Ekonomi
Etnik di Tengah Kapitalisme
Laode Ida ; Wakil Ketua DPD periode 2004-2009; 2009-2014
|
SINAR
HARAPAN, 25 September 2014
Pembangunan ekonomi bangsa yang beridentitas dan berkeadilan sebenarnya
tak bisa dilepaskan dengan eksistensi ekonomi berbasis etnik. Apalagi, di
negara yang memiliki suku dan subkultur beragam seperti Indonesia.
Setiap kelompok etnik niscaya memiliki cara berbeda untuk
mempertahankan hidup (survival), termasuk di dalamnya untuk memperoleh
pendapatan dengan mengembangkan kebiasaan yang sudah dimiliki turun-temurun,
dan/atau mendefinisikan sumber-sumber ekonomi yang dianggap sebagai milik
komunitas mereka.
Cakupan ekonomi etnik sebenarnya gampang dipahami. Mohen M Mobasher
(2002) misalnya, menekankan pada dimensi kegiatan kewirausahaan yang berbasis
pada kebiasaan kelompok etnik (ethnic
based entrepreneurial activities).
Kelompok-kelompok etnik yang
bermigrasi ke kota-kota dengan membawa dan mengembangkan ciri khas kegiatan
usaha ekonominya sendiri-sendiri, juga dianggap sebagai bagian dari ekonomi
etnik itu.
Namun, ada tafsir lebih luas yang terkait dengan itu, yakni basis-basis
ekonomi yang dimiliki kelompok etnik, sekaligus sumber daya ekonomi yang
ditafsirkan sebagai berada di bawah kendali etnik (Ivan H Light, 2011).
Berdasarkan perenungan atas konsepsi seperti itu, saya mencoba membagi
tiga kategori ekonomi etnik yang eksis di Indonesia. Pertama, kegiatan
ekonomi suku-suku penghuni awal (asli) dari suatu daerah, yang secara
turun-temurun dimiliki dan/atau diwariskan dari generasi ke generasi.
Kegiatan usaha di bidang pertanian dan perikanan yang dilakukan
subsisten, termasuk di dalamnya kebiasaan berburu binatang untuk keperluan
dikonsumsi secara terbatas, atau kemudian diperjualbelikan sebagai sumber
pendapatan keluarga.
Dalam konteks ini, sektor pertanian dan perikanan sebenarnya merupakan
bagian komponen dasar dari ekonomi etnik, sekaligus sebagai bagian yang
paling fundamental penyuplai kebutuhan dasar untuk hidup masyarakat manusia.
Petani dan nelayan atau masyarakat pedesaan, dengan demikian, merupakan
komponen dasar bangsa ini yang berkontribusi besar dalam menjamin survival
keseluruhan masyarakat bangsa ini—karena pada dasarnya kita semua memiliki
ketergantungan mutlak dari mereka.
Dalam kaitan itulah, negara memiliki kewajiban membangun dan
mengembangkannya, termasuk memproteksi hak-hak budaya dan lingkungan mereka.
Pemberdayaan petani dan nelayan, dengan berbagai kebijakan dan strategi
pendekatannya—termasuk di dalamnya pemberian subsidi tepat sasaran untuk
peningkatan kesejahteraan dan kebetahan mempertahankan mata pencarian
mereka—adalah agenda fundamental negara yang tak boleh diabaikan.
Kedua, produk (kreasi) budaya. Kerajinan tangan yang dikembangkan
orang-orang dari suatu kelompok etnik, merupakan bagian dari kreasi budaya
sebagai wujud dari kewirausahaan yang beridentitas khusus, sekaligus bisa
merupakan sumber nafkah keluarga. Indonesia sangat kaya dengan ragam kreasi
budaya etnik, termasuk di dalamnya berupa ekspresi seni (musik, tari-tarian,
dan sejenisnya).
Jika etnik di Indonesia lebih dari 500 kelompok dengan variasi
subkultur masing-masing, dan masing-masing individu di dalamnya memiliki
imajinasi sendiri-sendiri yang kemudian diekspresikan dalam wujud benda dan
seni, kita bisa bayangkan sebenarnya begitu kayanya fondasi ekonomi lokal
beridentitas etnik di bangsa ini.
Misalnya noken yang merupakan “keranjang budaya” dari sebagian
komunitas Papua yang kemudian digunakan sebagai instrumen berdemokrasi dalam
pemilihan pemimpin dan wakil rakyat, kini telah memperoleh pengakuan dari
salah satu badan PBB (UNESCO).
Batik dan berbagai jenis tenunan lokal di Indonesia sudah terlebih
dahulu dikenal, bahkan jadi bagian sumber penghidupan utama dari para warga
bangsa yang menekuni atau memproduksinya. Demikian juga berbagai peninggalan
sejarah budaya yang selalu ada di setiap daerah, merupakan potensi ekonomi
etnik yang begitu sangat kayanya.
Ketiga, sumber daya alam yang ada di alam lingkup wilayah komunitas
etnik. Masyarakat etnik di bangsa ini, yang memang menghuni daerah atau
wilayahnya secara turun-temurun, seyogianya selalu diposisikan sebagai
pemilik otentik sumber daya alam yang ada di sekitarnya.
Sejarah sosial dan budaya setiap komunitas etnik lokal itu tak bisa
dilepaskan dengan lingkungannya, kendati cara-cara pemanfaatannya tentu saja
berubah dari waktu ke waktu. Mereka pun memiliki cara-cara spesifik yang arif
dalam mempertahankan keberlanjutan lingkungan untuk masa depan generasinya.
Kerusakan hutan misalnya, banyak pihak yang cenderung menuduh sebagai
akibat dari perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat di sekitarnya.
Padahal, kenyataannya para pemilik modal besar (kapitalis) dengan dasar legal
berupa lisensi atau konsesi dari pemerintah, yang berkontribusi besar
melakukan degradasi hutan dan lingkungan.
Lihat saja perusahaan-perusahaan perkebunan dan/atau pertambangan yang
begitu dahsyat daya rusaknya, dibanding para petani tradisional yang hanya
mencari nafkah secara subsisten. Sejumlah penelitian antropologi yang
dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia juga telah mengonfirmasi konstatasi
ini.
Dalam konteks ini, jika pola hubungan masyarakat sekitar dan
lingkungannya tetap dipertahankan secara tradisional, sebenarnya akan sangat
sedikit kerusakan hutan dan lingkungan. Atau jika diolah dengan melibatkan
pemilik modal besar, sebenarnya semakin kaya sumber daya alam suatu daerah,
harusnya berjalan beriringan dengan derajat kesejahteraan para penghuni
sebagai pemilik yang sesungguhnya itu.
Atau sebaliknya, jika sumber daya alam itu tetap dipertahankan untuk
tidak diolah dulu, statusnya boleh sebagai tabungan masa depan untuk generasi
penerus. Inilah yang disebut dengan natural capital (modal sumber daya alam)
yang seyogianya ada kepastian sebagai milik mutlak masyarakat etnik lokal.
Problemnya kemudian, kebijakan dan pola pengelolaan modal ekonomi etnik
itu bukan sekadar tak memperoleh perhatian yang serius dari negara, melainkan
justru cenderung telah secara sistematis menyingkirkan posisi dan hak etnik
untuk mengontrol modal sumber daya alam itu.
Sekali lagi, posisi komunitas etnik terkait dengan modal ekonominya itu
terasa sangat lemah ketika berhadapan dengan kekuatan modal yang ditopang
oleh kebijakan negara.
Kecenderungan seperti itu, bila terus dibiarkan berlangsung, suatu
ketika di masa datang komunitas etnik yang menjadi bangsa penghuni awal di setiap
daerah di Nusantara ini akan kehilangan hak kendali dan daulat atas milik
yang melekat dengan lingkungan tempat tinggal mereka.
Kembali pada ekonomi etnik sebagai wujud kreasi budaya etnik seperti
yang dijelaskan pada poin kedua di atas. Disadari atau tidak, komponen
ekonomi etnik ini juga telah mengalami proses peminggiran, atau setidaknya
pihak negara tidak memberi sentuhan yang sama antara suatu “karya etnik”
dengan “karya etnik” lainnya.
Pada saat yang sama, ketika pemerintah menekankan pada program “ekonomi
kreatif” yang ditangani suatu kementerian, bukan mustahil akan lebih
diarahkan pada kreasi manusia dengan penggunaan teknologi yang tinggi (high-tech).
Wujudnya berupa antara lain kerasi musik modern, film (termasuk
sinetron), berbagai kreasi animasi, dan sejenisnya. Tentu hal ini tidak
salah, namun dominasi pada pengembangan program-program yang high-tech ini lama kelamaan akan
menyingkirkan eksistensi ekonomi etnik warisan budaya bangsa, termasuk di
dalamnya akan terus berangsur hilangnya kreasi musik-musik karya budaya etnik
asli bangsa ini.
Apalagi, jika industri ekonomi kreatif modern itu akan ditopang
kekuatan modal besar dengan berbagai promosinya, proses peminggiran terhadap
karya etnik warisan itu akan sulit terelakkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar