Senin, 09 April 2012

Suu Kyi dan Bayangan Diktator Ne Win

Suu Kyi dan Bayangan Diktator Ne Win
Djoko Pitono, Jurnalis Senior dan Editor Buku
SUMBER : JAWA POS, 09 April 2012



ERA baru disebut telah datang di Myanmar alias Burma setelah berlangsungnya pemilu sela pada Minggu, 1 April 2012. Liga Nasional Demokrasi (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi merebut 43 di antara 45 kursi parlemen yang diperebutkan. Presiden Myanmar Thein Sein menyatakan Selasa lalu (3/4), pemilu itu telah berlangsung sukses. Para pemimpin ASEAN, termasuk Indonesia, menyerukan Barat (UE dan AS) mencabut sanksi atas Myanmar.

Apakah militer yang telah menahan Suu Kyi selama 22 tahun itu telah berubah dan siap mengambil peran menjadikan Myanmar sebuah negara modern?

Rezim militer Myanmar masih mencengkeram kuat. Partai Suu Kyi memang menang telak dalam pemilu sela, tetapi posisinya di parlemen tetap minoritas. Militer dan partai bentukannya, Partai Pembangunan dan Solidaritas Bersatu (USDP), menguasai 80 persen kursi parlemen. Militer pun telah menegaskan akan menentang amandemen konstitusi untuk menggusur 25 persen jatah kursinya di legislatif.

Rupanya, bayangan (diktator) Ne Win masih berjalan di koridor-koridor kekuasaan dalam bentuk junta dan korps perwira tak tahu terima kasih. Sejarah Burma kental dengan intrik militer dan pengkhianatan. Ketika Ne Win wafat dalam usia 91 tahun (Desember 2002), statusnya tahanan rumah. Padahal, dia adalah salah satu tokoh pendiri angkatan bersenjata Myanmar dan 30 tahun menjadi penguasa tanpa saingan. Sejumlah kerabat, termasuk seorang putri Ne Win, juga ditahan atas tuduhan merencanakan kudeta.

Hanya dalam beberapa jam, jenazah Ne Win telah dikremasi. Acara itu hanya dihadiri sekitar 25 orang kerabat dan kawan dekatnya, tidak ada satu pun pejabat militer dan pemerintah. Tragis.

Proses kremasi kilat jenazah Ne Win itu mungkin adalah "karma". Pada 1974 jenazah mantan Sekjen PBB U Thant diterbangkan ke tanah air. Ne Win dilaporkan tidak senang atas reputasi internasional U Thant.

Para mahasiswa kala itu merasa yakin bahwa Ne Win tidak akan mengizinkan penghormatan apa pun terhadap U Thant. Mereka pun menjemput peti jenazah tersebut di bandara dan melarikannya agar bisa memberikan penghormatan secara layak. Tetapi, para tentara Burma merampas peti jenazah itu setelah bentrokan berdarah dan menahan lebih dari seribu mahasiswa.

Tapi, jenazah U Thant, yang punya nenek moyang Buddhis dan muslim itu, terselamatkan. Sekarang jasad U Thant tetap bersemayam di mausoleum dekat Pagoda Shwedagon. Tak jauh dari bangunan megah Pagoda Maha Wizaya yang disebut juga Pagoda Ne Win.

Saat Ne Win wafat, sejarah ternyata tidak lebih baik hati terhadap Ne Win meskipun dia dulu pahlawan.

Ne Win bagaimanapun diingat sebagai thakin (jagoan), pejuang mu­da yang melawan kolonialisme Inggris pada 1930-an. Dia bergabung pada Dobama Asiayone (Asosiasi Burma Kita). Dia juga salah satu di antara 30 kamerad legendaris yang dilatih Jepang pada awal 1940-an. Para pejuang itu mengucurkan darah dan meminumnya dalam upacara di Bangkok sebagai sumpah sebelum masuk Burma melalui Tennasserim bersama pasukan Jepang.

Anggota paling terkenal kelompok itu adalah pemimpinnya, Bogyoke (Jenderal Besar) Aung San. Dialah ayah Aung San Suu Kyi, pejuang demokrasi, pemimpin NLD, dan pemenang hadiah Nobel Perdamaian 1991.

Aung San dibunuh pada 1947 oleh seorang pesaing politik yang dipersenjatai para perwira Inggris. Ada yang me­ngaitkan Ne Win dengan pembunuhan itu, tetapi belum berhasil menunjukkan bukti-bukti yang tak terbantah.

Kejayaan Ne Win berlanjut pada masa-masa setelah perang, saat dia mendirikan militer Burma hampir tanpa bantuan luar negeri. Dia pun menumpas berbagai pemberontakan yang nyaris menguasai ibu kota Yangoon (Rangoon).

Kecintaan Ne Win terhadap kekuasaan berawal pada 1958. Saat itu PM U Nu meminta Ne Win sebagai panglima AD untuk membentuk pemerintah sementara dan menstabilkan pemerintahan sipil. Ne Win menjalankan tugas itu de­ngan baik dan U Nu pun kembali menjadi PM pada 1960. Tetapi, Ne Win yang mulai jengkel kepada kaum sipil yang dinilainya susah diatur melancarkan kudeta dan mendirikan dewan revolusi militer. Langkah tersebut kemudian membuat Myanmar terpuruk dan menjadi negeri paling miskin di Asia. Pergolakan mahasiswa pada 1980-an mendorong para jenderalnya menyingkirkan Ne Win secara halus.

Potret yang dilukiskan kaum pesimistis tentang Myanmar memang masih tetap buram. Tetapi, kelompok optimistis boleh punya harapan bagi perubahan signifikan negeri yang kaya sumber daya alam tersebut.

Kenyataannya, Myanmar dalam beberapa tahun terakhir ini makin luwes. Mereka lebih terbuka berdialog dengan dunia luar, terutama para tetangganya. Negeri itu juga bergabung dengan ASEAN. Kembang-kembang demokrasi tampaknya mulai bermekaran di tubuh militer. Pemilu sela terakhir tersebut adalah salah satu contohnya (bandingkan, pada Pemilu 1990 partai Suu Kyi merebut 59 persen suara nasional serta mengumpulkan 392 dan 485 kursi parlemen. Tapi, pemilu itu dibatalkan junta dan membuat masyarakat internasional marah).

Mekarnya sikap demokratis di tubuh militer memang vital bagi perubahan di Myanmar. Itu bisa dilihat dari pengalaman berbagai negara yang lama dikuasai rezim militer, mulai Amerika Latin, Afrika, hingga Asia. Tumbuh dan berkembangnya demokrasi di Korea Selatan, Filipina, dan Indonesia adalah juga berkat peran bertahap para perwira militer reformis.

Benar apa yang dikatakan Suu Kyi saat berbicara tentang militer, "Masa depan negeri ini masa depan mereka juga. Karena itu, mereformasi negeri ini berarti mereformasi mereka juga."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar