Minggu, 28 September 2014

Saat PR Membuat “Teller”

                                       Saat PR Membuat “Teller”

Nur Rakhmat ;   Peminat Kajian Pendidikan,
Guru SDN Gisikdrono 2, Semarang Barat, Kota Semarang
SUARA MERDEKA,  27 September 2014

                                                                                                                       


Dalam beberapa hari terakhir, media sosial digemparkan perdebatan terkait PR (pekerjaan rumah) mata pelajaran Matematika salah satu siswa Sekolah Dasar di Semarang. Perdebatan tersebut dilatarbelakangi saat nilai PR matematika siswa yang masih duduk di kelas 2 tersebut diunggah ke jejaring sosial oleh kakaknya karena kurang puas terhadap penilaian guru.

Kakak siswa tersebut merasa jawaban adiknya sudah benar. Dalam lembaran yang diunggah ke media sosial tersebut terlihat bahwa salah satu jawaban adiknya adalah 4 x 6 dalam pertanyaan 4+4+4+4+4+4 =…x… Namun, oleh guru, jawaban tersebut dianggap salah, karena guru berpedoman jawaban yang benar adalah 6 x 4.

Terlepas dari benar atau salah jawaban PR siswa itu, ada satu fenomena baru, yaitu kebiasaan sebagian masyarakat untuk berkeluh kesah melalui media sosial, apa pun jenisnya. Masyarakat seolah sudah terbiasa untuk mem-posting semua hal yang dialaminya ke jejaring sosial, dan cenderung mengabaikan norma, nilai dan dampak yang ditimbulkan dari postingan yang mereka bagikan di media sosial tersebut.

Postingan dari kakak siswa tersebut serta merta memantik reaksi yang beragam berbagai kalangan di media sosial. Ada yang mendukung sang guru, karena sudah sesuai dengan prosedur atau petunjuk yang didapatkan. Dan ada juga yang menyudutkan guru, karena sudah menyalahkan kebenaran jawaban siswa.

Lalu ada pula yang menanggapi dengan bijak dari sudut pandang keilmuan masing-masing.

Terkait beragamnya tanggapan masyarakat dalam menyikapi perdebatan PR. Penulis berpendapat, ini merupakan sinyal positif, karena masyarakat semakin kritis dan peduli terhadap peristiwa yang terjadi di sekitar. Kritikan, sebatas masih dalam tataran norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, tentu tidaklah perlu terlalu dikhawatirkan. Namun jika sudah melenceng, tentu perlu segera diambil tindakan yang cepat dan tepat.

Konsep Dasar

Mari kita cermati kehebohan tersebut. Jawaban siswa adalah 24. Sepintas memang hasilnya sudah benar. Namun seorang guru, terlebih guru kelas 2, tentu tidak akan memberikan secara langsung hasil dari perkalian yang dalam konsepnya merupakan penjumlahan berulang. Guru tentu akan menjelaskan dulu ke siswa konsep dasar perkalian sesuai petunjuk dan perkembangan usia pemahaman anak tanpa mengabaikan penalaran yang dikuasai anak.

Terkait dengan adanya perbedaan penalaran dalam matematika yang notabene ilmu pasti, tentu ada beberapa hal yang didalamnya harus berdasar kesepakatan. Karena dalam matematika, salah satu ciri khasnya adalah kesepakatan itu sendiri. Dalam kasus tersebut, semua pasti setuju hasilnya 24. Namun, dalam penanaman konsep proses penyelesaian soal, jelas terdapat pemahaman yang beda. Di sinilah fungsi kesepakatan digunakan untuk menyelesaikan perbedaan pandangan yang ada.

Misal dalam contoh sederhana, seorang dokter memberikan petunjuk minum obat ke pasien 3×1 sehari. Kalau kita nalar, tentu obat tersebut tidak kita minum sekaligus tiga butir dalam satu waktu. Namun, obat tersebut kita minum satu per satu dalam hari tersebut.

Kalau kita kaitkan dengan penanaman konsep matematika kelas dua, tentu 3×1=1+1+1, adalah hasil dari tiga kali satu, bukan 1×3. Semua tentu sepakat bukan?

Jadi dari kias sederhana tersebut, kita tidak boleh serta merta menyalahkan guru. Karena guru tentu sudah menjelaskan dan menerangkan sebelumnya ke siswa mengenai konsep dasar dari perkalian. Namun, guru juga tidak boleh memvonis dan menyalahkan jawaban siswa begitu saja tanpa konfirmasi terlebih dahulu bagaimana jawaban yang tepat. Apalagi dalam Kurikulum 2013, guru harus bisa menjadi pendengar yang baik yang harus memfasilitasi semua keberagaman, baik penalaran, kecerdasan dan latar belakang siswa.

Terlepas dari perdebatan yang ada, apa yang dilakukan guru sebenarnya benar. Mengapa demikian? Karena guru sudah menerapkan konsep yang benar dari perkalian. Konsep adalah fondasi dasar siswa sebelum memahami materi lain. Penting bagi siswa untuk belajar konsep dengan benar. Dalam pandangan psikologi kognitif, belajar konsep adalah belajar pengetahuan prosedural, yaitu belajar mengenai suatu pola (pattern recognition). Dengan demikian, dalam perkembangannya nanti, jika konsep dipelajari dengan benar, dapat membantu siswa membuat generalisasi yang luas serta membentuk teori sendiri atau menangkap inti teori yang dikembangkan orang lain.(W.S Wingkel, 2004).

Solusi Efektif

Untuk menghindari kejadian tersebut terulang, ada beberapa solusi efektif yang dapat digunakan guru dan orang tua saat berhadapan dengan PR. Pertama, menyikapi adanya penerapan Kurikulum 2013, PR hendaknya berbentuk proyek. Seperti yang disampaikan Munif Chatib seorang pakar pendidikan, saat penulis mengikuti seminar ”Orang Tuanya Manusia” di salah satu sekolah beberapa waktu lalu.

Misalnya, proyek siswa untuk menginventarisasi perabotan di rumah, pasti lebih menyenangkan siswa. Karena dalam mengerjakannya siswa sekaligus bisa membersihkan ruangan, menghitung jumlah perabot, dan merawat perabotan, serta bisa mengetahui perabot apa saja yang dimiliki.

Lebih lanjut, Munif Chatib membeberkan beberapa keuntungan jika PR berbentuk proyek. Salah satunya adanya kerja sama orang tua dan anak saat mengerjakan PR. Manfaat lain jika PR berbentuk proyek adalah semakin intensnya waktu efektif orang tua dengan anak, sehingga kasih sayang orang tua terhadap anak lebih dirasakan anak, hal ini tentu bisa memicu anak untuk lebih termotivasi lagi memberikan hasil yang terbaik bagi diri dan orang tua.

Kedua, instruksi atau perintah soal PR harus jelas dan tidak menimbulkan tafsir ganda. Misalnya guru hendak memberikan PR seperti dalam kasus di media sosial tersebut, hendaknya guru memberikan contoh lebih dulu. Seperti, jika 8+8+8+8+8+8 = 6×8, maka 7+7+7+7+7+7=…

Ketiga, jika guru menyalahkan jawaban PR siswa, hendaknya memberikan keterangan jelas atas dasar apa jawaban siswa bisa salah. Jangan sampai guru memvonis jawaban siswa salah, tanpa memberikan dasar yang jelas. Tentu ini mengurangi hak siswa untuk mendapat nilai baik.

Keempat, bagi orang tua atau pihak yang membantu siswa dalam mengerjakan PR hendaknya melakukan konfirmasi terlebih dahulu ke guru jika menemukan perbedaan tafsir akan jawaban siswa dan jawaban guru. Akan bijak dan arif serta lebih baik hasilnya, manakala pihak siswa melakukan konfirmasi dengan guru yang bersangkutan dan tidak serta merta berkoar-koar kepada orang lain ataupun ke media sosial. Dan sekali lagi, saat membantu siswa mengerjakan PR, ajarilah konsep yang sesuai dengan kelas dan perkembangan penalaran siswa, supaya dalam mempelajari materi selanjutnya, siswa dapat memahami dengan lebih baik.

Akhirnya, berawal dari kehebohan tersebut, kita perlu sadar bahwa ilmu pengetahuan tidak statis, namun selalu berkembang sesuai dengan perkembangan manusia itu sendiri. Jadi manakala ada pengetahuan baru, kita tidak boleh serta merta menyalahkan pengetahuan yang lama. Dan PR sebagai wujud tanggung jawab dan disiplin siswa terhadap tugas dan kewajibannya, tidak lagi membuat ”teler” atau memusingkan, baik bagi siswa sendiri, guru, atapun pihak lain yang terkait.

Guru sebagai profesi yang selalu berkembang sesuai kemajuan zaman, lebih-lebih dalam penerapan kurikulum 2013, hendaknya selalu mengupdate pengetahuan dan terbuka menerima informasi serta pengetahuan baru. Supaya perbendaharan pengetahuan, dan kemampuan guru selalu baru, pembelajaran berjalan optimal serta bahaya laten dari malapraktik pendidikan bisa dihindarkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar