Kamis, 05 April 2012

Revolusi Kecil


Revolusi Kecil
Max Regus, Alumnus Program Pascasarjana Departemen Sosiologi, FISIP UI
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 05 April 2012



SELAIN demonstrasi mahasiswa dan se jumlah elemen sosial di sepanjang kasakkusuk (rencana) penaikan harga BBM, ada dua soal yang begitu menarik perhatian. Pertama, sikap sejumlah kepala daerah yang memilih berada di posisi para penentang kebijakan pemerintah pusat. Mereka menolak opsi pemerintah pusat untuk menaikkan harga BBM. Mereka menyeberang ke sisi mahasiswa dan meninggalkan suara tunggal pusat kekuasaan.

Kedua, sikap politik dan intensi kekuasaan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Sikap menentang rencana penaikan harga BBM menghadapi reaksi keras dari Istana. PKS ialah salah satu partai pendukung gerbong kekuasaan rezim Susilo Bambang YudhoyonoBoediono (SBY-Boediono). Memang tidak wajar partai politik yang berada dalam gerbong kekuasaan menunjukkan sikap berbeda di hadapan publik. Untuk persoalan tersebut, Media Indonesia (MI) menunjukkan analisis yang sulit ditampik bahwa PKS di satu pihak takut didepak dari kabinet, di lain pihak ingin tetap terlihat propublik (Editorial MI, 28/3/2012).

Dua kenyataan itu tidak hanya berhubungan dengan ke gemparan urusan harga BBM. Itu terutama lebih kepada bagaimana rezim kekuasaan membahasakan kondisi faktual. Dengan bertolak dari dua kenyataan itu, di sini muncul gugatan, bukan mengenai pertanyaan seperti yang sudah banyak dibahas selama ini tentang apakah rezim ini akan bertahan hingga 2014, melainkan soal bagaimana ia akan memperjuangkan kepercayaan politik rakyat di sisa usianya.

Kredibilitas

Pertanyaan paling fundamental ialah apakah rezim ini masih memiliki cadangan kepercayaan politik yang mencukupi sekadar untuk terus bertahan hingga akhir masa kekuasaan? Pertanyaan itu mungkin terdengar berlebihan. Namun, pertanyaan itu perlu diajukkan. Rakyat membutuhkan kepastian politik yang bisa menumbuhkan penghiburan politik. Adalah kemewahan untuk mengharapkan segala sesuatu yang pernah dijanjikan rezim ini akan tercapai di u ujung hari akhir kekuasaan.

Bahaya terbesar yang tumbuh dalam situasi ini ialah akumulasi kekecewaan sosial publik. Kekecewaan karena banyak harapan yang terlindas oleh sikap acuh tak acuh kekuasaan dalam mengurus banyak soal. Rezim yang berkuasa pascareformasi adalah rezim yang bergerak dalam suasana krusial. Sesi sejarah yang sarat harapan. Pe riode sejarah yang dipenuhi penga laman akan luka politik, trauma sejarah, ketakutan akan kekerasan sosial, dan bayangan konflik politik. Di situ, arus sejarah membentang panjang. Semua ini harus diuraikan secara jujur, terbuka, dan tuntas. Rakyat memiliki persepsi politik sangat tinggi kepada setiap rezim yang berkuasa di negeri ini.

Dengan demikian, setiap rezim yang berkuasa tidak perlu menenggelamkan diri dalam banyak pola pencitraan dengan memamerkan apa yang mereka anggap sebagai keberhasilan politik. Rezim yang mau berkuasa di Indonesia dalam sesi-sesi yang masih sulit ini seharusnya tahu dan sadar keadaan semacam ini.
Jangan pernah menganggap sudah memperlihatkan kesuksesan mengurus negara ini karena rakyat (publik) memiliki daftar panjang di dalam pikiran mereka untuk semua hal yang harus diselesaikan rezim ini.

Soliditas

Ada dua hal yang dipertanyakan publik sejak lama. Pertama, efektivitas koalisi politik. Kedua, maksud pembentukan sekretariat gabung partai pendukung rezim SBYBoediono. PKS justru berada tepat di dua soal tersebut.
Itu sesuatu yang tidak terhindarkan. Salah satu soal paling krusial dari sekian banyak aspek yang dapat menjelaskan soliditas politik rezim SBY-Boedino ialah soliditas perkoncoan politik. Dalam banyak kasus, tiga tahun terakhir ini dengan mudah dapat ditangkap bagaimana soliditas politik tampil begitu payah.

Mengapa soliditas sulit ditemukan saat rezim ini mendiskusikan persoalan penaikan harga BBM? Apakah anggota sekretariat gabungan boleh memiliki perbedaan pendapat dengan rezim yang sedang berkuasa? Apakah sikap semacam itu memiliki nilai etis secara politik? Apakah perilaku politik itu wajar? Apakah SBY sepatutnya memutuskan hubungan politik dengan kekuatan politik yang ternyata tidak ada bersama dia saat menjadi sasaran tembak publik dan lawan-lawan politik? Tibalah pada pertanyaan esensial ini, apakah rezim ini masih memiliki soliditas politik jika berkaca pada inkonsistensi sikap politik beberapa partai politik yang tergabung dalam koalisi rezim SBY?

Soliditas politik menjadi persoalan serius, mengingat sisa waktu dua tahun akan menjadi momentum paling menentukan prospek demokrasi di Indonesia. Kegagalan rezim ini mengamankan masa toleransi dari apa yang disebut dengan transisi dengan transisi demokrasi akan mengirimkan sinyal buruk bagi masa depan peradaban politik di negeri ini.

Keadilan

Karena itu, kini muncul ke gelisahan kontemporer. Rezim SBY, oposisi politik, publik yang menentang penaikan harga BBM, dan mahasiswa menolak penaikan harga BBM hidup di negeri yang sama. Namun, ada satu pembeda yang memilukan. Pembeda itu ialah kesen jangan sosial yang semakin melebar. Tidak terbantahkan bahwa bantuan langsung tunai merupakan senjata rahasia rezim berkuasa di setiap tikungan kebijakan politik yang menuai pertentangan. Itu dapat dimengerti karena kemarahan sosial yang semakin meluas, terutama pada lapisan-lapisan paling bawah dari struktur sosial, akan mengancam kelangsungan kekuasaan.

Namun, persoalan yang paling pelik ialah bagaimana kekuasaan menghadirkan kehidupan berkeadilan. Jalanan yang dipenuhi kekerasan, institusi politik yang selalu menebarkan tengik korupsi, kekuasaan yang mudah mengumbar inkonsistensi sikap politik, dan kebebasan sipil yang terintimidasi oleh arogansi komunal akan melemahkan fondasi kenegaraan dan kebangsaan. Ini akan menjadi ruang kosong yang dapat dengan mudah dimanfaatkan para penjahat.

Pembangkangan politik sejumlah kepala daerah, etika politik yang belum beres, dan meluasnya ketidakpuasan politik publik akan menjadi pangkal dari protes politik berkepanjangan. Gabungan dari semua fenomena itu--yang tampak di seputar kisruh rencana penaikan harga BBM--bagaikan sebuah revolusi kecil di negeri tempat para penguasa mulai mengabaikan kepercayaan politik rakyat. Selebihnya, penguasa yang tidak mampu menegakkan keadilan sosial akan mengobarkan yang kecil itu menjadi bertambah besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar