” dalam paragraf tesisnya dari pengarang lain tentang sejarah
olimpiade. Ia menjiplak kata per kata sebuah teks yang ditulis dalam bahasa
Perancis oleh ahli olahraga dan diplomat Bulgaria, Nikolai Gergiev. Bahkan,
pihak universitas juga menemukan bahwa 17 halaman dari kesimpulan tesis Schmitt
adalah terjemahan harfiah kata per kata dari profesor Jerman, Klaus Heinemann,
yang ditulis pada 1991.
Karena alasan itulah, Schmitt mundur sebagai
presiden. Pengunduran dirinya diterima oleh sebagian besar anggota parlemen:
338 mendukung, 5 menolak, dan 6 abstain. Dalam surat pengunduran dirinya,
Schmitt menulis, ”Demi kepentingan rakyat Hongaria dan terjaganya kesatuan
nasional, saya mengundurkan diri sebagai presiden.”
Tiga pelajaran penting
Pertama, seperti dikatakan ketua Partai
Sosialis kepada deputi partai berkuasa Fidesz, ”Pemimpinmu tidaklah kebal atas
kesalahan dan itu membatasi kekuasaanmu.” Cakupan dan kekuasaan seorang
pemimpin itu terbatas. Yang membatasi tanggung jawab dan praksis seorang
pemimpin adalah nilai-nilai moral. Kepemimpinan itu tidak tak terbatas. Ada
batas-batas moral yang menjadi pagar kredibilitas seorang pemimpin.
Mungkin plagiat tesis doktor tidak begitu
signifikan memengaruhi kebijakan politik. Namun, fakta bahwa seorang pemimpin
melakukan plagiat menunjukkan rendahnya integritas moral, terutama kemampuannya
dalam mencintai kebenaran, menghargai kejujuran dan kerja keras.
Kedua, parlemen yang menjadi suara rakyat
seharusnya mengutamakan kebenaran dan keadilan daripada kepentingan
mempertahankan kekuasaan kelompoknya sendiri.
Partai Fidesz adalah penguasa sebagian besar
suara di parlemen. Namun, justru sebagian besar suara mendukung pengunduran
diri Schmitt. Di sini kita perlu belajar bahwa rambu-rambu sebuah parlemen,
atau DPR, sekali lagi bukanlah kepentingan politik kelompok sempitnya sendiri,
melainkan kepentingan rakyat yang dasarnya kebenaran dan kriterianya
nilai-nilai moral.
Ketiga, bukan banyaknya dukungan, melainkan
dalamnya nilai moral yang dihayati. Kukuhnya sebuah kepemimpinan tidak
ditentukan kriteria banyaknya pendukung dalam parlemen, tetapi mereka semua
abai terhadap nilai-nilai moral.
Banyaknya dukungan dalam parlemen tak akan
ada artinya apabila semua anggota dalam parlemen yang mendukung sama-sama
korup. Jika demikian, keputusan mayoritas melalui voting yang dianggap sebagai
bagian demokrasi pun akan korup jika kriteria nilai-nilai moral itu tidak
dijunjung tinggi.
Bahwa partai berkuasa yang memiliki suara
terbanyak dalam parlemen justru setuju presidennya mengundurkan diri, hal itu
menunjukkan di kalangan parlemen Hongaria bahwa suara hati, nilai moral,
penghargaan terhadap kebenaran, dan pelayanan publik masih merupakan nilai
sakral yang harus diperjuangkan, baik oleh oposisi maupun pemegang tampuk
kekuasaan.
Perlu Becermin
Kita perlu becermin dari peristiwa ini. Fakta
bahwa para anggota parlemen kita masih sering bersitegang demi kepentingan
kelompok sendiri dan mengabaikan kepentingan rakyat, seperti kita saksikan
menjelang rapat kenaikan harga BBM, menunjukkan rendahnya kualitas kepemimpinan
para anggota parlemen kita. Mereka lebih gemar main voting (baca: main kuasa)
daripada benar-benar memikirkan apa yang jadi keprihatinan rakyat dan kebaikan
publik.
Kepemimpinan yang dapat dipercaya sangat
ditentukan melalui kriteria penilaian moral dibandingkan dengan banyaknya suara
di dalam parlemen. Sistem voting dalam parlemen sebenarnya hanya mengatakan
bahwa mayoritas memiliki hak menentukan.
Mengutamakan suara mayoritas, tetapi luput
melindungi yang lemah, miskin, dan tersingkir seperti dialami sebagian besar
rakyat di negeri ini merupakan sebuah praksis demokrasi yang minus nilai-nilai
moral. Tirani mayoritas sangat berpotensi menindas minoritas. Padahal, dalam
sebuah demokrasi yang sehat, kepentingan rakyat mesti didahulukan, terlebih
kepentingan pembelaan mereka yang tak punya suara dan minoritas.
Hongaria telah memberikan pelajaran berharga
bagi kita tentang bagaimana cara menghayati kepemimpinan. Kepemimpinan sering
mengacu pada penguasaan dan kekuasaan seorang pemimpin tidaklah tak terbatas.
Ada batas-batas tanggung jawab yang menjadi bagian dari fungsi sosial pelayan
publik, entah mereka itu presiden, anggota DPR, rektor universitas, ataupun
guru.
Dalam kaitan ini setiap individu yang diberi
kepercayaan untuk melayani publik tak lain tak bukan hanya bisa memandang wajah
publik sebagai kriteria pelayanan. Dan dalam melayani publik, setiap orang
dihargai selaras dengan harkat dan martabatnya. Kita harus belajar dari
pelajaran Hongaria ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar