Penyeimbang
Putu Setia ; Pengarang Wartawan Senior Tempo
|
TEMPO.CO,
27 September 2014
Kemarin,
saya diundang makan malam oleh Romo Imam. "Untuk merayakan kembalinya
Orde Baru," katanya, bercanda. "Ini hari kedua, apa sudah ada
perubahan?"
"Saya
sudah lupa Orde Baru, kecuali menonton film Pengkhianat G30S/PKI di
TVRI," kata saya. "Kalau saya saja lupa, bagaimana dengan anak-anak
kita? Apa yang penting Romo?"
Romo
mengambil piring. "Selain tiap Rabu malam Menteri Penerangan Harmoko
mengumumkan harga cabe keriting sesuai petunjuk Pak Harto, kita harus tetap
dalam koridor demokrasi Pancasila. Persis yang dikatakan Fadli Zon seusai voting RUU Pilkada yang
menyebutkan, pilkada lewat DPRD adalah kemenangan
demokrasi Pancasila. Cara Soeharto melanggengkan demokrasi yang
disebutnya Pancasila itu adalah membuat kekuatan penyeimbang."
Saya
kaget. "Penyeimbang itu istilah Pak SBY. Romo mengada-ada," kata
saya. Romo tertawa: "Tapi roh dari kekuatan penyeimbang itu adalah
produk Orde Baru. Di DPR, Soeharto mengangkat anggota TNI dan polisi yang
jumlahnya sepertiga dari seluruh anggota DPR. Fraksi ABRI, begitu namanya
dulu, menjadi kekuatan penyeimbang, meski sering tak berfungsi karena di lain
pihak Soeharto selalu menargetkan suara Golkar 70 persen."
"Pak
Harto perlu aman di DPR kan?" tanya saya. "Oya, pasti, tapi
Soeharto tetap merasa tak aman," kata Romo. "Di MPR masih ditambah
anggota dari berbagai golongan dan disebut Fraksi Utusan Golongan. Dengan
begitu, kalaupun ada voting, tak mungkin pemerintah kalah. Kekuatan
penyeimbang ini akan bergerak kalau ada yang utak-atik kebijakan Soeharto.
Memilih presiden dan wakil presiden pun tak pernah dengan voting. Apanya
divoting kalau calonnya tunggal? Demokrasi Pancasila tak boleh ada musyawarah
lonjong, harus bulat."
Romo
meneruskan: "Nah, kita kembali ke Orde Baru, tanda-tandanya dari UU
Pilkada yang mencabut kembali hak rakyat untuk memilih bupati, wali kota, dan
gubernur. Suara rakyat sulit ditebak, lebih mudah mengurusi perut 40 sampai
100 anggota DPRD. Lalu ada pula kekuatan penyeimbang yang diperkenalkan
SBY."
"Saya
tak paham," celetuk saya. Romo menjelaskan: "Partai Demokrat yang
Ketua Umumnya SBY menyebut menjadi penyeimbang. Demokrat tak mau disebut ada
di koalisi Merah Putih untuk pencitraan. Sebagai penyeimbang, Demokrat akan
membela kepentingan rakyat. Karena itu, sebelum SBY ke luar negeri, Demokrat
mengumumkan pemihakan pada pilkada langsung meski dengan catatan perbaikan.
Tapi kemudian, dengan dalih catatannya tidak diakomodasi, mereka walk out. Padahal catatan itu sudah
disetujui. Karena penyeimbang justru tumbang, kemenangan ada pada koalisi
yang ingin ke demokrasi Orde Baru."
"Apakah SBY dikhianati?" tanya saya. "Hanya Tuhan dan
SBY yang tahu. Dia di luar negeri," kata Romo. "Ada yang bilang SBY
minta agar dalang walk out itu
diusut, tapi ada yang bilang walk out
itu sudah seizin SBY. Mana yang betul, entahlah. Di masa Orde Baru pun
penyeimbang itu biasa nakal-nakal dikit, motifnya daya tawar yang
ujung-ujungnya duit. Kasihan SBY yang sepuluh tahun memerintah berakhir
dengan citra buruk seperti ini."
"Aduh,
saya ikut kasihan. Kesempatan terbaik dengan kursi yang mencukupi sebagai
kekuatan penyeimbang disia-siakan. Padahal nanti kursi Demokrat jauh
berkurang. Jangankan menjadi penyeimbang, menjadi penyumbang pun sulit,"
kata saya dengan sedih. "Duh, Romo, apa yang sebaiknya dilakukan SBY
supaya saya tetap mengaguminya?"
Kali ini
Romo Imam yang menunjukkan wajah sedih: "Waktu tersisa 22 hari terlalu
singkat untuk mengembalikan citra baiknya itu. Duh..." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar