Politik
Hal Ihwal dan Film Dokumenter
Eric Sasono ; Pengurus
Perkumpulan Rumah Film Indonesia
|
INDOPROGRESS, 23 September 2014
DALAM akhir
pekan mendatang, sebuah film dokumenter seputar pemilihan presiden yang baru
lalu akan diputar di bioskop. Judulnya Yang Ketu7uh, karya sutradara Dandhy
Dwi Laksono dan ko-sutradara Hellena Y. Souisa. Film dokumenter ini tampaknya
ingin mendayung di atas arus mitos. Pertama mitos tentang angka tujuh sebagai
angka yang istimewa. Selain judulnya Yang
Ketu7uh, film dokumenter ini juga kebetulan merupakan film dokumenter
ketujuh yang pernah tayang secara komersial di bioskop. Sebelumnya ada: Student Movement in Indonesia (Tino
Saroengallo, 2002), The Jak
(Andibachtiar Yusuf dan Amir Pohan, 2007), Pertaruhan (Lucky Kuswandi, Ucu Agustin, Iwan Setiawan, Ani Ema
Susanti dan Muhammad Ichsan, 2008), The
Conductors (Andibachtiar Yusuf, 2008), Setelah 15 Tahun (Tino Saroengallo, 2013) dan terakhir Jalanan (Daniel Ziv, 2014).
Mitos yang
kedua adalah mitos yang bersumber dari sosok Sukarno. Film dokumenter ini
dibuka dengan gambar pidato Sukarno dan rakyat yang berlarian menuju lapangan
ingin mendengarkan apa kata pemimpin mereka itu. Salah satu mitos terkuat
seputar Sukarno adalah ia merupakan pemimpin yang demikian dicintai
rakyatnya, dan ia pun mengaku diri sebagai penyambung lidah rakyat. Mitos
kedekatan itu pula yang tampaknya ingin dikejar oleh dua orang calon presiden
dalam pemilihan presiden langsung 9 Juli lalu. Tak heran sejarawan John
Roosa, di situs daring Mandala (http://asiapacific.anu.edu.au/ newmandala), menganalisa Prabowo Subianto dan Joko Widodo
sebagai semacam perwujudan dari Sukarno dalam soal hubungan diri mereka
sebagai pemimpin dengan rakyatnya.
Politik Hal Ihwal
Pemilihan
presiden tahun ini memang dianggap yang paling emosional, karena kedua calon
mampu membuat banyak orang tergerak untuk mendukung masing-masing calon.
Keduanya merasa memiliki dukungan besar dari rakyat dan maju ke tampuk
tertinggi kekuasaan, demi rakyat. Dalam berbagai variasinya, keduanya mengaku
amat peduli dan sepenuhnya mengabdikan diri untuk rakyat.
Tapi
pertanyaannya: rakyat yang mana?
Jawaban atas
pertanyaan itu menjadi premis utama film dokumenter keluaran rumah produksi Watchdoc yang bekerjasama dengan
lembaga riset Katadata ini. Kedua sutradara bekerja bersama 19 orang
videographer, berusaha untuk mengejar sebuah target naratif yang relatif
sederhana: bagaimana sesungguhnya politik di mata rakyat dalam keseharian
hidup mereka? Dengan mengikuti 4 orang tokoh utama, film dokumenter ini
mencoba memperlihatkan bagaimana politik mewujud dalam kehidupan sehari-hari
‘rakyat biasa’. Keempat orang itu adalah Nita, buruh cuci di Tangerang; Amin,
seorang petani Indramayu; Suparno pekerja bangunan serabutan di Galur,
Jakarta Pusat; dan Sutara, tukang ojek yang mangkal di Tanah Tinggi, Jakarta
Pusat.
Keempat orang
ini diikuti kesehariannya, dicaritahu apa saja mimpinya, seperti apa aspirasi
politiknya dan siapa presiden pilihannya. Dalam rangka mencari tahu ini,
kamera mengikuti keempatnya, mengunjungi kawasan tempat mereka tinggal,
bahkan masuk ke kamar tidur mereka dan mengurusi urusan mereka. Dari situ
kita tahu Nita ingin punya baju bagus seperti baju milik orang lain yang
biasa ia cuci. Kita paham bahwa Amin harus bercocok tanam di tanah negara,
semata supaya ia bisa bertahan hidup karena lahan pertanian sudah tak ada.
Juga Sutara yang harus tiga kali bolak balik untuk mengantar anaknya sekolah.
Dengan agak panjang lebar, film ini memberi kesempatan pada masalah-masalah
itu untuk terungkap. Terwujudlah premis film dokumenter ini: inilah hal ihwal
yang seharusnya menjadi urusan para politisi yang mengaku menjalankan amanat
rakyat itu.
Sebagai
perwujudan premis tadi, politik menjadi masalah keseharian. Tak peduli
bagaimana Prabowo berpidato dengan berapi-api di atas panggung, juga
bagaimana Joko Widodo disambut antusias massa di Gelora Bung Karno pada saat
konser dua jari, politik akhirnya adalah urusan hal ihwal dalam hidup
sehari-hari keempat orang ini. Politik adalah hal ihwal, bukan sekadar klaim
atau misi dan visi.
Hal ini,
seperti yang dinyatakan oleh sosiolog Prancis, Bruno Latour, adalah ding
politik atau politik hal ihwal yang seharusnya menggantikan real politik.
Dalam ding politik, kehidupan politik harus selalu terkait dengan hal ihwal
(baik kongkret maupun abstrak) yang harus diurus dan diselesaikan, bukan soal
kenyataan politik kerap berubah jadi pemujaan berlebih terhadap prosedur,
atau bahkan menjadi basis tawar menawar politik yang tak ada hubungannya
dengan hal ihwal tadi. Maka sebagaimana para politisi, menonton film
dokumenter ini adalah mencoba untuk memahami urusan orang lain, yang belum
tentu menjadi urusan kita secara langsung. Sekalipun hal seperti ini tak
baru-baru amat, belum banyak tontonan di bioskop yang menghadirkan hal
seperti ini bagi penonton Indonesia.
Berhasilkah
film dokumenter ini membangun argumen bahwa hal ihwal dalam film itu memang
penting bagi kehidupan bersama? Dalam hal ini, saya punya dua catatan.
Pertama, mereka asyik dengan rincian panjang hal ihwal yang jadi masalah bagi
Amin, sang petani Indramayu. Dengan penjelasan panjang lebar seperti itu,
tentu pertanyaannya: apakah masalah Amin lebih penting ketimbang yang lain?
Saya rasa Anda harus menilai sendiri apakah soal kurangnya lahan pertanian
lebih penting ketimbang mimpi punya baju bagus.
Catatan kedua
adalah berubahnya tempo film di penghujung, ketika pemilu presiden sudah
memperlihatkan hasil. Tiba-tiba muncul potongan demi potongan gambar
orang-orang yang berkumpul di depan TV di berbagai kota menyaksikan hasil
penghitungan pemilu. Apa yang sudah dibangun untuk memperlihatkan hal ihwal tadi,
berubah jadi semacam sketsa tentang politik sebagai sebuah pesta rakyat
Indonesia. Film ini kembali kepada jargon ketimbang mempertahankan politik
sebagai urusan hal ihwal yang menjadi premis utama film.
Namun demkian,
film ini sudah berhasil menghadirkan hal penting: mengubah hal ihwal orang
per orang menjadi bersifat publik, yaitu ketika masalah individu dianggap
menjadi bagian dari urusan banyak orang yang belum tentu berkaitan langsung
dengan mereka. Inilah tonton yang tak biasa Anda temui di layar bioskop, dan
saran saya, ikutilah sendiri bagaimana para pembuat film ini membangun
argumen mereka.
Tentang Publik dan Film Dokumenter
Bagaimanapun
itulah salah satu fungsi utama film dokumenter: menjadikan hal ihwal tertentu
menjadi bersifat publik. Di negara maju seperti Amerika, Inggris, atau
Jepang, stasiun televisi banyak menjalankan peran itu, terutama stasiun TV
yang didanai oleh dana publik. Stasiun TV seperti BBC atau Channel 4 di
Inggris, mengudarakan secara rutin seri dokumenter yang mewujudkan
konsep-konsep kehidupan sosial dan politik dalam kehidupan sehari-hari.
Demikian pula stasiun seperti PBS di Amerika, dengan program Independent Lens
yang penuh dengan program dokumenter berkualitas.
Tak jarang
satu seri dokumenter memicu diskusi publik berkepanjangan seperti Benefit
Street (2014) di Channel 4, Inggris, yang menggambarkan kehidupan para
penerima tunjangan sosial yang tinggal di jalan James Turner Street di kota Birmingham. Seri dokumenter itu jadi
perdebatan lantaran dianggap menyatakan para penerima tunjangan ini sebagai
‘orang miskin yang malas’. Surat kabar The
Guardian merasa penggambaran itu bisa dijadikan amunisi bagi kaum
konservatif untuk mengajukan pengurangan subsidi dan tunjangan, padahal kedua
hal itu adalah watak utama negara kesejahteraan yang didukung surat kabar
tersebut.
Contoh ini
memberikan gambaran mengenai peran film dan program dokumenter dalam
kehidupan publik. Peran itu bisa masih berbeda dengan apa yang ada di
Indonesia. Perdebatan publik yang dipicu oleh film di Indonesia lebih banyak
terjadi pada film fiksi, berupa tepat atau tidaknya representasi yang
dihadirkan oleh pembuat film, seakan kreasi pembuat film harus taat pada
kenyataan. Masalahnya, apa yang disebut sebagai kenyataan sesungguhnya amat
tergantung pada persepsi. Maka penggambaran yang dianggap keliru bisa
dipandang sebagai penghinaan, seperti, misalnya, yang terjadi pada perdebatan
seputar film Cinta Tapi Beda (Hanung Bramantyo dan Hestu Saputra, 2013).
Sebagai pengingat, film itu dianggap menghina lantaran, antara lain,
menggambarkan orang Minang sebagai pemeluk agama Kristen.
Film
dokumenter Yang Ketu7uh ini mungkin tak akan memicu perdebatan seputar pemilu
presiden lalu, karena apa yang disajikan bukan hal yang kontroversial,
semisal film The Act of Killing (Joshua Oppenheimer dan Anonim) yang
beredar di bawah tanah tahun lalu. Namun ada juga saatnya media film mengampu
diskusi penuh kesadaran tentang apa sesungguhnya yang memang perlu bagi
publik. Sudah saatnya juga film dokumenter seperti ini diberi kesempatan
lebih besar untuk memegang peran itu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar