Dewan
Presiden
Bahrul Ilmi Yakup ; Ketua Asosiasi Advokat Konstitusi;
Advokat
dan Konsultan Hukum BUMN; Ketua Pusat Kajian BUMN)
|
KOMPAS,
30 September 2014
Kegagalan Joko Widodo-Jusuf Kalla mewujudkan struktur kabinet ramping
dengan jumlah pos kementerian lebih kecil daripada 34, sebagaimana struktur
Kabinet Indonesia Bersatu II SBY, menjadi indikator pertama bahwa perjuangan
Jokowi-JK mewujudkan visi-misinya yang berbungkus Nawa Cita—sembilan jalan
perubahan menuju Indonesia berdaulat—berat dan terjal. Perjuangan itu justru
akan menjadi lebih berat setelah Jokowi-JK dilantik.
Pada saat itu masa bulan madu Jokowi-JK dengan konstituen pendukungnya
akan berakhir, yang secara pasti akan
mengubah sikap konstituen dari memuji menjadi mencaci, dari mendukung menjadi
memancung, dari apresiasi menjadi destruksi.
Pada saat itu, niscaya Jokowi-JK akan menuai kritik dan kecaman
bertubi-tubi dan abadi, yang secara alami akan membuatnya kesepian dan
kesendirian dalam visi-misinya yang terbungkus rapi.
Pengalaman demikian dialami semua presiden Indonesia di era Reformasi:
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan terakhir Susilo Bambang
Yudhoyono. Ketiganya mengalami kegetiran ketika harus menghadapi kekecewaan
konstituen yang berpaling sikap dan tindakan.
Gejala demikian menunjukkan, memang tidak gampang mengelola dan menata
sistem politik dan sistem pemerintahan Indonesia sesuai dengan gagasan dan
nalar konstitusi. Dalam konteks inilah, Soekarno mengatakan bahwa ”revolusi
akan selalu memakan anaknya sendiri”.
Nalar
”zaken” konstitusi
UUD 1945 hasil amendemen sesungguhnya telah memilih sistem pemerintahan
presidensial murni sebagaimana dicirikan oleh masa jabatan presiden secara fixed
selama lima tahun; presiden tak tunduk kepada DPR, MA, dan MK; dan presiden
tidak dapat diberhentikan di tengah masa jabatan, kecuali atas alasan
melanggar UUD 1945 atau melanggar UU. Selanjutnya, UUD 1945 membagi
kedaulatan negara ke dalam tiga cabang kekuasaan eksekutif (Pasal 4 Ayat 1),
legislatif (Pasal 20 Ayat 1), dan yudisial (Pasal 24 Ayat 2).
Sesuai dengan gagasan dan nalar konstitusi tersebut, seharusnya
Indonesia memiliki presiden yang kuat mengemban amanat pemerintahannya tanpa
harus mengalkulasi kuantitas dukungan anggota DPR. Namun, realitas politik
tak memberi citra demikian. Senyatanya, Jokowi-JK tidak dapat melenggang lepas mewujudkan
Nawa Cita mereka tanpa memiliki dukungan signifikan dari DPR.
Persoalan demikian, sejatinya, bukan hal baru bagi bangsa Indonesia.
Isu tersebut sebetulnya sudah diprediksi dan diperdebatkan di Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) ketika membahas
sistem pemerintahan dan tipe demokrasi untuk negara Indonesia.
Para pendiri negara yang terhimpun di BPUPKI telah membahas dan
akhirnya memilih sistem pemerintahan dan tipe demokrasi yang cocok dengan
kultur rakyat Indonesia sebagaimana materi sidang 31 Mei 1945 dan pidato
Soekarno pada 1 Juni 1945. Intinya, Indonesia tidak memilih demokrasi Barat
yang memang tidak sesuai dengan kultur rakyat Indonesia yang memosisikan
rakyat hanya dalam kualitas angka mati, tetapi Indonesia akan memilih
demokrasi yang sesuai dengan sejarah hukum dan lembaga sosial masyarakat
Indonesia.
Namun, gagasan dan nalar dasar zaken konstitusi itu dicampakkan begitu
saja oleh sekelompok komponen bangsa yang
terbakar euforia reformasi yang waktu itu mengendalikan MPR.
Tanpa penyelidikan mendalam dan pemahaman sahih atas sejarah hukum dan
lembaga sosial masyarakat, mereka mendorong MPR mengusung empat amendemen UUD 1945 yang mencampakkan
gagasan dan nalar zaken konstitusi tersebut. Konsekuensinya, Indonesia pada
era Reformasi sekarang berada dalam sistem pemerintahan yang tak berarah
seraya tidak berbasis pada sejarah hukum dan lembaga sosial masyarakat.
Moral
”politicking”
Dampaknya, negara Indonesia saat ini dikendalikan oleh para anggota DPR
yang hanya memiliki moral dan milieu politicking, anggota DPR yang
berperilaku sebagai pedagang kebijakan legislasi, yang tidak memahami spirit
UUD 1945 sebagai zaken konstitusi. Dengan anggota DPR yang demikian itulah,
Jokowi-JK harus berhadapan dan berpacu untuk mewujudkan Nawa Cita selama lima
tahun ke depan. Dengan demikian, adalah suatu keniscayaan jika langkah dan kiprah
pemerintahan Jokowi-JK harus mendaki bukit terjal yang berbatu padas.
Dalam konteks demikian, dapat diprediksi bahwa sinergi pemerintahan
Jokowi-JK dengan DPR akan senantiasa fluktuatif. Distribusi pos kabinet dalam
kerangka koalisi belum tentu mampu menjamin terwujudnya pemerintahan yang
stabil.
Karena itu, Jokowi-JK harus mencari pilar tambahan yang akan
mengukuhkan pemerintahannya. Pilar tambahan itu dapat digali dari sumber daya
kultural bangsa Indonesia yang masih berada dalam lingkungan kultur
kepemimpinan karismatik. Rakyat Indonesia masih kental menghormati wibawa
para tokohnya. Di antara para tokoh negara yang memegang simpul karisma
adalah para mantan presiden dan wakil presiden.
Dalam prisma demikian, cukup bijak dan piawai apabila Jokowi-JK
menyatukan para mantan presiden dan wakil presiden dalam suatu forum yang
disebut Dewan Presiden. Dari forum Dewan Presiden tersebut, Jokowi-JK dapat
memetik karisma dan hikmah kepemimpinan seraya memahami pengalaman
teknokratis sebagai modal membangun dan mengelola Indonesia lima tahun
mendatang.
Pemikiran dan pengalaman Dewan Presiden yang merupakan tokoh-tokoh
utama dalam mengelola Indonesia secara akademis merupakan sumber pengetahuan
primer yang dapat menjadi substitusi Garis-garis Besar Haluan Negara yang
pernah ada sebagai garis kontinum prismatik dalam membangun Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar