Eksaminasi
Pembebasan Bersyarat
Abdul Wahid ; Dosen Pascasarjana Unisma, Malang
|
KORAN
JAKARTA, 26 September 2014
Rencana pembebasan bersyarat (PB) terpidana korupsi Anggodo Widjojo
memancing reaksi. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan
Hak Asasi Manusia memang berencana memberi PB kepada Anggodo Widjojo.
Direktur Informasi dan Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Ibnu Khuldun, menyatakan masih
mengaji berkas permohonan pembebasan Anggodo yang diterima Juli 2014 lalu.
Menurut Ibnu, pengajuan PB dilakukan berdasarkan usulan Tim Pengamat
Pemasyarakatan Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Permohonan PB seorang
narapidana (napi) dapat diajukan setelah menjalani dua pertiga masa tahanan.
Anggodo divonis 10 tahun penjara dan didenda 250 juta rupiah subsider
lima bulan kurungan. Dia ditahan sejak 14 Januari 2010 di Rutan Kelas I
Cipinang sebelum dipindahkan ke Lapas Sukamiskin (Koran Jakarta, 21 September
2014). Kalau semata-mata dibaca dari aspek yuridis, memang PB merupakan hak
napi. Meski hak itu diberikan negara, eksaminasi implementasinya juga harus
dikedepankan. Sebab tidak setiap pemberian ini menguntungkan secara makro,
apalagi terhadap koruptor yang menelan uang negara dan rakyat.
Pasal 28G Ayat (1) UUD 45 menyebutkan setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya. Dia juga berhak atas rasa aman dan perlindungan
dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang
merupakan hak asasi. Ini juga sesuai dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, “Setiap orang berhak atas rasa aman dan
tenteram serta perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu.”
Berlapis
Perilaku koruptor dinilai telah mengakibatkan kerugian berlapis
terhadap kehidupan bangsa. Rakyat kehilangan kehormatan atau martabatnya
sebagai masyarakat beragama akibat perilaku koruptor. Koruptor tidak pantas
menerima PB. Maka, PB, apalagi terhadap terpidana korupsi, akan menghilangkan
efek jera, juga bagi koruptor lain. Selama 2011–2013, tercatat rata-rata
hukuman bagi para koruptor hanya 2,1 tahun.
Padahal, kerugian negara mencapai 6,4 triliun rupiah dari 756 tersangka
korupsi yang dijerat. Ini karena PB terlalu gampang diberikan, termasuk
remisi. Kondisi demikian justru akan menghilangkan efek jera koruptor dan
memicu calon koruptor. Publik sebenarnya berharap negara berkaca pada
Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Pemberian Remisi yang
diberikan pada napi yang mau menjadi saksi bekerja sama (justice collaborator) atau yang mau mengembalikan uang hasil
korupsinya. Kalau pemerintah mau berkaca pada “syarat” ini, sebenarnya setiap
PB haruslah mempertimbangkan secara cermat dan teliti mengenai keberadaan
napi.
Syarat seperti “berkelakuan baik” dapat diinterpretasikan lebih makro
dengan makna “memberi yang terbaik” pada diri, masyarakat, dan bangsanya.
“Memberi yang terbaik” bisa dalam bentuk testimoni atau turut berperan dalam
pemberantasan korupsi. Kalau berpijak pada beratnya syarat pemberian remisi,
idealnya PB pun harus sejalan dengannya sehingga napi korupsi bisa merasakan
beban berat selama menjalani hukuman.
Beban berat ini bukan sebatas pada aspek menjalani lamanya hukuman di
lembaga pemasyarakatan, tetapi juga kiprahnya selama di LP dalam
pemberantasan korupsi. Lamanya hukuman napi bisa kalah berat statusnya jika
dikaitkan dengan keberaniannya menjadi justice
collaborator (JC). Untuk menjadi JC tidak gampang. Ada risiko berat
mengancam, bahkan membahayakan kelangsungan hidup. Di beberapa negara maju,
JC penentu kuantitas dan kualitas hukuman napi. Napi yang giat “memberikan yang
terbaik” kepada negara, maka pemerintah juga banyak memberi pengampunan atau
pengurangan hukuman.
Dalam ranah pemberantasan korupsi, napi koruptor tidak pantas diberi PB
karena melibatkan institusi hukum lain. Pengamat hukum, Burhanuddin (2014),
mengatakan, pemberian PB maupun remisi kerap menjadi dilema penegakan hukum
para napi korupsi. Di satu sisi, rakyat mengapresiasi kerja KPK, di sisi lain
begitu sudah divonis, menjadi domain Kementerian Hukum dan HAM yang banyak
memberi PB kepada koruptor. Khusus tindak pidana korupsi, PB harus direvisi
atau diselaraskan dengan politik pemberantasan korupsi. Kegagalan penegakan
hukum dapat dibaca sejak awal pembentukan peraturan perundang- undangan.
Ketika awal norma yuridis dibuat, ternyata sudah mengidap cacat. Ini
mengindikasikan penegakan hukum sudah gagal sejak dini. Kegagalan penegakan
hukum pada napi korupsi bisa karena ketiadaan aturan teknis sehingga membuat
gagap banyak pihak saat mencuat rencana adanya diskresi berkenaan dengan PB
koruptor. Napi korupsi bisa memberikan yang terbaik kepada negara terkait
pemberantasannya untuk membongkar jaringan atau tali-temali korupsi. Dia tahu
seluk-beluk dan aktor-aktor korupsi. Contoh kasus sindikasi korupsi migas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar