Hari
Ini Demokrasi Kita Dituliskan
Refly Harun ;
Pakar dan Praktisi Hukum
Tatanegara
|
DETIKNEWS,
25 September 2014
Waktu sudah
menunjukkan pukul 23.30 WIB lebih ketika kaki letih ini menjejak kediaman.
Istri dan anak-anak sudah tertidur pulas. Beberapa menit lagi masuk tanggal
25 September, hari penantian bagi nasib demokrasi kita.
Di Gedung DPR
ada dua kelompok terbelah. Satu kelompok ingin daulat rakyat (tetap)
ditegakkan. Satu kelompok lain ingin daulat elite yang dinomorsatukan.
Dua-duanya merasa absah berpendapat atas nama konstitusi dan ideologi.
Hari ini pula
si bungsi Naufal Fikri berulang tahun ke-15. Tidak terasa anakku sudah makin
besar. Dua tahun lagi dia punya hak pilih. Dia akan punya hak untuk memilih
gubernur dan wakil gubernur DKI, di tanah tempatnya lahir dan tumbuh seperti
sekarang.
Tidak seperti
bapaknya yang hidup di era kezaliman Orde Baru, anakku anak beruntung. Ia
lahir setelah Orde Baru tumbang. Ia lahir di keadaban era Reformasi. Ia lahir
di alam bebas dan terbuka. Semua orang bisa bersuara. Setiap kita berani
terbuka menentukan apapun, pun pilihan terhadap pemimpin sendiri.
Tahun 2007 dan
2012 kita, warga DKI, memilih pemimpin kita secara langsung. Tak peduli siapa
pun pilihan Anda –karena itu urusan Anda dengan bilik suara yang nyatanya tak
dapat bersuara—tapi demokrasi terus menggelinding seperti bola salju. Makin
besar dan membesar. Dua kali pilkada DKI, dua kali nyatanya aman terkendali.
Memang mustahil tanpa politik uang, mustahil pula tanpa muslihat, karena kita
bukan memilih malaikat, tapi memilih pemimpin rakyat. Tapi penyakit itu, money politics, bukan tidak ada
obatnya. Ia ekses, bukan inheren dalam demokrasi kehendak langsung.
Katanya mahal, padahal bisa murah
Dua pilkada
langsung DKI tentu menggerus biaya mahal. Mahal dari sisi penyelenggaran.
Mahal pula dari sudut ongkos kandidat yang harus dikeluarkan. Mahal penyelenggaraan
itu mungkin karena ulah penyelenggara pemilu yang selalu memahal-mahalkan
setiap pengeluaran. Mungkin pula karena pemilu berputar-putar, ada putaran
pertama, lalu putaran kedua. Bisa juga diputar untuk putaran ketiga karena
perintah Mahkamah Konstitusi (MK) – seringkali putusan MK membuat biaya
tambah mahal. Bisa juga karena pemilu tidak dilakukan serentak. Tapi yang
dipakai itu uang rakyat. Rakyat mau berpesta, kok tidak bisa. Rakyat mau
bersuara langsung, kok mau dipasung.
Biaya mahal
itu bisa dimurahkan sesungguhnya. Banyak cara memurahkannya. Yang penting ada
kemauan, (maka) di situ akan ada seribu jalan. Tapi kalau kemauan tidak
punya, jalan seperti selalu berliku-liku dan akhirnya buntu. Jalan yang masih
bisa terang sengaja dipergelap. Penyakit yang baru fase awal dikatakan
stadium empat, seperti kanker ganas.
Soal mahal
ongkos kandidat, mungkin juga karena kelakukan kandidat yang tak percaya diri
sehingga tak apa menjual kehormatan dan harga diri. Kandidat yang
menggadaikan kehormatan dengan 'membeli perahu' partai politik dan menebar
jala politik uang bisa dihentikan, kalau mau. Salah satu caranya, hukuman
yang tegas pada setiap pelaku. Uang sewa perahu harus dikategorikan sebagai
suap sehingga siapapun pelaku harus disikat. Parpol penyewa ditenggelamkan
tidak saja untuk saat kejadian, melainkan juga hukuman satu kali ke muka
tidak bisa menghadirkan jagonya dalam pilkada.
Jala politik
uang harus dipertemukan dengan penegakan hukum keras dan ganas. Tanpa
basa-basi, si penebar jala harus didiskualifikasi. Tidak perlu dengan
menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap –yang kita tidak
tahu kapan tetapnya karena sering raib di perjalanan—tapi cukup dengan
keputusan sang penyelenggara atau pengawas pemilu, sepanjang bukti nyata
terang dan telanjang. Tanpa keraguan, tanpa perdebatan akan kebenaran yang
dipaparkan.
Tidak sedang berdagang, tapi soal daulat rakyat
Apa lagi
penyakit pilkada langsung? Tentu saja masih banyak. Ada konflik horizontal.
Ada politik dinasti. Ada politisasi birokrasi. Ada soal ideologi. Seribu
alasan bisa dikemukakan bagi kaum yang pesimistis.
Bagi kaum
optimistis, seribu obat bisa dihadirkan. Kaum pesimistis selalu melihat
halangan dan selalu mau menjadi bagian dari masalah (part of problem). Kaum
optimistis melihat peluang dan selalu ingin menjadi bagian dari pemecahan
masalah (part of solution).
Untung dan
rugi pilkada langsung dan tidak langsung bisa dipaparkan secara terang dan
gamblang. Tapi kita tidak sedang berdagang. Yang kita bela adalah ide tentang
kedaulatan rakyat. Tentang ayat-ayat konstitusi yang telah dituliskan. Di
sanalah kita harus mulai bergerak, di situlah kita harus tegak.
Konstitusi
menuliskan kedaulatan ada di tangan rakyat. Mana yang lebih berdaulat
memilih: rakyat atau wakil rakyat. Konstitusi menuliskan dipiih demokratis.
Mana yang lebih demokratis: dipilih rakyat atau wakil rakyat. Ketika pemegang
kedaulatan mau dan mampu menjalankan kedaulatanya sendiri, mengapa harus
diwakilkan. Ibarat menentukan jodoh, mengapa harus dicarikan.
Hari ini
sejarah demokrasi akan dituliskan lagi. Perbedaan suara antar fraksi
sangatlah tipis. Pendukung pilkada langsung hanya unggul 14 suara. Itu pun
kalau semua hadir di ruang paripurna. Padahal, masa jabatan tinggal berbilang
hari. Para anggota legislatif tak takut lagi berbeda pendapat dengan partai
karena ancaman recall sudah tak ada
arti. Terlebih bagi mereka yang sudah tak terpilih. Mereka bisa menjadi bola
liar. Mereka bahkan bisa menjadi makelar untuk menggeser daulat rakyat
menjadi daulat elite. Dari pemilihan demokratis ke pemilihan oligarkhis,
bahkan elitis.
Hari ini para
wakil rakyat akan berparipurna, menentukan pemimpin dipilih rakyat atau cukup
wakil rakyat. Hari ini pula demokrasi akan dituliskan (lagi). Semoga di akhir pungut suara, tidak ada
penisanan: demokrasi telah mati di bumi
pertiwi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar