4x6
atau 6x4?
Nurul Rahmawati ; Pemerhati
pendidikan, Orang tua siswa kelas II SD
|
JAWA
POS, 26 September 2014
Di sebuah SD di Jawa Tengah.
Habibi merasa
galau. Bocah kelas II SD itu sedih lantaran PR matematikanya dicoret-coret
dengan tinta merah oleh gurunya. Skor yang dia peroleh hanya 20. Habibi belum
paham benar dengan soal-soal yang bikin dia mumet. Untunglah, dia punya
kakak, Muhammad Erfas Maulana, mahasiswa teknik mesin, yang siap mengajari
dengan sabar dan telaten. Habibi percaya diri dengan jawaban sang kakak.
Tapi, mengapa ternyata jawaban kakaknya dinilai salah oleh gurunya?
Soal itu
berbunyi 4 + 4 + 4 + 4 + 4 + 4 =.... Habibi menjawab 4 x 6 = 24. Rupanya,
jawaban itu dianggap ’’salah total’’. Sebab, jawaban yang benar adalah 6 x 4
= 24.
Habibi tentu
melapor kepada Erfas, sang ’’mentor’’ sekaligus kakaknya. Erfas terusik
dengan nilai 20. Barangkali harga dirinya jatuh di hadapan si adik yang baru
duduk di kelas II SD. Tidak menerima dengan penilaian sang guru, Erfas
mengajukan ’’surat cinta’’ yang berisi protes.
Bu guru yang terhormat,
Mohon maaf sebelumnya, saya kakak dari Habibi
yang mengajarinya mengajarkan PR di atas.
Bu, bukankah jawaban dari Habibi benar semua?
Apakah hanya karena letaknya yang terbalik
sehingga jawaban Habibi Anda salahkan?
Menurut saya, masalah peletakan bukan menjadi
masalah, Bu. Misal, 4 x 6 = 6 x 4. Hasilnya sama-sama 24.
Terima kasih Bu, mohon perhatiannya. Semoga
dapat dijadikan pertimbangan.
Mungkin surat
itu hanya berhenti di meja ibu guru apabila Erfas tidak meng-upload-nya di Facebook. Ya, surat
tersebut menjadi viral lantaran Erfas membahasnya di jejaring sosial
terpopuler di Indonesia. Ratusan orang men-share posting-an Erfas. Bahkan, itu dibahas di berbagai portal
berita. Ratusan orang menganalisis dengan latar belakang akademis
masing-masing. Sebagian mencela si guru, yang lain menimpakan kesalahan
kepada Erfas.... Ada pula yang mengutuk sistem pembelajaran, ada yang menimpakan
telunjuk kesalahan kepada Kemendikbud. Facebook menjadi riuh oleh 4 x 6 atau
6 x 4....
Lima belas
tahun lalu, di sebuah elementary school
(SD) di Amerika Serikat, seorang pria kandidat doktor tengah mengajukan
protes kepada guru SD tempat sang anak belajar. Menariknya, protes itu bukan
lantaran si bocah diberi skor 20. Justru, sang ayah protes karena karangan
berbahasa Inggris yang ditulis si anak malah diberi nilai E (excellent) yang berarti sempurna,
hebat, sangat bagus. Padahal, sang anak baru saja tiba di Amerika dan baru
mulai belajar bahasa. Menurut pria kandidat doktor itu, karangan sang anak
buruk, logikanya sederhana, kemampuan verbal masih sangat terbatas sehingga
tidak sepatutnya guru memberikan skor E.
’’Apa tidak salah memberikan nilai? Bukankah
pendidikan memerlukan kesungguhan? Kalau begini saja sudah diberi nilai
tinggi, saya khawatir anak saya cepat berpuas diri.’’ Begitu ujar sang kandidat doktor.
Sewaktu dia
mengajukan protes, ibu guru yang menerima hanya bertanya singkat. ’’Maaf, Bapak dari mana?’’ ’’Dari
Indonesia,’’ jawabnya. Dia pun tersenyum. Ibu guru yang simpatik itu
berujar, ’’Beberapa kali saya bertemu
ayah-ibu dari Indonesia yang anak-anaknya dididik di sini. Di negeri Anda,
guru sangat sulit memberi nilai. Filosofi kami mendidik di sini bukan untuk
menghukum, melainkan untuk merangsang orang agar maju. Encouragement! Saya
sudah 20 tahun mengajar. Setiap anak berbeda. Namun, untuk anak sebesar itu,
baru tiba dari negara yang bahasa ibunya bukan bahasa Inggris, saya dapat
menjamin, ini adalah karya yang hebat.’’
Anda tahu,
siapa kandidat doktor yang
’’memprotes’’ guru anaknya itu? Ya, dia adalah Prof Rhenald Kasali Phd.
Dua cerita di atas sengaja saya sajikan supaya kita bisa lebih jeli dalam
menyaksikan paradoks yang ’’menampar’’ wajah pendidikan kita.
Kasus 4 x 6
atau 6 x 4 adalah letupan kecil, sebuah contoh betapa guru plus sistem
pendidikan kita belum mengembangkan budaya penghargaan kepada anak. Mengapa
ketika ’’salah’’ menjawab, anak langsung diberi skor salah total? Mengapa
tidak ada penghargaan bahwa anak sudah meluangkan waktu, untuk mau, bersedia
mengorbankan waktu istirahat dan bermainnya untuk mengerjakan PR? Mengapa
guru tidak mengapresiasi upaya anak yang mau mencari mentor dan bertanya
kepada kakaknya? Dan, mengapa kita begitu terpaku dengan skor kuantitatif?
Terlalu banyak
’’mengapa’’ yang bisa tersaji. Yang pada intinya, semua itu bermuara kepada
abainya kita untuk meng-encourage,
menyemangati anak didik untuk do his or
her best. Anak-anak hanya dipacu untuk mengerjakan soal, dengan kunci
jawaban yang sudah dipegang erat oleh sang guru. Anak-anak nyaris tidak
diberi kesempatan untuk menunjukkan potensi masing-masing. Ketika
mengkreasikan sesuatu hal, anak-anak hanya menelan pil pahit berupa judgement dari guru: ’’Karya ini buruk sekali! Kurang rapi!’’
dan sebagainya. Sungguh menyedihkan.
Yang lebih
parah lagi, beberapa SD negeri justru mencerabut hak anak untuk beribadah.
Itu terjadi di sekolah anak saya. Jam masuk pukul 11.30 dan dia baru pulang
pukul 16.30. Seharusnya dia salat Duhur di masjid dekat sekolah. Tapi, karena
gerbang sekolah dikunci rapat, anak saya tidak pernah salat Duhur setiap
hari! Wow. Inikah pendidikan yang didambakan oleh Kemendikbud? Menciptakan
generasi yang hanya sendiko dawuh,
taklid buta kepada guru, yang notabene justru tidak bisa meng-encourage anak didiknya?
Tampaknya,
dunia pendidikan kita masih jalan di tempat. Saya menantang kabinet Jokowi
untuk bisa menempatkan orang-orang terbaik di kementerian yang ’’seksi’’ ini.
Buat apa anggaran tinggi, tapi distribusi buku masih acakadut, dan sistem belajar mengajar juga sami mawon, masih
tereksekusi secara top-down dan ortodoks. Judulnya saja, Kurikulum 2013,
Merangsang Nalar Dan Membangun Karakter. Tapi, guru-gurunya –yang sudah ikut
pelatihan kurikulum–masih bermental old-school,
mengandalkan bentakan, mata yang melotot tajam, plus tidak bisa menghargai
anak didik.
Oh, maafkan
curhat saya yang terlampau panjang. Saya tentu tidak rela anak-anak kita
terdogma dalam sistem yang buruk, dan kita justru melahirkan Habibi-Habibi
yang takut untuk mengembangkan nalar dan keilmuan. Ngomong-ngomong, saya
yakin orang tua Habibi tentu ingin putranya kelak akan sebrilian Prof B.J.
Habibie. Dan, saya hakulyakin,
Habibie tak akan menjadi profesor hebat apabila matematikanya dulu hanya
diberi skor 20 oleh sang guru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar