Minggu, 28 September 2014

Mengutuhkan Pembangunan Maritim

                        Mengutuhkan Pembangunan Maritim

Suhana  ;   Mahasiswa Program Doktor Ekonomi Sumber Daya Kelautan Tropika IPB; Dosen Program Studi Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan IPB
SINAR HARAPAN,  26 September 2014

                                                                                                                       


Dalam sebulan terakhir, media massa banyak mendiskusikan istilah maritim dan kelautan. Hal ini seiring visi pasangan presiden dan wakil presiden (wapres) terpilih, Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Jokowi-JK), untuk menjadikan maritim sebagai kekuatan ekonomi Indonesia.

Bahkan dalam beberapa hari terakhir, Jokowi sudah memperkuat isunya untuk membentuk Kementerian Maritim dan meleburkan kembali Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Pertanian.

Sebagian kalangan mungkin tidak terlalu memerdulikan istilah maritim dan kelautan. Namun bagi penulis, kedua istilah ini sangat melekat dalam perjalanan panjang pembangunan Indonesia.

Pembangunan maritim secara formal dalam institusi negara sudah berlangsung sejak 1959, tepatnya dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 45/1959 tentang Nasionalisasi Perusahaan-perusahaan Maritim Belanda.

Dalam PP tersebut ada delapan perusahan maritim Belanda yang dinasionalisasikan, yaitu Nederland Indonesie Steenkolen Handel Maatschappij (NISHM) Tanjung Priok, Verenigde Prauwen Veeren (VPV) Jakarta, Nederlands Indonesische Scheepvaart Establisementen (n'ISE) Tanjung Priok, Droogdok Maatschappij Tanjung Priok, Radio-Holland Tanjung Priok, Industrieele Maatschappij Palembang (IMP), Palembang, Semarang Dock-Works, dan Droogdok Maatschappij Surabaya. Kedelapan perusahaan maritim milik Belanda tersebut bergerak di bidang usaha kapal dan angkutan perairan.

Pada masa Kabinet Dwikora periode 27 Agustus 1964 sampai 22 Februari 1966, pembangunan maritim diperkuat lagi dengan dibentuknya Kementerian Perindustrian Maritim. Saat itu, jabatan menteri perindustrian maritim dipegang oleh Mardanus.

Pada 1965, pemerintah mengeluarkan PP Nomor 43/1965 tentang Penyelenggaraan dan Pengawasan Perindustrian Maritim. Dalam PP 43/1965 dijelaskan, perindustrian maritim adalah perindustrian yang bergerak dalam bidang pembuatan dan perbaikan kapal juga alat-alat terapung, pembuatan dan perbaikan alat-alat penggerak dan semua perlengkapan kapal, serta pembuatan bahan-bahan/barang-barang pembantu pelengkap untuk melaksanakan pembuatan dan perbaikan kapal dan semua alat-alat terapung serta salvage. Definisi maritim tersebut sejalan dengan makna yang ada dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang menyebutkan, maritim adalah yang berhubungan dengan pelayanan dan perdagangan di laut.

Berdasarkan hal tersebut, jelas istilah maritim hanya menggambarkan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pelayaran laut, perkapalan, dan kepelabuhanan. Sementara itu, sumber daya laut lainnya, seperti sumber daya ikan, minyak dan gas, pariwisata bahari, belum termaktub dalam definisi maritim.

Memasuki masa Orde Baru, perhatian pemerintah terhadap maritim menurun drastis. Institusi-institusi negara yang telah dibentuk Presiden Soekarno ditiadakan atau dileburkan dengan institusi-institusi lain.

Perhubungan laut dilebur kepada Departemen Perhubungan. Sumber daya ikan bergabung dengan Departemen Pertanian. Sepanjang Orde Baru tersebut, isu maritim mengalami penurunan yang sangat drastis. Akibatnya, pelayaran rakyat terpuruk, sumber daya laut banyak dicuri asing, dan kerusakan sumber daya kian mengkhawatirkan.

Memasuki masa Reformasi, Gus Dur mengingatkan kembali seluruh bangsa Indonesia terkait isu maritim dengan membentuk Departemen Eksplorasi Laut, sekarang Kementerian Kelautan dan Perikanan. Namun demikian, dalam era Gus Dur terlihat ada pergeseran isu dari maritim ke isu kelautan.

Gus Dur memandang, laut memiliki sumber daya alam yang potensial untuk dikembangkan sebagai kekuatan baru ekonomi nasional. Gus Dur memandang laut tidak hanya berpotensi maritim saja—perhubungan laut, pelabuhan, dan kapal—tetapi juga berpotensi sumber daya alam yang belum tergarap optimal.

Oleh sebab itu, istilah yang dipakai sejak Gus Dur sampai saat ini adalah kelautan, bukan maritim. Hal ini dimaksudkan memayungi isu sumber daya alam di perairan laut Indonesia. Ini supaya pembangunan laut bisa dilakukan secara utuh, tidak hanya terfokus ke masalah maritim, seperti ketika zaman Presiden Soekarno.

Berdasarkan perjalanan pembangunan maritim dan kelautan tersebut, rencana kabinet Jokowi-JK yang akan membentuk Kementerian Maritim dan menggabungkan kembali Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Pertanian terlihat kembali mengecilkan pembangunan kelautan nasional yang sudah berjalan 15 tahun terakhir.

Jokowi-JK hendaknya terus memperkuat pembangunan kelautan yang sudah berjalan saat ini. Oleh sebab itu, hendaknya rencana pembentukan Kementerian Maritim agar dapat mendorong konektivitas antarwilayah di Indonesia dapat kembali terwujud dengan baik.

Namun, hendaknya itu tidak mengecilkan kembali pembangunan kelautan yang sudah berjalan. Jika memang pasangan Jokowi-JK memiliki perhatian serius ke pembangunan kelautan, hendaknya memperkuat institusi-institusi di bidang kelautan. Semua sektor yang terkait laut hendaknya terus diperkuat.

Penulis berpandangan, pembangunan kelautan akan semakin kuat apabila semua sektor yang ada di laut dapat dikelola komprehensif , tanpa mengecilkan sektor lain. Dengan demikian, penulis mengusulkan, Jokowi-JK, selain membentuk Kementerian Maritim, hendaknya tetap mempertahankan keberadaan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ini terlebih karena kebutuhan ikan dalam negeri dalam kurun 2015-2019 diperkirakan terus meningkat.

Publikasi Badan Pusat Statistik/BPS (2014) terkait proyeksi jumlah penduduk indonesia memperlihatkan, pada 2019, penduduk Indonesia diproyeksikan mencapai 268 juta orang. Dengan target pemerintah meningkatkan konsumsi ikan per kapita sampai 40 kg, kebutuhan ikan pada 2019 diperkirakan mencapai 10,72 juta ton.

Data FAO (2014) menunjukkan, komoditas ikan yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia adalah ikan pelagis (42,29 persen), ikan air tawar (31,54 persen), ikan demersal (16,49 persen), udang (7,17 persen), ikan laut lainnya (2,15 persen), dan moluska (0,36 persen).

Artinya, sebagian besar masyarakat Indonesia saat ini lebih banyak mengonsumsi ikan jenis pelagis kecil dan ikan hasil budi daya air tawar. Berdasarkan hal tersebut dalam upaya pemenuhan kebutuhan ikan dalam negeri, Jokowi-JK perlu mengedepankan strategi peningkatan produksi budi daya ikan air tawar dan menjaga kestabilan produksi ikan pelagis kecil dari perairan Indonesia.

Jokowi-JK juga perlu melihat sisi positif dari keberadaan Kementerian Kelautan dan Perikanan dalam 15 tahun terakhir. Catatan penulis, dalam 15 tahun terakhir terlihat, pascaterbentuknya Kementerian Kelautan dan Perikanan, peningkatan produksi perikanan Indonesia meningkat tajam.

Saat ini, pertumbuhan produksi perikanan budi daya rata-rata sudah mencapai di atas 12 persen pe rtahun. Sementara itu, pada masa Orde Baru, pertumbuhan produksi perikanan budi daya hanya 3 persen per tahun. Jokowi-JK pun perlu melihat pengalaman Orde Baru yang telah menempatkan perikanan di bawah Kementerian Pertanian yang terlihat tidak berkembang dengan baik.

Jadi, pasangan Jokowi-JK perlu tetap konsisten dengan isu maritim sebagai kekuatan ekonomi nasional, dengan tidak mengecilkan bidang kelautan lain. Sudah saatnya Indonesia bangkit dengan kekuatan ekonomi kelautan secara utuh, yang memperkuat sektor maritim, perikanan, pertambangan minyak dan gas, serta pariwisata bahari.

Tanpa keterpaduan antarsektor tersebut, pembangunan kelautan akan pincang. Oleh sebab itu, tata kelola kelautan (ocean governance) yang ada saat ini perlu pembenahan agar lebih baik dan kuat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar