Sekolah Manusia Berbudaya
A Rifqi Hidayat, Peneliti
El-Wahid Center, Universitas Wahid Hasyim Semarang
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 02 April 2012
PROSES
kehidupan manusia selalu bergerak secara dialektis. Alam merupakan ruang bagi
manusia untuk belajar memahami segala perubahannya. Alam pun menjelma sebagai
guru bagi manusia. Manusia lantas menjadi penafsir atas kejadian alam dan
memunculkan suatu respons yang menjadi benih lahirnya kebudayaan. Kebudayaan
selanjutnya menjadi narasi bagi manusia untuk menciptakan peradaban.
Proses
belajar kepada alam, dengan demikian, merupakan fondasi terbentuknya apa yang
kemudian disebut sebagai pendidikan. Sekolah ialah hasil peradaban kemanusiaan
ketika proses pendidikan terinstitusi, lengkap dengan segala aturannya.
Kebudayaan
dari akar kata `budaya', dalam bahasa
Sanskerta buddhayah, ialah bentuk
jamak dari kata buddhi yang artinya
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Manusia memiliki pribadi
berharga, ia memiliki hak-hak yang tidak dapat direndahkan atau diperkosa
komunitasnya (masyarakat). Manusia sebagai pribadi yang utuh berpikir dan
menghamba (memiliki Tuhan). Kesadaran yang utuh itu menjadikan manusia mampu
berjalan selaras dengan alam, manusia yang berpendidikan.
Pendidikan
menjadikan manusia sebagai manusia seutuhnya. Manusia merupakan makhluk yang
berakal budi, animal rationale, lebih
dari sekadar binatang yang hanya memiliki insting. Manusia memiliki akal
pikiran yang berfungsi mengendalikan diri dari naluri hewani. Masyarakat yang
berpendidikan ialah masyarakat yang berbudaya. Dalam berbudaya, manusia
memiliki ketertarikan akan keindahan. Secara sederhana, kesenian merupakan
bentuk kebudayaan yang bisa dilihat dengan mata telanjang. Norma, etika, dan
nilai sosial ialah ke budayaan yang menjadi spirit masyarakat.
Pemberdayaan Manusia
Sebagai
sebuah proses, pendidikan lalu terfaksionalisasi ke dalam pelbagai ragam,
sesuai dengan nilai-nilai (ideologis, politis, agamawi) tempat institusi
pendidikan itu berdiri. Pendidikan dalam perspektif Islam diistilahkan dengan
kata tarbiyyah. Said Aqil Siradj menjelaskan makna tarbiyyah dalam etimologi
yang meliputi riba (uang yang selalu berkembang), rabwah (tanah yang tinggi),
dan rabb (sifat Allah yang memelihara, mencintai dan mendidik).
Dengan demikian, pendidikan memiliki makna yang lebih luas daripada sebatas
pengajaran. Pendidikan mengandung makna menambah (pengetahuan), cita-cita luhur
(tinggi), harapan dan tujuan untuk memuliakan entitas lain, serta cinta kasih.
Paulo
Freire merumuskan pendidikan sebagai alat untuk membebaskan manusia dari segala
penindasan. Itu tak lepas dari ideologi Freire yang Marxis. Pendidikan, yang
Marxis. Pendidikan, bagi Freire, menjadi narasi untuk masyarakat arus bawah
agar bangkit melawan tirani kekuasaan yang menyebabkan ketimpangan sosial.
Proses pendidikan harus mampu berada pada posisi yang sebenarnya dan tidak
terbatas pada ruang kelas formal di lembaga pendidikan. Unsur pendidikan harus
dapat dipraktikkan setiap warga negara Indonesia, terlepas ia memiliki kemampuan
pedagogis (mengajar secara formal) ataupun tidak.
Pendidikan
dengan perspektif modernisasi mengurai berbagai persoalan kebangsaan.
Pendidikan dalam etika sekolah formal harus memiliki nilai plus, kreativitas
yang mengacu pada kemampuan produk pendidikan untuk bertahan, dan hidup sesuai
dengan kemajuan peradaban karena berkembangnya suatu negara ditentukan
kemajuannya dalam penyelenggaraan pendidikan.
Adapun
kemajuan pendidikan suatu bangsa mengacu pada kedewasaan dan budaya bangsa itu
sendiri dalam sistem dan penyelenggaraan pendidikan. Dalam hal ini, pendidikan
juga harus mampu menjadi sebuah kebudayaan atau education is culture of human life. Persoalan pendidikan tidak
hanya menyangkut pendidikan formal semata, tetapi juga pendidikan yang terarah
dan terpadu dari lingkungan terkecil (keluarga). Pendidikan dalam skala
nasional harus mampu menyadarkan manusia akan potensi diri dan lingkungan
sehingga tercipta sema ngat peningkatan kemampuan bangsa atau inner will.
Modernisasi
dalam sistem pendidikan membawa dampak yang luar biasa bagi kebudayaan.
Nilai-nilai sejatinya mengejawantah dalam sikap dan perilaku siswa di
masyarakat. Namun, nilai-nilai berbasis pengetahuan dan karakter hanya jatuh
pada sifatnya yang banal; nilai dalam rapor atau UN. Pendidikan nonformal yang
memiliki kelebihan pada keteraturan dan keterukuran moralitas masyarakat hadir
menjadi autokritik bagi pendi dikan resmi ala pemerintah. Pendidikan nonformal
memiliki keterikatan dengan nilai yang erarti norma dan etika. Bila mencermati
hal tersebut, sekolah selayaknya tidak hanya menjadi sebuah lembaga pendidikan
formal saja, tetapi juga nonformal. Dwifungsi tersebut akan mampu menjadikan
sekolah sebagai bagian integral dari masyarakat.
Sekolah Sebagai Cagar Budaya
Kebudayaan
merupakan ciri khas manusia. Selain itu, kebudayaan menjadi faktor yang
membedakan spesifikasi kelompok manusia. Kebudayaan secara esensial merupakan
kehidupan manusia yang terakomodasi dalam suatu lingkup sosial ataupun
organisasi. Ernst Cassier (1874-1945) merumuskan kebudayaan sebagai usaha
manusiawi untuk memahami diri sendiri dan mengatasi persoalan persoalan mela
lui kreasi akal budi. Daniel Etounga Manguelle (2006) berkata, “Budaya adalah ibu, lembaga-lembaga adalah
anaknya.“ Perubahan Kemendiknas
menjadi Kemendikbud secara sepintas dapat kita maknai sebagai upaya menjadikan
budaya menyatu dalam sebuah sistem pendidikan nasional, reformasi pendidikan
dengan unsur budaya yang mendidik.
Mengingat
ada EQ (emotional quotient) dan SQ (spiritual quotient) sebagai sebuah unsur
dari dalam manusia yang mendampingi IQ (intelligent
quotient) untuk meraih sebuah kesuksesan, kiranya perlu kita kaji secara
detail budaya dan pendidikan dalam pelaksanaan etika pendidikan formal.
Pendidikan
berkarakter dengan nilai plus dan ciri khas manusia yang berbudaya. Pendidikan
secara normatif dapat membesarkan bangsa dan negara ini menjadi masyarakat yang
berpendidikan dan berbudaya. Sebuah harapan untuk masa depan bangsa Indonesia
yang bermartabat karena hal itu etis, sejahtera, dan berkeadilan secara sosial
dan hukum. Kebudayaan dalam setiap kelompok masyarakat memi liki ciri khas yang
menunjukkan tinggi rendahnya peradaban atau kebudayaan lingkungan tersebut.
Kemampuan olah pikir, kapasitas, dan daya kreasi menunjukkan level peradaban
kelompok masyarakat tersebut. Secara gamblang, hal itu merupakan sebuah aspek
praktis (penerapan budaya).
Pendidikan
itu sendiri, bagi Negara Indonesia, harus mampu mengurai persoalan kemanusiaan
terutama anak didik. Sangat banyak persoalan mendasar di bangsa ini, baik dalam
skala lokal maupun nasional, yang seolah menjadi virus endemis di masyarakat.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan formal harus mampu menanamkan budaya, dengan
segala nilai-nilai positifnya. Sekolah menjadi palang pintu pertama untuk
menghambat terjadinya bencana sosial.
Kebudayaan
memiliki kekuatan untuk mengubah masyarakat dari segala bentuk penjajahan dan
keterbelakangan. Keterbelakangan itu lebih simpel kita sebut dengan kurangnya
pemahaman bahwa tanggung jawab keutuhan kedaulatan bangsa dan negara berada di
pundak generasi muda. Sekolah sebagai tempat siswa diajar dan dididik
seharusnya melewati proses humanisasi pendidikan, membentuk manusia yang
berbudaya tinggi. Sekolah menjadi tempat penyadaran budaya dan membentuk
karakter manusia yang tangguh, responsif, visioner, dan berempati. Demikian
penting peran sekolah yang berbudaya dalam membawa perubahan, menanamkan
semangat untuk mencapai hidup lebih maju dan modern, membentuk manusia yang
sadar akan sejarah dan tradisinya, serta tidak gagap akan zaman yang terus
melaju kencang.
Dengan
becermin pada kondisi Jepang pasca-Perang Dunia II, Hiroshima dan Nagasaki
(Tokyo) mampu bangkit melalui pendidikan yang bersandar pada budaya. Hal itu
menunjukkan betapa kuat dan penting peran budaya dalam pendidikan. Dalam
paradigma orang Jawa asli (original
Javanese), terdapat falsafah hidup adiluhung
(sarat makna) yang tecermin dalam kehidupan sehari-hari (lakuning urip). Nilai-nilai pendidikan tersebut layak menjadi acuan
dan prioritas sekolah dalam rangka melestarikan budaya.
Orlando
Patterson (2006), dalam The Ordeal of
Integration, menulis, `Budaya pasti
berisi jawaban-jawaban saat kita mencari penjelasan akan berbedanya tingkat
keterampilan, kecakapan, dan upah, sebagaimana penyakit sosial yang menenggelamkan
jutaan orang Amerika keturunan Afrika. Sekolah dan budaya menjadi satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan dalam perannya memperbaiki krisis moral, krisis
kepercayaan, dan krisis kepemimpinan yang selama ini kita hadapi'. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar