Minggu, 28 September 2014

Eksaminasi Pembebasan Bersyarat

                           Eksaminasi Pembebasan Bersyarat

Abdul Wahid ;   Dosen Pascasarjana Unisma, Malang
KORAN JAKARTA,  26 September 2014

                                                                                                                       


Rencana pembebasan bersyarat (PB) terpidana korupsi Anggodo Widjojo memancing reaksi. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia memang berencana memberi PB kepada Anggodo Widjojo.

Direktur Informasi dan Komunikasi Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Ibnu Khuldun, menyatakan masih mengaji berkas permohonan pembebasan Anggodo yang diterima Juli 2014 lalu. Menurut Ibnu, pengajuan PB dilakukan berdasarkan usulan Tim Pengamat Pemasyarakatan Lapas Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat. Permohonan PB seorang narapidana (napi) dapat diajukan setelah menjalani dua pertiga masa tahanan.

Anggodo divonis 10 tahun penjara dan didenda 250 juta rupiah subsider lima bulan kurungan. Dia ditahan sejak 14 Januari 2010 di Rutan Kelas I Cipinang sebelum dipindahkan ke Lapas Sukamiskin (Koran Jakarta, 21 September 2014). Kalau semata-mata dibaca dari aspek yuridis, memang PB merupakan hak napi. Meski hak itu diberikan negara, eksaminasi implementasinya juga harus dikedepankan. Sebab tidak setiap pemberian ini menguntungkan secara makro, apalagi terhadap koruptor yang menelan uang negara dan rakyat.

Pasal 28G Ayat (1) UUD 45 menyebutkan setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya. Dia juga berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Ini juga sesuai dengan Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.”

Berlapis

Perilaku koruptor dinilai telah mengakibatkan kerugian berlapis terhadap kehidupan bangsa. Rakyat kehilangan kehormatan atau martabatnya sebagai masyarakat beragama akibat perilaku koruptor. Koruptor tidak pantas menerima PB. Maka, PB, apalagi terhadap terpidana korupsi, akan menghilangkan efek jera, juga bagi koruptor lain. Selama 2011–2013, tercatat rata-rata hukuman bagi para koruptor hanya 2,1 tahun.

Padahal, kerugian negara mencapai 6,4 triliun rupiah dari 756 tersangka korupsi yang dijerat. Ini karena PB terlalu gampang diberikan, termasuk remisi. Kondisi demikian justru akan menghilangkan efek jera koruptor dan memicu calon koruptor. Publik sebenarnya berharap negara berkaca pada Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Pemberian Remisi yang diberikan pada napi yang mau menjadi saksi bekerja sama (justice collaborator) atau yang mau mengembalikan uang hasil korupsinya. Kalau pemerintah mau berkaca pada “syarat” ini, sebenarnya setiap PB haruslah mempertimbangkan secara cermat dan teliti mengenai keberadaan napi.

Syarat seperti “berkelakuan baik” dapat diinterpretasikan lebih makro dengan makna “memberi yang terbaik” pada diri, masyarakat, dan bangsanya. “Memberi yang terbaik” bisa dalam bentuk testimoni atau turut berperan dalam pemberantasan korupsi. Kalau berpijak pada beratnya syarat pemberian remisi, idealnya PB pun harus sejalan dengannya sehingga napi korupsi bisa merasakan beban berat selama menjalani hukuman.

Beban berat ini bukan sebatas pada aspek menjalani lamanya hukuman di lembaga pemasyarakatan, tetapi juga kiprahnya selama di LP dalam pemberantasan korupsi. Lamanya hukuman napi bisa kalah berat statusnya jika dikaitkan dengan keberaniannya menjadi justice collaborator (JC). Untuk menjadi JC tidak gampang. Ada risiko berat mengancam, bahkan membahayakan kelangsungan hidup. Di beberapa negara maju, JC penentu kuantitas dan kualitas hukuman napi. Napi yang giat “memberikan yang terbaik” kepada negara, maka pemerintah juga banyak memberi pengampunan atau pengurangan hukuman.

Dalam ranah pemberantasan korupsi, napi koruptor tidak pantas diberi PB karena melibatkan institusi hukum lain. Pengamat hukum, Burhanuddin (2014), mengatakan, pemberian PB maupun remisi kerap menjadi dilema penegakan hukum para napi korupsi. Di satu sisi, rakyat mengapresiasi kerja KPK, di sisi lain begitu sudah divonis, menjadi domain Kementerian Hukum dan HAM yang banyak memberi PB kepada koruptor. Khusus tindak pidana korupsi, PB harus direvisi atau diselaraskan dengan politik pemberantasan korupsi. Kegagalan penegakan hukum dapat dibaca sejak awal pembentukan peraturan perundang- undangan.

Ketika awal norma yuridis dibuat, ternyata sudah mengidap cacat. Ini mengindikasikan penegakan hukum sudah gagal sejak dini. Kegagalan penegakan hukum pada napi korupsi bisa karena ketiadaan aturan teknis sehingga membuat gagap banyak pihak saat mencuat rencana adanya diskresi berkenaan dengan PB koruptor. Napi korupsi bisa memberikan yang terbaik kepada negara terkait pemberantasannya untuk membongkar jaringan atau tali-temali korupsi. Dia tahu seluk-beluk dan aktor-aktor korupsi. Contoh kasus sindikasi korupsi migas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar