Selasa, 30 September 2014

Kampung, Ibunya Kota

Kampung, Ibunya Kota

Anonim ;   (Tanpa Penjelasan)
KORAN SINDO,  30 September 2014

                                                                                                                       


Masalah permukiman kumuh seolah-olah telah mengakar dalam kehidupan masyarakat, terutama di perkotaan, seperti DKI Jakarta, Surabaya, Yogyakarta.

Pada umumnya, sekelumit problem permukiman kumuh di perkotaan mudah sekali dijumpai dalam area yang dinamakan kampung. Istilah kampung sering dikontraskan dengan perumahan real estat yang penghuninya didominasi masyarakat miskin, warga biasa, atau wong cilik (Setiawan, 2010: 12). Kurang dan lemahnya aset masyarakat kampung tersebut menyebabkan jaring-jaring kemiskinan muncul dan disertai dengan kondisi rumah yang tidak layak huni.

Secara fisik, wajah kampung kota hanya dipandang sebagai bentukan ruang yang padat tanpa ketersediaan ruang terbuka karena himpitan bangunan rumah masyarakat, minimnya akses infrastruktur dasar sebagai penunjang, pendorong, dan pelengkap kehidupan para penghuninya, serta mayoritas masyarakatnya bekerja di sektor informal yang kondisi ekonominya terbilang perlu upaya tindakan stimulan agar kehidupannya menjadi lebih baik.

Kampung Tematik Jadi Solusi

Dalam kondisi yang memiriskan, kampung memiliki daya tarik untuk dikaji lebih dalam oleh beberapa organisasi nonpemerintah (NGO) maupun akademisi untuk mengetahui seluk-beluk dan solusi inovatif dalam menjawab tantangan pertumbuhan luasan permukiman kumuh. Hal ini dapat dilihat dari kampung-kampung di Yogyakarta terutama di bantaran Sungai Code, Sungai Winongo, dan Sungai Gadjahwong.

Walaupun menjadi lokasi studi berkaitan dengan kemiskinan dan kekumuhan, masyarakat kampung tak dapat dimungkiri memiliki kekuatan untuk mengubah tatanan lingkungannya melalui perencanaan kampung-kampung tematik sesuai dengan potensi dan komoditas utama yang dimiliki kampung tersebut.

Hal ini dapat dilihat dari kampung-kampung di berbagai daerah seperti Kota Surabaya (Kampung Lontong, Kampung Limbah, Kampung Batik), Kota Yogyakarta (Kampung Batik, Kampung Wijilan/Gudeg, Kampung Jamu, Kampung Backpakers, Kampung Wisata Sungai, Kampung Daur), dan DKI Jakarta (Kampung Panggung, Kampung Stasiun, Kampung Kampus, Kampung Tekstil).

Bahkan penamaan kampung-kampung tersebut (kampung tematik) atau karakteristik kekhasan dan kekuatan lokal mampu dioptimalkan fungsinya menjadi aset wisata untuk mendatangkan wisatawan. Jepang, misalnya, memiliki perencanaan ruang di bidang ekonomi dengan nama One Village One Product atau satu desa satu produk guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak hanya sektor perumahan, melainkan juga mencakup berbagai sektor.

Berdasarkan ilustrasi di atas, dapat dikatakan sebenarnya keberadaan kampung sangat berpotensi dikembangkan dan mampu menjadi sebuah wajah dan identitas kota. Mengutip pendapat Romo Mangun, kampung adalah ibunya kota dan hal itu benar adanya lantaran adanya hubungan antara tatanan kampung dan kesejahteraan penghuninya dengan masa depan kota tersebut.

Wajah kota yang dapat diinterpretasikan oleh keberadaan kampung menjadi mutlak untuk ditata dan berguna baik dari segi fisik, ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan kampung tersebut. Di sisi lain, karakteristik masyarakat kampung kota yang mengutamakan kegotongroyongan menjadi kelebihan tersendiri dalam mengupayakan peningkatan kualitas kampung kota.

Bahkan tingkat sosial masyarakat kampung kota dapat dikatakan lebih tinggi dibandingkan masyarakat perkotaan pada umumnya. Bahkan secara konseptual, budaya hidup saling gotong-royong di kampung selalu diposisikan sebagai modal sosial yang mampu berkontribusi untuk mengakselerasi tujuan-tujuan pembangunan kemasyarakatan. Sejauh ini, berbagai aktor pemangku kebijakan bidang perumahan telah berupaya memenuhi kebutuhan perumahan layak huni.

Berbagai pendekatan yang telah dilakukan dengan melihat keberhasilan dari negara- negara penggagas seakan menjadi penggairah stakeholders untuk diadopsi ke daerahdaerah Indonesia. Proses adopsi maupun adaptasi dari berbagai benchmark keberhasilan negara-negara lain sudah banyak dilakukan.

Hanya saja, implementasinya di lapangan kerap menemui halangan karena beberapa alasan seperti kondisi geografis, masyarakat penghuni kampung, kapasitas baik sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA), serta tataran birokrasi yang mampu memperlama pelaksanaan bahkan meniadakan perencanaan.

Dengan kata lain dapat disebutkan, perbedaan karakteristik antarnegara membuat upaya adopsi dan adaptasi keberhasilan negara-negara lain tidak secara given menghadirkan problem solving terhadap kompleksitas permasalahan perumahan tersebut. Sudah saatnya mengubah pola pikir yang saat ini mengacu pada program-program yang telah dilaksanakan negara-negara maju yang sarat dengan adidaya teknologi dan SDM dengan memanfaatkan potensi lokal.

Karena pada akhirnya mereplikasi program-program luar dianggap tidak begitu mampu memberikan hasil dalam penyelesaian permasalahan perumahan secara komprehensif. Salah satu alternatif yang dianggap mampu menjadi solusi inovatif adalah menggunakan pendekatan lokalitas.

Pendekatan ini mengupayakan pemanfaatan segala sumber daya lokal dengan tujuan meningkatkan kualitas yang tidak hanya pada sektor papan saja, tetapi meluas hingga ekonomi dan lingkungannya sehingga lebih ada kejelasan bentuk jaminan kesejahteraan bagi masyarakat. Pendekatan lokal yang pernah menjadi kekuatan bagi Indonesia dan merupakan salah satu program untuk direplikasi di negara lain seperti Kampoeng Improvement Program atau lebih dikenal dengan nama KIP.

Program unggulan ini awalnya hanya dilakukan di dua kota sebagai pilot project, yaitu Jakarta dan Surabaya. Program tersebut menggunakan pendekatan tribina yang meliputi bina manusia, usaha, dan lingkungan. Harmonisasi ketiga bina inilah yang menjadi kekuatan untuk memecahkan penanganan permukiman kumuh dan pemenuhan kebutuhan perumahan yang layak huni dengan diimbangi peningkatan ekonomi demi mewujudkan keberlanjutan kehidupan masyarakatnya.

Bahkan kesuksesan program KIP telah menginspirasi Thailand untuk mengadopsi program KIP dengan nama sendiri, yaitu Program Baan Mankong, oleh Community Organization Development Institute/CODI pada 2000. CODI merupakan organisasi otonom publik di bawah pengawasan Kementerian Pembangunan Sosial dengan tujuan mendukung dan memberdayakan organisasi masyarakat dan jaringan dalam meningkatkan taraf hidup, meningkatkan pendapatan, penyediaan perumahan, dan perbaikan lingkungan anggotanya.

Keberhasilan CODI dalam mereduksi berbagai problem perumahan di Thailand seperti reduksi hunian tidak layak dan permukiman kumuh dengan berbasis lokalitas menunjukkan akomodasi terhadap sumber daya lokal secara empiris mampu mengakselerasi pencapaian tujuan pembangunan. Pendekatan lokalitas yang melibatkan banyak aktor dan nilai-nilai lokal berpotensi melahirkan resistensi publik yang lebih kecil.

Sebaliknya justru akomodasi terhadap sumber daya lokal tersebut lebih memicu terbentuknya legitimasi kebijakan yang datang tidak hanya dari kelompok sasaran program, melainkan juga dari seluruh elemen yang terlibat dalam proses perumusan dan implementasi kebijakan perumahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar