Jumat, 26 September 2014

Hari Ini Demokrasi Kita Dituliskan

Hari Ini Demokrasi Kita Dituliskan

Refly Harun  ;   Pakar dan Praktisi Hukum Tatanegara
DETIKNEWS, 25 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB lebih ketika kaki letih ini menjejak kediaman. Istri dan anak-anak sudah tertidur pulas. Beberapa menit lagi masuk tanggal 25 September, hari penantian bagi nasib demokrasi kita.

Di Gedung DPR ada dua kelompok terbelah. Satu kelompok ingin daulat rakyat (tetap) ditegakkan. Satu kelompok lain ingin daulat elite yang dinomorsatukan. Dua-duanya merasa absah berpendapat atas nama konstitusi dan ideologi.

Hari ini pula si bungsi Naufal Fikri berulang tahun ke-15. Tidak terasa anakku sudah makin besar. Dua tahun lagi dia punya hak pilih. Dia akan punya hak untuk memilih gubernur dan wakil gubernur DKI, di tanah tempatnya lahir dan tumbuh seperti sekarang.

Tidak seperti bapaknya yang hidup di era kezaliman Orde Baru, anakku anak beruntung. Ia lahir setelah Orde Baru tumbang. Ia lahir di keadaban era Reformasi. Ia lahir di alam bebas dan terbuka. Semua orang bisa bersuara. Setiap kita berani terbuka menentukan apapun, pun pilihan terhadap pemimpin sendiri.

Tahun 2007 dan 2012 kita, warga DKI, memilih pemimpin kita secara langsung. Tak peduli siapa pun pilihan Anda –karena itu urusan Anda dengan bilik suara yang nyatanya tak dapat bersuara—tapi demokrasi terus menggelinding seperti bola salju. Makin besar dan membesar. Dua kali pilkada DKI, dua kali nyatanya aman terkendali. Memang mustahil tanpa politik uang, mustahil pula tanpa muslihat, karena kita bukan memilih malaikat, tapi memilih pemimpin rakyat. Tapi penyakit itu, money politics, bukan tidak ada obatnya. Ia ekses, bukan inheren dalam demokrasi kehendak langsung.

Katanya mahal, padahal bisa murah

Dua pilkada langsung DKI tentu menggerus biaya mahal. Mahal dari sisi penyelenggaran. Mahal pula dari sudut ongkos kandidat yang harus dikeluarkan. Mahal penyelenggaraan itu mungkin karena ulah penyelenggara pemilu yang selalu memahal-mahalkan setiap pengeluaran. Mungkin pula karena pemilu berputar-putar, ada putaran pertama, lalu putaran kedua. Bisa juga diputar untuk putaran ketiga karena perintah Mahkamah Konstitusi (MK) – seringkali putusan MK membuat biaya tambah mahal. Bisa juga karena pemilu tidak dilakukan serentak. Tapi yang dipakai itu uang rakyat. Rakyat mau berpesta, kok tidak bisa. Rakyat mau bersuara langsung, kok mau dipasung.

Biaya mahal itu bisa dimurahkan sesungguhnya. Banyak cara memurahkannya. Yang penting ada kemauan, (maka) di situ akan ada seribu jalan. Tapi kalau kemauan tidak punya, jalan seperti selalu berliku-liku dan akhirnya buntu. Jalan yang masih bisa terang sengaja dipergelap. Penyakit yang baru fase awal dikatakan stadium empat, seperti kanker ganas.

Soal mahal ongkos kandidat, mungkin juga karena kelakukan kandidat yang tak percaya diri sehingga tak apa menjual kehormatan dan harga diri. Kandidat yang menggadaikan kehormatan dengan 'membeli perahu' partai politik dan menebar jala politik uang bisa dihentikan, kalau mau. Salah satu caranya, hukuman yang tegas pada setiap pelaku. Uang sewa perahu harus dikategorikan sebagai suap sehingga siapapun pelaku harus disikat. Parpol penyewa ditenggelamkan tidak saja untuk saat kejadian, melainkan juga hukuman satu kali ke muka tidak bisa menghadirkan jagonya dalam pilkada.

Jala politik uang harus dipertemukan dengan penegakan hukum keras dan ganas. Tanpa basa-basi, si penebar jala harus didiskualifikasi. Tidak perlu dengan menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap –yang kita tidak tahu kapan tetapnya karena sering raib di perjalanan—tapi cukup dengan keputusan sang penyelenggara atau pengawas pemilu, sepanjang bukti nyata terang dan telanjang. Tanpa keraguan, tanpa perdebatan akan kebenaran yang dipaparkan.

Tidak sedang berdagang, tapi soal daulat rakyat

Apa lagi penyakit pilkada langsung? Tentu saja masih banyak. Ada konflik horizontal. Ada politik dinasti. Ada politisasi birokrasi. Ada soal ideologi. Seribu alasan bisa dikemukakan bagi kaum yang pesimistis.

Bagi kaum optimistis, seribu obat bisa dihadirkan. Kaum pesimistis selalu melihat halangan dan selalu mau menjadi bagian dari masalah (part of problem). Kaum optimistis melihat peluang dan selalu ingin menjadi bagian dari pemecahan masalah (part of solution).

Untung dan rugi pilkada langsung dan tidak langsung bisa dipaparkan secara terang dan gamblang. Tapi kita tidak sedang berdagang. Yang kita bela adalah ide tentang kedaulatan rakyat. Tentang ayat-ayat konstitusi yang telah dituliskan. Di sanalah kita harus mulai bergerak, di situlah kita harus tegak.
Konstitusi menuliskan kedaulatan ada di tangan rakyat. Mana yang lebih berdaulat memilih: rakyat atau wakil rakyat. Konstitusi menuliskan dipiih demokratis. Mana yang lebih demokratis: dipilih rakyat atau wakil rakyat. Ketika pemegang kedaulatan mau dan mampu menjalankan kedaulatanya sendiri, mengapa harus diwakilkan. Ibarat menentukan jodoh, mengapa harus dicarikan.

Hari ini sejarah demokrasi akan dituliskan lagi. Perbedaan suara antar fraksi sangatlah tipis. Pendukung pilkada langsung hanya unggul 14 suara. Itu pun kalau semua hadir di ruang paripurna. Padahal, masa jabatan tinggal berbilang hari. Para anggota legislatif tak takut lagi berbeda pendapat dengan partai karena ancaman recall sudah tak ada arti. Terlebih bagi mereka yang sudah tak terpilih. Mereka bisa menjadi bola liar. Mereka bahkan bisa menjadi makelar untuk menggeser daulat rakyat menjadi daulat elite. Dari pemilihan demokratis ke pemilihan oligarkhis, bahkan elitis.

Hari ini para wakil rakyat akan berparipurna, menentukan pemimpin dipilih rakyat atau cukup wakil rakyat. Hari ini pula demokrasi akan dituliskan (lagi). Semoga di akhir pungut suara, tidak ada penisanan: demokrasi telah mati di bumi pertiwi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar