Mengutuhkan
Pembangunan Maritim
Suhana ; Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika
IPB; Dosen Program Studi Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan IPB
|
SINAR
HARAPAN, 26 September 2014
Dalam sebulan terakhir, media massa banyak mendiskusikan istilah
maritim dan kelautan. Hal ini seiring visi pasangan presiden dan wakil
presiden (wapres) terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), untuk
menjadikan maritim sebagai kekuatan ekonomi Indonesia.
Bahkan dalam beberapa hari terakhir, Jokowi sudah memperkuat isunya
untuk membentuk Kementerian Maritim dan meleburkan kembali Kementerian
Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Pertanian.
Sebagian kalangan mungkin tidak terlalu memerdulikan istilah maritim
dan kelautan. Namun bagi penulis, kedua istilah ini sangat melekat dalam
perjalanan panjang pembangunan Indonesia.
Pembangunan maritim secara formal dalam institusi negara sudah
berlangsung sejak 1959, tepatnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor
45/1959 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Maritim Belanda.
Dalam PP tersebut ada delapan perusahan maritim Belanda yang
dinasionalisasikan, yaitu Nederland Indonesie Steenkolen Handel Maatschappij
(NISHM) Tanjung Priok, Verenigde Prauwen Veeren (VPV) Jakarta, Nederlands
Indonesische Scheepvaart Establisementen (n'ISE) Tanjung Priok, Droogdok
Maatschappij Tanjung Priok, Radio-Holland Tanjung Priok, Industrieele
Maatschappij Palembang (IMP), Palembang, Semarang Dock-Works, dan Droogdok
Maatschappij Surabaya. Kedelapan perusahaan maritim milik Belanda tersebut
bergerak di bidang usaha kapal dan angkutan perairan.
Pada masa Kabinet Dwikora periode 27 Agustus 1964 sampai 22 Februari
1966, pembangunan maritim diperkuat lagi dengan dibentuknya Kementerian
Perindustrian Maritim. Saat itu, jabatan menteri perindustrian maritim
dipegang oleh Mardanus.
Pada 1965, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 43/1965 tentang
Penyelenggaraan dan Pengawasan Perindustrian Maritim. Dalam PP 43/1965
dijelaskan, perindustrian maritim adalah perindustrian yang bergerak dalam
bidang pembuatan dan perbaikan kapal juga alat-alat terapung, pembuatan dan
perbaikan alat-alat penggerak dan semua perlengkapan kapal, serta pembuatan
bahan-bahan/barang-barang pembantu pelengkap untuk melaksanakan pembuatan dan
perbaikan kapal dan semua alat-alat terapung serta salvage. Definisi maritim
tersebut sejalan dengan makna yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) yang menyebutkan, maritim adalah yang berhubungan dengan pelayanan dan
perdagangan di laut.
Berdasarkan hal tersebut, jelas istilah maritim hanya menggambarkan
kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pelayaran laut, perkapalan, dan
kepelabuhanan. Sementara itu, sumber daya laut lainnya, seperti sumber daya
ikan, minyak dan gas, pariwisata bahari, belum termaktub dalam definisi
maritim.
Memasuki masa Orde Baru, perhatian pemerintah terhadap maritim menurun
drastis. Institusi-institusi negara yang telah dibentuk Presiden Soekarno
ditiadakan atau dileburkan dengan institusi-institusi lain.
Perhubungan laut dilebur kepada Departemen Perhubungan. Sumber daya
ikan bergabung dengan Departemen Pertanian. Sepanjang Orde Baru tersebut, isu
maritim mengalami penurunan yang sangat drastis. Akibatnya, pelayaran rakyat
terpuruk, sumber daya laut banyak dicuri asing, dan kerusakan sumber daya
kian mengkhawatirkan.
Memasuki masa Reformasi, Gus Dur mengingatkan kembali seluruh bangsa
Indonesia terkait isu maritim dengan membentuk Departemen Eksplorasi Laut,
sekarang Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun demikian, dalam era Gus
Dur terlihat ada pergeseran isu dari maritim ke isu kelautan.
Gus Dur memandang, laut memiliki sumber daya alam yang potensial untuk
dikembangkan sebagai kekuatan baru ekonomi nasional. Gus Dur memandang laut
tidak hanya berpotensi maritim saja—perhubungan laut, pelabuhan, dan
kapal—tetapi juga berpotensi sumber daya alam yang belum tergarap optimal.
Oleh sebab itu, istilah yang dipakai sejak Gus Dur sampai saat ini
adalah kelautan, bukan maritim. Hal ini dimaksudkan memayungi isu sumber daya
alam di perairan laut Indonesia. Ini supaya pembangunan laut bisa dilakukan
secara utuh, tidak hanya terfokus ke masalah maritim, seperti ketika zaman
Presiden Soekarno.
Berdasarkan perjalanan pembangunan maritim dan kelautan tersebut,
rencana kabinet Jokowi-JK yang akan membentuk Kementerian Maritim dan
menggabungkan kembali Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian
Pertanian terlihat kembali mengecilkan pembangunan kelautan nasional yang
sudah berjalan 15 tahun terakhir.
Jokowi-JK hendaknya terus memperkuat pembangunan kelautan yang sudah
berjalan saat ini. Oleh sebab itu, hendaknya rencana pembentukan Kementerian
Maritim agar dapat mendorong konektivitas antarwilayah di Indonesia dapat
kembali terwujud dengan baik.
Namun, hendaknya itu tidak mengecilkan kembali pembangunan kelautan
yang sudah berjalan. Jika memang pasangan Jokowi-JK memiliki perhatian serius
ke pembangunan kelautan, hendaknya memperkuat institusi-institusi di bidang
kelautan. Semua sektor yang terkait laut hendaknya terus diperkuat.
Penulis berpandangan, pembangunan kelautan akan semakin kuat apabila
semua sektor yang ada di laut dapat dikelola komprehensif , tanpa mengecilkan
sektor lain. Dengan demikian, penulis mengusulkan, Jokowi-JK, selain
membentuk Kementerian Maritim, hendaknya tetap mempertahankan keberadaan
Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ini terlebih karena kebutuhan ikan dalam
negeri dalam kurun 2015-2019 diperkirakan terus meningkat.
Publikasi Badan Pusat Statistik/BPS (2014) terkait proyeksi jumlah
penduduk indonesia memperlihatkan, pada 2019, penduduk Indonesia
diproyeksikan mencapai 268 juta orang. Dengan target pemerintah meningkatkan
konsumsi ikan per kapita sampai 40 kg, kebutuhan ikan pada 2019 diperkirakan
mencapai 10,72 juta ton.
Data FAO (2014) menunjukkan, komoditas ikan yang banyak dikonsumsi
masyarakat Indonesia adalah ikan pelagis (42,29 persen), ikan air tawar
(31,54 persen), ikan demersal (16,49 persen), udang (7,17 persen), ikan laut
lainnya (2,15 persen), dan moluska (0,36 persen).
Artinya, sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini lebih banyak
mengonsumsi ikan jenis pelagis kecil dan ikan hasil budi daya air tawar.
Berdasarkan hal tersebut dalam upaya pemenuhan kebutuhan ikan dalam negeri,
Jokowi-JK perlu mengedepankan strategi peningkatan produksi budi daya ikan
air tawar dan menjaga kestabilan produksi ikan pelagis kecil dari perairan
Indonesia.
Jokowi-JK juga perlu melihat sisi positif dari keberadaan Kementerian
Kelautan dan Perikanan dalam 15 tahun terakhir. Catatan penulis, dalam 15
tahun terakhir terlihat, pascaterbentuknya Kementerian Kelautan dan
Perikanan, peningkatan produksi perikanan Indonesia meningkat tajam.
Saat ini, pertumbuhan produksi perikanan budi daya rata-rata sudah
mencapai di atas 12 persen pe rtahun. Sementara itu, pada masa Orde Baru,
pertumbuhan produksi perikanan budi daya hanya 3 persen per tahun. Jokowi-JK
pun perlu melihat pengalaman Orde Baru yang telah menempatkan perikanan di
bawah Kementerian Pertanian yang terlihat tidak berkembang dengan baik.
Jadi, pasangan Jokowi-JK perlu tetap konsisten dengan isu maritim
sebagai kekuatan ekonomi nasional, dengan tidak mengecilkan bidang kelautan
lain. Sudah saatnya Indonesia bangkit dengan kekuatan ekonomi kelautan secara
utuh, yang memperkuat sektor maritim, perikanan, pertambangan minyak dan gas,
serta pariwisata bahari.
Tanpa keterpaduan antarsektor tersebut, pembangunan kelautan akan
pincang. Oleh sebab itu, tata kelola kelautan (ocean governance) yang ada saat ini perlu pembenahan agar lebih
baik dan kuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar