Selasa, 30 September 2014

Penyeimbang

Penyeimbang

Putu Setia  ;   Pengarang Wartawan Senior Tempo
TEMPO.CO,  27 September 2014

                                                                                                                       


Kemarin, saya diundang makan malam oleh Romo Imam. "Untuk merayakan kembalinya Orde Baru," katanya, bercanda. "Ini hari kedua, apa sudah ada perubahan?"
"Saya sudah lupa Orde Baru, kecuali menonton film Pengkhianat G30S/PKI di TVRI," kata saya. "Kalau saya saja lupa, bagaimana dengan anak-anak kita? Apa yang penting Romo?"
Romo mengambil piring. "Selain tiap Rabu malam Menteri Penerangan Harmoko mengumumkan harga cabe keriting sesuai petunjuk Pak Harto, kita harus tetap dalam koridor demokrasi Pancasila. Persis yang dikatakan Fadli Zon seusai voting RUU Pilkada yang menyebutkan, pilkada lewat DPRD adalah kemenangan demokrasi Pancasila. Cara Soeharto melanggengkan demokrasi yang disebutnya Pancasila itu adalah membuat kekuatan penyeimbang."
Saya kaget. "Penyeimbang itu istilah Pak SBY. Romo mengada-ada," kata saya. Romo tertawa: "Tapi roh dari kekuatan penyeimbang itu adalah produk Orde Baru. Di DPR, Soeharto mengangkat anggota TNI dan polisi yang jumlahnya sepertiga dari seluruh anggota DPR. Fraksi ABRI, begitu namanya dulu, menjadi kekuatan penyeimbang, meski sering tak berfungsi karena di lain pihak Soeharto selalu menargetkan suara Golkar 70 persen."
"Pak Harto perlu aman di DPR kan?" tanya saya. "Oya, pasti, tapi Soeharto tetap merasa tak aman," kata Romo. "Di MPR masih ditambah anggota dari berbagai golongan dan disebut Fraksi Utusan Golongan. Dengan begitu, kalaupun ada voting, tak mungkin pemerintah kalah. Kekuatan penyeimbang ini akan bergerak kalau ada yang utak-atik kebijakan Soeharto. Memilih presiden dan wakil presiden pun tak pernah dengan voting. Apanya divoting kalau calonnya tunggal? Demokrasi Pancasila tak boleh ada musyawarah lonjong, harus bulat."
Romo meneruskan: "Nah, kita kembali ke Orde Baru, tanda-tandanya dari UU Pilkada yang mencabut kembali hak rakyat untuk memilih bupati, wali kota, dan gubernur. Suara rakyat sulit ditebak, lebih mudah mengurusi perut 40 sampai 100 anggota DPRD. Lalu ada pula kekuatan penyeimbang yang diperkenalkan SBY."
"Saya tak paham," celetuk saya. Romo menjelaskan: "Partai Demokrat yang Ketua Umumnya SBY menyebut menjadi penyeimbang. Demokrat tak mau disebut ada di koalisi Merah Putih untuk pencitraan. Sebagai penyeimbang, Demokrat akan membela kepentingan rakyat. Karena itu, sebelum SBY ke luar negeri, Demokrat mengumumkan pemihakan pada pilkada langsung meski dengan catatan perbaikan. Tapi kemudian, dengan dalih catatannya tidak diakomodasi, mereka walk out. Padahal catatan itu sudah disetujui. Karena penyeimbang justru tumbang, kemenangan ada pada koalisi yang ingin ke demokrasi Orde Baru."
"Apakah SBY dikhianati?" tanya saya. "Hanya Tuhan dan SBY yang tahu. Dia di luar negeri," kata Romo. "Ada yang bilang SBY minta agar dalang walk out itu diusut, tapi ada yang bilang walk out itu sudah seizin SBY. Mana yang betul, entahlah. Di masa Orde Baru pun penyeimbang itu biasa nakal-nakal dikit, motifnya daya tawar yang ujung-ujungnya duit. Kasihan SBY yang sepuluh tahun memerintah berakhir dengan citra buruk seperti ini."
"Aduh, saya ikut kasihan. Kesempatan terbaik dengan kursi yang mencukupi sebagai kekuatan penyeimbang disia-siakan. Padahal nanti kursi Demokrat jauh berkurang. Jangankan menjadi penyeimbang, menjadi penyumbang pun sulit," kata saya dengan sedih. "Duh, Romo, apa yang sebaiknya dilakukan SBY supaya saya tetap mengaguminya?"
Kali ini Romo Imam yang menunjukkan wajah sedih: "Waktu tersisa 22 hari terlalu singkat untuk mengembalikan citra baiknya itu. Duh..."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar