Wawasan
Multikultural Kaum Muda
Ahmad Khotim Muzakka ;
Mahasiswa
S-2 Center for Religious and Cross-cultural Studies Pascasarjana UGM
|
KORAN
JAKARTA, 17 September 2014
Radikalisme
di Indonesia seolah-olah tanpa tanda titik. Ia direproduksi dari hari ke
hari, mengancam kenyamanan dan ketenteraman masyarakat. Setelah runtuhnya
gedung World Trade Center pada 11
September 2001, jejaring terorisme di Indonesia menemukan jalan lapangnya.
Hal itu juga berimbas pada situasi psikologis masyarakat Indonesia yang
menyandang status sebagai pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Ancaman ini
nyata karena selama ini kasus terorisme sering diasosiasikan dengan muslim.
Padahal
faktanya, mayoritas muslim menentang keras aksi kekerasan yang membawa agama
sebagai tameng. Tindakan tersebut justru menodai spirit Islam tentang tidak
adanya pemaksaan dalam beragama. Maka, tindak kekerasan untuk memaksa “yang
lain” untuk masuk memeluk Islam sungguh bertentangan.
Fenomena
Islamic State of Iraq and Syria
(ISIS) yang bertransformasi menjadi Islamic
State (IS) di Timur Tengah patut diperhitungkan, terlebih terdapat
sejumlah kalangan yang “mendukung”. Era globalisasi yang membuka keran
modernisme digunakan oleh Islam garis keras untuk menarik gerbong dari
kalangan Islam. Dengan menyertakan pelbagai instrumen agama—yang antara lain
penggunaan kalimat laa ilaaha illa Allah—ingin merebut simpati dari
masyarakat muslim di penjuru dunia. Tak kecuali umat Islam di Indonesia. Dari
sini menyiratkan tengah terjadi kontestasi dalam skala besar.
Akan
tetapi, usaha tersebut sepertinya bakal menemui titik halangan yang terjal.
Di Indonesia, sebagian besar masyarakatnya lebih memaknai dakwah Islam dengan
konsep rahmatan lil alamin, rahmat bagi sekalian alam. Yang berarti dakwah
yang dilakukan adalah gerakan-gerakan yang tidak menggunakan jalur kekerasan,
melainkan dengan jalan damai yang bisa menyentuh hati dan pikiran. Apa yang
dilakukan IS dengan menghancurkan berbagai situs peninggalan umat Islam
terdahulu, melakukan sejumlah pengoboman di tempat sakral, memberikan kesan
bahwa barisan ini tidak menggunakan jalur damai dalam mengampayekan gagasan
mereka.
Dengan
begitu, bisa dibilang jalan yang ditempuh tersebut tidak relevan dengan
konsep rahmatan lil alamin dalam islam. Maka, tidak salah jika banyak
kalangan yang menilai bahwa perjuangan yang sedang ditempuh justru mencoreng
nama Islam di dunia internasional. Hal itu justru menegaskan sebutan bagi
mereka sebagai vigilante. Sebutan yang ditujukan bagi mereka yang gemar
melakukan penghakiman terhadap “yang lain” karena berbeda komunitasnya.
Ketegasan
Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa haluan yang ditempuh IS
tidak sesuai dengan tuntunan Islam toleran patut diapresiasi sebagai upaya
merawat Indonesia dari ancaman kekerasan yang mengatasnamakan agama.
Kesadaran berbangsa yang multikultur menjadi modal sosial yang tak
tergantikan untuk menumbuhkembangkan nasionalisme.
Gerakan
main hakim sendiri ala IS di Timur Tengah dengan merusak, membunuh, merupakan
tindakan yang tidak bermoral sehingga tidak selayaknya masyarakat Indonesia
mengadopsinya.
Dengan
begitu, citra Islam Indonesia tidak tercemari oknum yang meminjam legetimasi
agama untuk mengesahkan tindakan brutal yang mencederai kemanusiaan tidak
semakin menjalar ke penjuru Nusantara. Tidak bisa ditampik bahwa potensi
dukungan dari muslim Indonesia terhadap gerakan IS bisa jadi membeludak
karena sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar.
Rentan
Yang
mengkhawatirkan, kecenderungan ideologisasi kekerasan ditengarai menggunakan
mekanisme terstruktur. Komarudin Hidayat menyebut (2009) telah terjadi upaya
penyebaran gagasan radikal ke dalam lembaga pendidikan setingkat Sekolah
Menengah Umum. Hal ini berbahaya karena siswa masih dalam masa pencarian jati
diri, sehingga gampang terbujuk gagasan baru dan dikira memberi pencerahan
spiritualitas.
Tindakan
para penyebar radikalisme tidak bisa dibiarkan. Sebab potensi kaum muda untuk
direkrut menjadi bagian mereka lebih mudah dibanding orang dewasa karena
sudah stabil bernalar. Para remaja tidak mempunyai stabilitas dalam mengelola
perasaan, konflik, dan segala permasalahan.
Dalam
menjalani persoalan, remaja lebih mengedepankan emosi dan kadangkala egois
dalam mengambil keputusan. Berbeda dengan orang dewasa yang telah mengarungi
berbagai cobaan hidup sehingga lebih sanggup dan siap mengorganisasi
psikologinya.
Maka,
wawasan multikultural sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan semangat toleransi
bersama bagi kaum muda. Semangat itu bisa tepercik dalam sanubari jika mereka
mengalami secara nyata dalam keseharian. Pengalaman merasakan adanya
perbedaan—sebagai satu keniscayaan di Indonesia—merupakan modal untuk
merayakan kebinekaan.
Perbedaan
tidak dianggap sebagai musuh yang bakal merenggut eksistensi personal,
melainkan fakta yang tumbuh secara genetikal. Manusia tidak pernah tahu di
mana, kapan, dan dalam kondisi apa dilahirkan. Dia tidak bisa memilih lahir
dari suku dan ras tertentu. Begitu juga dia tidak bisa memilih akan terlahir
dari keluarga beragama tertentu.
Atas
dasar itu, perlu mencermati potensi kelahiran generasi dari “rahim radikal.”
Dalam artian, generasi yang masuk dalam lorong gelap radikalisme dari
kalangan tak bertanggung jawab. Benih gagasan yang ditanam di masa remaja
bisa sangat membahayakan. Kebencian berkedok agama menjadi musuh dalam
selimut karena menodai Islam dari dalam.
Diperlukan
kepedulian dari para pemangku kebijakan untuk meminimalisasi kemungkinan
penanaman radikalisme pada remaja. Maka, para pengambil kebijakan mesti ikut
mengantisipasi “para penyusup” yang ingin memanfaatkan kelabilan dalam masa
pencarian identitas diri para siswa. Hal ini bisa diupayakan dengan menggelar
berbagai acara yang menampilkan corak keberagaman di tengah siswa.
Misalnya
dengan mengenalkan Indonesia sebagai negara Pancasila yang menaungi semua
ras, suku, dan agama, tanpa terkecuali. Cara ini bermanfaat untuk membuka
kesadaran kultural, menyingkap kabut fanatisme kelompok, dan
mentransformasikan nilai-nilai humanisme. Jika hal-hal tersebut telah
terpenuhi, kekhawatiran akan adanya penyusupan ideologi radikalisme yang
mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia bisa diminimalkan.
Tantangan
Indonesia ke depan tidak melulu cara menanggulangi bencana ekonomi ataupun
politik. Yang tak kalah penting, yang justru mendasar untuk dipertimbangkan
adalah cara membangun mental pemudanya untuk sadar dan mawas bahwa
keberagaman di Indonesia merupakan titah ilahi yang telah lama berakar kuat.
Tentu
bangsa tidak ingin menjumpai tragedi anarkisme di Timur Tengah mewabah di
Nusantara. Maka, mari mewaspadai segala bentuk cara yang bakal mengoyak
Indonesia. Kepeduliaan terhadap pemuda saat ini menentukan arah Indonesia ke
depan. Mentalitas kenusantaraan mesti dipupuk dengan kearifan lokal yang
menjadi modal utama bangsa merajut keharmonisan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar