Jumat, 19 September 2014

Wawasan Multikultural Kaum Muda

Wawasan Multikultural Kaum Muda

Ahmad Khotim Muzakka  ;   Mahasiswa S-2 Center for Religious and Cross-cultural Studies Pascasarjana UGM
KORAN JAKARTA, 17 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Radikalisme di Indonesia seolah-olah tanpa tanda titik. Ia direproduksi dari hari ke hari, mengancam kenyamanan dan ketenteraman masyarakat. Setelah runtuhnya gedung World Trade Center pada 11 September 2001, jejaring terorisme di Indonesia menemukan jalan lapangnya. Hal itu juga berimbas pada situasi psikologis masyarakat Indonesia yang menyandang status sebagai pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Ancaman ini nyata karena selama ini kasus terorisme sering diasosiasikan dengan muslim.

Padahal faktanya, mayoritas muslim menentang keras aksi kekerasan yang membawa agama sebagai tameng. Tindakan tersebut justru menodai spirit Islam tentang tidak adanya pemaksaan dalam beragama. Maka, tindak kekerasan untuk memaksa “yang lain” untuk masuk memeluk Islam sungguh bertentangan.

Fenomena Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang bertransformasi menjadi Islamic State (IS) di Timur Tengah patut diperhitungkan, terlebih terdapat sejumlah kalangan yang “mendukung”. Era globalisasi yang membuka keran modernisme digunakan oleh Islam garis keras untuk menarik gerbong dari kalangan Islam. Dengan menyertakan pelbagai instrumen agama—yang antara lain penggunaan kalimat laa ilaaha illa Allah—ingin merebut simpati dari masyarakat muslim di penjuru dunia. Tak kecuali umat Islam di Indonesia. Dari sini menyiratkan tengah terjadi kontestasi dalam skala besar.

Akan tetapi, usaha tersebut sepertinya bakal menemui titik halangan yang terjal. Di Indonesia, sebagian besar masyarakatnya lebih memaknai dakwah Islam dengan konsep rahmatan lil alamin, rahmat bagi sekalian alam. Yang berarti dakwah yang dilakukan adalah gerakan-gerakan yang tidak menggunakan jalur kekerasan, melainkan dengan jalan damai yang bisa menyentuh hati dan pikiran. Apa yang dilakukan IS dengan menghancurkan berbagai situs peninggalan umat Islam terdahulu, melakukan sejumlah pengoboman di tempat sakral, memberikan kesan bahwa barisan ini tidak menggunakan jalur damai dalam mengampayekan gagasan mereka.

Dengan begitu, bisa dibilang jalan yang ditempuh tersebut tidak relevan dengan konsep rahmatan lil alamin dalam islam. Maka, tidak salah jika banyak kalangan yang menilai bahwa perjuangan yang sedang ditempuh justru mencoreng nama Islam di dunia internasional. Hal itu justru menegaskan sebutan bagi mereka sebagai vigilante. Sebutan yang ditujukan bagi mereka yang gemar melakukan penghakiman terhadap “yang lain” karena berbeda komunitasnya.

Ketegasan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa haluan yang ditempuh IS tidak sesuai dengan tuntunan Islam toleran patut diapresiasi sebagai upaya merawat Indonesia dari ancaman kekerasan yang mengatasnamakan agama. Kesadaran berbangsa yang multikultur menjadi modal sosial yang tak tergantikan untuk menumbuhkembangkan nasionalisme.

Gerakan main hakim sendiri ala IS di Timur Tengah dengan merusak, membunuh, merupakan tindakan yang tidak bermoral sehingga tidak selayaknya masyarakat Indonesia mengadopsinya.

Dengan begitu, citra Islam Indonesia tidak tercemari oknum yang meminjam legetimasi agama untuk mengesahkan tindakan brutal yang mencederai kemanusiaan tidak semakin menjalar ke penjuru Nusantara. Tidak bisa ditampik bahwa potensi dukungan dari muslim Indonesia terhadap gerakan IS bisa jadi membeludak karena sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar.

Rentan

Yang mengkhawatirkan, kecenderungan ideologisasi kekerasan ditengarai menggunakan mekanisme terstruktur. Komarudin Hidayat menyebut (2009) telah terjadi upaya penyebaran gagasan radikal ke dalam lembaga pendidikan setingkat Sekolah Menengah Umum. Hal ini berbahaya karena siswa masih dalam masa pencarian jati diri, sehingga gampang terbujuk gagasan baru dan dikira memberi pencerahan spiritualitas.

Tindakan para penyebar radikalisme tidak bisa dibiarkan. Sebab potensi kaum muda untuk direkrut menjadi bagian mereka lebih mudah dibanding orang dewasa karena sudah stabil bernalar. Para remaja tidak mempunyai stabilitas dalam mengelola perasaan, konflik, dan segala permasalahan.

Dalam menjalani persoalan, remaja lebih mengedepankan emosi dan kadangkala egois dalam mengambil keputusan. Berbeda dengan orang dewasa yang telah mengarungi berbagai cobaan hidup sehingga lebih sanggup dan siap mengorganisasi psikologinya.

Maka, wawasan multikultural sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan semangat toleransi bersama bagi kaum muda. Semangat itu bisa tepercik dalam sanubari jika mereka mengalami secara nyata dalam keseharian. Pengalaman merasakan adanya perbedaan—sebagai satu keniscayaan di Indonesia—merupakan modal untuk merayakan kebinekaan.

Perbedaan tidak dianggap sebagai musuh yang bakal merenggut eksistensi personal, melainkan fakta yang tumbuh secara genetikal. Manusia tidak pernah tahu di mana, kapan, dan dalam kondisi apa dilahirkan. Dia tidak bisa memilih lahir dari suku dan ras tertentu. Begitu juga dia tidak bisa memilih akan terlahir dari keluarga beragama tertentu.

Atas dasar itu, perlu mencermati potensi kelahiran generasi dari “rahim radikal.” Dalam artian, generasi yang masuk dalam lorong gelap radikalisme dari kalangan tak bertanggung jawab. Benih gagasan yang ditanam di masa remaja bisa sangat membahayakan. Kebencian berkedok agama menjadi musuh dalam selimut karena menodai Islam dari dalam.

Diperlukan kepedulian dari para pemangku kebijakan untuk meminimalisasi kemungkinan penanaman radikalisme pada remaja. Maka, para pengambil kebijakan mesti ikut mengantisipasi “para penyusup” yang ingin memanfaatkan kelabilan dalam masa pencarian identitas diri para siswa. Hal ini bisa diupayakan dengan menggelar berbagai acara yang menampilkan corak keberagaman di tengah siswa.

Misalnya dengan mengenalkan Indonesia sebagai negara Pancasila yang menaungi semua ras, suku, dan agama, tanpa terkecuali. Cara ini bermanfaat untuk membuka kesadaran kultural, menyingkap kabut fanatisme kelompok, dan mentransformasikan nilai-nilai humanisme. Jika hal-hal tersebut telah terpenuhi, kekhawatiran akan adanya penyusupan ideologi radikalisme yang mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa diminimalkan.

Tantangan Indonesia ke depan tidak melulu cara menanggulangi bencana ekonomi ataupun politik. Yang tak kalah penting, yang justru mendasar untuk dipertimbangkan adalah cara membangun mental pemudanya untuk sadar dan mawas bahwa keberagaman di Indonesia merupakan titah ilahi yang telah lama berakar kuat.

Tentu bangsa tidak ingin menjumpai tragedi anarkisme di Timur Tengah mewabah di Nusantara. Maka, mari mewaspadai segala bentuk cara yang bakal mengoyak Indonesia. Kepeduliaan terhadap pemuda saat ini menentukan arah Indonesia ke depan. Mentalitas kenusantaraan mesti dipupuk dengan kearifan lokal yang menjadi modal utama bangsa merajut keharmonisan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar