Selasa, 24 April 2012

BBM dan Keberpihakan



Muhammad Agung Prabowo, Peneliti Governance Center Fakultas Ekonomi Universitas Sebelas Maret, Surakarta
SUMBER : SINDO, 24 April 2012



Rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) ditunda. Sebelum penundaan terjadi, kenaikan harga BBM merupakan isu panas yang secara nasional menyita halaman muka berbagai media massa.

Alasan utama yang seringkali dilontarkan kalangan pendukung kenaikan harga adalah perbaikan struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Alasan lain adalah ada disparitas yang tinggi antara harga BBM dalam negeri dan luar negeri. Kalangan penentang mengemukakan bahwa kenaikan BBM berpotensi memicu peningkatan inflasi sebagai akibat kenaikan harga-harga komoditas lain. Tulisan ini akan menelaah kenaikan harga dari sisi kepamong- prajaan yang diderivasi dari konsep governance.Tulisan ini diharapkan akan terbebas dari maksud untuk membuat justifikasi dan overrule terhadap argumen golongan pendukung maupun penentang.

BBM, APBN, dan Governance

APBN dapat dianggap sebagai sebuah mekanisme pengelolaan keuangan negara yang merupakan bagian integral dari manajemen pembangunan suatu negara. APBN mempunyai berbagai fungsi sesuai dengan basis domain. Pada tingkatan klerikal, APBN merupakan sebuah sistem pencatatan prediksi dan realisasi penerimaan negara maupun pengeluaran negara.

Pada tingkatan manajerial, APBN merupakan petunjuk arah dan target bagi pengelola negara dalam menjalankan penyelenggaraan negara. Pada tingkatan makro, angka-angka yang tercantum dalam APBN merupakan cerminan strategi pembangunan yang berangkat dari paradigma pembangunan yang akan dianut. Sebagai sebuah anggaran, APBN mempunyai dua sisi yaitu sisi pendapatan dan belanja. Sisi belanja merupakan pengeluaran pemerintah selama periode tertentu yang digunakan untuk membiayai keperluan rutin dan keperluan pembangunan.

Dalam struktur APBN Indonesia, ekspos BBM versi pemerintah selalu difokuskan pada sisi pengeluaran subsidi dengan dalih ada kesenjangan antara volume produksi dan kebutuhan dalam negeri serta kesenjangan antara harga dalam negeri dan harga internasional. Kendati demikian, fakta ada produksi BBM di Indonesia membuat poin ini sebenarnya juga termasuk dalam komponen penerimaan.Terlepas dari cara pencatatan akuntansi, konfigurasi ini kemudian menjadi bahan perdebatan yang berkepanjangan mengenai akurasi angka BBM yang tercantum sisi penerimaan maupun pengeluaran.

APBN sejatinya tidaklah berbeda secara substansial dengan pengelolaan (rencana) keuangan rumah tangga Anda walaupun terdapat perbedaan mengenai bentuk,cakupan pengaruh, dan keluasan akuntabilitas. Artinya, pengelolaan keuangan dan anggaran selalu dihadapkan pada asumsi paling dasar dalam ilmu ekonomi yang menyatakan bahwa sumber daya selalu terbatas, sedangkan di lain pihak ragam kebutuhan (baca: tingkat kepuasan atau utilitas) yang harus dipenuhi selalu tidak terbatas. Sudah barang tentu keseimbangan antara sumber daya dan pemenuhan kebutuhan menjadi sebuah keniscayaan.

Dengan demikian, di satu pihak pengelola keuangan harus membuat strategi optimalisasi pendapatan. Di lain pihak pengelola menghadapi isu urgensi, efektivitas, dan efisiensi kebutuhan yang tercermin dalam skala prioritas. Dalam tataran fundamental, penentuan strategi dan skala prioritas selalu merujuk pada paradigma nilai yang menjadi acuan pengelolaan keuangan negara. Dalam percakapan sehari-hari, paradigma ini lebih sering dikenal dengan istilah keberpihakan nilai. Malangnya,hal yang paling hakiki ini sering dilupakan dalam diskusi mengenai APBN.

Tanpa ada acuan nilai, anggaran hanya akan menjadi terminal antara bagi kepentingan kelompok penguasa dalam membagi kue pembangunan kepada golongan tertentu dan menafikan pemenuhan kebutuhan publik. Pada titik ini pengelola anggaran sebenarnya memasuki ranah governance. Konsep dasar governancesebenarnya membumikan nilainilai ideologi tertentu ke dalam tataran praksis. Nilai ideologis merupakan fundamen yang menjadi dasar untuk menentukan baik-buruknya sebuah strategi, kebutuhan, maupun dampak keputusan yang dipilih.

Ketika pemerintah menyatakan bahwa kenaikan BBM untuk menyelamatkan APBN,hal yang muncul adalah pertanyaan mengenai keberpihakan pemerintah.Jika tujuan utama hanya menyelamatkan APBN, sebenarnya ada banyak hal yang bisa ditempuh. Cara yang paling sederhana adalah melakukan intensifikasi dan ekstensifikasi berbagai jenis pungutan.Tentu saja meningkatkan tarif pajak dan bea masuk impor akan ditentang oleh para ekonom yang mengkhawatirkan capital outflow dan potensi komplain berdasarkan pakta perdagangan.

Meski demikian, sebuah survei menyatakan bahwa pertimbangan utama para investor menanamkan modal di Indonesia terletak pada masalah kepastian hukum. Keringanan pajak bahkan berada di luar sepuluh besar faktor penentu keputusan investasi. Meningkatkan efisiensi penggunaan anggaran adalah cara lain yang bisa dan harus ditempuh. Langkah utama adalah menekan angka korupsi. Walaupun peringkat dalam indeks korupsi mengalami perbaikan, sejatinya Indonesia masih tergolong dalam kelompok buncit. Hal ini berarti korupsi masih menggerogoti APBN secara laten.

Dengan asumsi tingkat kebocoran sebesar 10% saja (walaupun para periset meyakini bahwa angka kebocoran lebih kurang berada pada kisaran 20%-30%), dana yang tersedia dari efisiensi ini jauh melebihi angka (yang diklaim sebagai) subsidi BBM. Rute lain adalah memangkas jenis pengeluaran yang dapat diganti dengan manajemen operasi yang lebih efisien.

Kenaikan BBM dan Governance

Alih-alih mengelaborasi alternatif tersebut, para pembantu Presiden lebih memilih untuk terjebak pada pendekatan parsial di mana kekurangan dana pembangunan selalu dianggap sebagai masalah dalam isolated context.Itu pun dengan jalan pintas yaitu menaikkan harga BBM yang dilandasi dengan justifikasi bahwa subsidi merupakan parasit bagi pembangunan. Terlepas dari perdebatan justifikasi ini, dari perspektif governance, keputusan menaikkan BBM sebenarnya dapat dibaca sebagai strategi pemerintah dalam kancah the battle for organizational control.

Berkaca dari sektor korporasi, menaikkan harga BBM merupakan upaya yang dilutif untuk melemahkan kekuatan anggota entitas secara proporsional. Pada masyarakat yang berpenghasilan menengah ke atas, kenaikan BBM akan berdampak secara insignifikan terhadap kesejahteraan mereka. Selain itu, kenaikan BBM tentu saja akan memberatkan anggota masyarakat yang berpenghasilan menengah ke bawah, yang dalam struktur demografi negara ini punya porsi lebih dari dua pertiga. Artinya upaya pelemahan ini sanggup menohok sebagian besar anggota masyarakat.

Selanjutnya kondisi lemah ini akan selalu membuka ruang bagi timbulnya ketergantungan masyarakat kepada penguasa. Pada titik ini mekanisme bantuan uang kas kepada masyarakat dapat dibaca sebagai rancangan alat yang digunakan untuk mempertajam ketergantungan. Walaupun penyelamatan APBN dapat dilakukan dengan menekan angka inefisiensi ataupun intensifikasi dan ekstensifikasi pungutan, strategi ini lebih sulit dijalankan dari perspektif pertarungan kekuasaan.

Membabat inefisiensi, secarasosiologis, akanmelahirkan perlawanan dari para kelompok yang selama ini terlibat dalam ekonomi rente. Perla-wanan kelompok ini akan jauh lebih berbahaya dari protes yang dilakukan kelompok marginal. Dari perspektif ini terlihat bahwa menaikkan BBM merupakan strategi yang paling feasibleuntuk menciptakan ketergantungan dalam konteks mengamankan perolehan suara pemilu mendatang (baca: pertarungan kekuasaan).

Tujuan Besar

Pertanyaan terpenting soal governance sebenarnya, apakah tujuan dari kenaikan BBM sebatas untuk penyelamatan APBN an sichataukah ada tujuan yang lebih besar yang punya justifikasi yang dapat diterima? Sudah barang tentu, tujuan utama dari pengelolaan negara adalah kemakmuran publik. Karena itu, penyelamatan APBN harus diletakkan pada kerangka peningkatan ke-sejahteraan warga negara. Walaupun kesejahteraan akan dicapai dalam jangka panjang, pemerintah sudah seharusnya memerinci sasaran antara jangka pendek untuk mencapai tujuan jangka panjang.

Artinya, bisa saja penurunan kesejahteraan akan terjadi dalam jangka pendek yang kemudian akan diikuti peningkatan kemakmuran dalam jangka panjang. Dengan sentuhan dari pakar komunikasi, target sasaran tersebut dapat dikomunikasikan kepada publik dengan menggunakan bahasa yang mudah ditangkap sehingga publik memahami betul urgensi peningkatan BBM dari perspektif pemerintah. Kendati demikian, sekali lagi, para pembantu Presiden terlihat gagap dalam mengolah isu ini dan mengomunikasikan kepada publik.

Alih-alih menyajikan simulasi dampak kenaikan BBM dalam satu periode ke periode selanjutnya, para pembantu Presiden hanya punya satu argumen yang selalu diulang-ulang yaitu penyelamatan anggaran. Dari berbagai ekspos yang dilakukan, malangnya, beberapa kalangan dalam partai pengusung Presiden bahkan menggunakan taktik menjatuhkan kredibilitas para penentang. Taktik ini tentu saja merugikan karena publik akan berpandangan bahwa pemerintah lebih mengacu pada “siapa yang mengatakan” dan bukan pada “apa yang dikatakan”.

Pendek kata, keputusan yang diambil didasarkan kepada orang, bukan pada pemikiran. Lantas, apa bedanya dengan kronisme dan perkoncoan? Pola pengambilan keputusan seperti ini tentu saja akan menimbulkan distrust di kalangan publik. Meski demikian, sebelum BBM benar-benar dinaikkan, masih ada waktu bagi pemerintah untuk merevisi strategi politik ekonomi pengelolaan BBM dan anggaran negara.

Kalaupun BBM memang harus dinaikkan, mengomunikasikan strategi penyelamatan anggaran dengan cara yang membumi kepada publik patut dan layak untuk dilakukan. Semoga saja kali ini para pembantu Presiden dapat menambahkan nilai positif dalam portofolio mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar