Saat
PR Membuat “Teller”
Nur Rakhmat ; Peminat Kajian Pendidikan,
Guru SDN Gisikdrono 2, Semarang Barat, Kota Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 27 September 2014
Dalam beberapa hari terakhir, media sosial digemparkan perdebatan
terkait PR (pekerjaan rumah) mata pelajaran Matematika salah satu siswa
Sekolah Dasar di Semarang. Perdebatan tersebut dilatarbelakangi saat nilai PR
matematika siswa yang masih duduk di kelas 2 tersebut diunggah ke jejaring
sosial oleh kakaknya karena kurang puas terhadap penilaian guru.
Kakak siswa tersebut merasa jawaban adiknya sudah benar. Dalam lembaran
yang diunggah ke media sosial tersebut terlihat bahwa salah satu jawaban
adiknya adalah 4 x 6 dalam pertanyaan 4+4+4+4+4+4 =…x… Namun, oleh guru,
jawaban tersebut dianggap salah, karena guru berpedoman jawaban yang benar
adalah 6 x 4.
Terlepas dari benar atau salah jawaban PR siswa itu, ada satu fenomena
baru, yaitu kebiasaan sebagian masyarakat untuk berkeluh kesah melalui media
sosial, apa pun jenisnya. Masyarakat seolah sudah terbiasa untuk mem-posting
semua hal yang dialaminya ke jejaring sosial, dan cenderung mengabaikan
norma, nilai dan dampak yang ditimbulkan dari postingan yang mereka bagikan
di media sosial tersebut.
Postingan dari kakak siswa tersebut serta merta memantik reaksi yang
beragam berbagai kalangan di media sosial. Ada yang mendukung sang guru,
karena sudah sesuai dengan prosedur atau petunjuk yang didapatkan. Dan ada
juga yang menyudutkan guru, karena sudah menyalahkan kebenaran jawaban siswa.
Lalu ada pula yang menanggapi dengan bijak dari sudut pandang keilmuan
masing-masing.
Terkait beragamnya tanggapan masyarakat dalam menyikapi perdebatan PR.
Penulis berpendapat, ini merupakan sinyal positif, karena masyarakat semakin
kritis dan peduli terhadap peristiwa yang terjadi di sekitar. Kritikan,
sebatas masih dalam tataran norma dan nilai yang berlaku di masyarakat, tentu
tidaklah perlu terlalu dikhawatirkan. Namun jika sudah melenceng, tentu perlu
segera diambil tindakan yang cepat dan tepat.
Konsep
Dasar
Mari kita cermati kehebohan tersebut. Jawaban siswa adalah 24. Sepintas
memang hasilnya sudah benar. Namun seorang guru, terlebih guru kelas 2, tentu
tidak akan memberikan secara langsung hasil dari perkalian yang dalam
konsepnya merupakan penjumlahan berulang. Guru tentu akan menjelaskan dulu ke
siswa konsep dasar perkalian sesuai petunjuk dan perkembangan usia pemahaman
anak tanpa mengabaikan penalaran yang dikuasai anak.
Terkait dengan adanya perbedaan penalaran dalam matematika yang
notabene ilmu pasti, tentu ada beberapa hal yang didalamnya harus berdasar
kesepakatan. Karena dalam matematika, salah satu ciri khasnya adalah
kesepakatan itu sendiri. Dalam kasus tersebut, semua pasti setuju hasilnya
24. Namun, dalam penanaman konsep proses penyelesaian soal, jelas terdapat
pemahaman yang beda. Di sinilah fungsi kesepakatan digunakan untuk
menyelesaikan perbedaan pandangan yang ada.
Misal dalam contoh sederhana, seorang dokter memberikan petunjuk minum
obat ke pasien 3×1 sehari. Kalau kita nalar, tentu obat tersebut tidak kita
minum sekaligus tiga butir dalam satu waktu. Namun, obat tersebut kita minum
satu per satu dalam hari tersebut.
Kalau kita kaitkan dengan penanaman konsep matematika kelas dua, tentu
3×1=1+1+1, adalah hasil dari tiga kali satu, bukan 1×3. Semua tentu sepakat
bukan?
Jadi dari kias sederhana tersebut, kita tidak boleh serta merta
menyalahkan guru. Karena guru tentu sudah menjelaskan dan menerangkan
sebelumnya ke siswa mengenai konsep dasar dari perkalian. Namun, guru juga
tidak boleh memvonis dan menyalahkan jawaban siswa begitu saja tanpa
konfirmasi terlebih dahulu bagaimana jawaban yang tepat. Apalagi dalam
Kurikulum 2013, guru harus bisa menjadi pendengar yang baik yang harus
memfasilitasi semua keberagaman, baik penalaran, kecerdasan dan latar
belakang siswa.
Terlepas dari perdebatan yang ada, apa yang dilakukan guru sebenarnya
benar. Mengapa demikian? Karena guru sudah menerapkan konsep yang benar dari perkalian.
Konsep adalah fondasi dasar siswa sebelum memahami materi lain. Penting bagi
siswa untuk belajar konsep dengan benar. Dalam pandangan psikologi kognitif,
belajar konsep adalah belajar pengetahuan prosedural, yaitu belajar mengenai
suatu pola (pattern recognition).
Dengan demikian, dalam perkembangannya nanti, jika konsep dipelajari dengan
benar, dapat membantu siswa membuat generalisasi yang luas serta membentuk
teori sendiri atau menangkap inti teori yang dikembangkan orang lain.(W.S Wingkel, 2004).
Solusi
Efektif
Untuk menghindari kejadian tersebut terulang, ada beberapa solusi
efektif yang dapat digunakan guru dan orang tua saat berhadapan dengan PR.
Pertama, menyikapi adanya penerapan Kurikulum 2013, PR hendaknya berbentuk
proyek. Seperti yang disampaikan Munif Chatib seorang pakar pendidikan, saat
penulis mengikuti seminar ”Orang Tuanya Manusia” di salah satu sekolah
beberapa waktu lalu.
Misalnya, proyek siswa untuk menginventarisasi perabotan di rumah,
pasti lebih menyenangkan siswa. Karena dalam mengerjakannya siswa sekaligus
bisa membersihkan ruangan, menghitung jumlah perabot, dan merawat perabotan,
serta bisa mengetahui perabot apa saja yang dimiliki.
Lebih lanjut, Munif Chatib membeberkan beberapa keuntungan jika PR
berbentuk proyek. Salah satunya adanya kerja sama orang tua dan anak saat
mengerjakan PR. Manfaat lain jika PR berbentuk proyek adalah semakin
intensnya waktu efektif orang tua dengan anak, sehingga kasih sayang orang
tua terhadap anak lebih dirasakan anak, hal ini tentu bisa memicu anak untuk
lebih termotivasi lagi memberikan hasil yang terbaik bagi diri dan orang tua.
Kedua, instruksi atau perintah soal PR harus jelas dan tidak
menimbulkan tafsir ganda. Misalnya guru hendak memberikan PR seperti dalam
kasus di media sosial tersebut, hendaknya guru memberikan contoh lebih dulu.
Seperti, jika 8+8+8+8+8+8 = 6×8, maka 7+7+7+7+7+7=…
Ketiga, jika guru menyalahkan jawaban PR siswa, hendaknya memberikan
keterangan jelas atas dasar apa jawaban siswa bisa salah. Jangan sampai guru memvonis
jawaban siswa salah, tanpa memberikan dasar yang jelas. Tentu ini mengurangi
hak siswa untuk mendapat nilai baik.
Keempat, bagi orang tua atau pihak yang membantu siswa dalam
mengerjakan PR hendaknya melakukan konfirmasi terlebih dahulu ke guru jika
menemukan perbedaan tafsir akan jawaban siswa dan jawaban guru. Akan bijak
dan arif serta lebih baik hasilnya, manakala pihak siswa melakukan konfirmasi
dengan guru yang bersangkutan dan tidak serta merta berkoar-koar kepada orang
lain ataupun ke media sosial. Dan sekali lagi, saat membantu siswa
mengerjakan PR, ajarilah konsep yang sesuai dengan kelas dan perkembangan
penalaran siswa, supaya dalam mempelajari materi selanjutnya, siswa dapat
memahami dengan lebih baik.
Akhirnya, berawal dari kehebohan tersebut, kita perlu sadar bahwa ilmu
pengetahuan tidak statis, namun selalu berkembang sesuai dengan perkembangan
manusia itu sendiri. Jadi manakala ada pengetahuan baru, kita tidak boleh
serta merta menyalahkan pengetahuan yang lama. Dan PR sebagai wujud tanggung
jawab dan disiplin siswa terhadap tugas dan kewajibannya, tidak lagi membuat
”teler” atau memusingkan, baik bagi siswa sendiri, guru, atapun pihak lain
yang terkait.
Guru sebagai profesi yang selalu berkembang sesuai kemajuan zaman,
lebih-lebih dalam penerapan kurikulum 2013, hendaknya selalu mengupdate pengetahuan dan terbuka
menerima informasi serta pengetahuan baru. Supaya perbendaharan pengetahuan,
dan kemampuan guru selalu baru, pembelajaran berjalan optimal serta bahaya
laten dari malapraktik pendidikan bisa dihindarkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar