Minggu, 28 September 2014

Ekonomi Etnik di Tengah Kapitalisme

                       Ekonomi Etnik di Tengah Kapitalisme

Laode Ida  ;   Wakil Ketua DPD periode 2004-2009; 2009-2014
SINAR HARAPAN,  25 September 2014

                                                                                                                       


Pembangunan ekonomi bangsa yang beridentitas dan berkeadilan sebenarnya tak bisa dilepaskan dengan eksistensi ekonomi berbasis etnik. Apalagi, di negara yang memiliki suku dan subkultur beragam seperti Indonesia.

Setiap kelompok etnik niscaya memiliki cara berbeda untuk mempertahankan hidup (survival), termasuk di dalamnya untuk memperoleh pendapatan dengan mengembangkan kebiasaan yang sudah dimiliki turun-temurun, dan/atau mendefinisikan sumber-sumber ekonomi yang dianggap sebagai milik komunitas mereka.

Cakupan ekonomi etnik sebenarnya gampang dipahami. Mohen M Mobasher (2002) misalnya, menekankan pada dimensi kegiatan kewirausahaan yang berbasis pada kebiasaan kelompok etnik (ethnic based entrepreneurial activities).

 Kelompok-kelompok etnik yang bermigrasi ke kota-kota dengan membawa dan mengembangkan ciri khas kegiatan usaha ekonominya sendiri-sendiri, juga dianggap sebagai bagian dari ekonomi etnik itu.

Namun, ada tafsir lebih luas yang terkait dengan itu, yakni basis-basis ekonomi yang dimiliki kelompok etnik, sekaligus sumber daya ekonomi yang ditafsirkan sebagai berada di bawah kendali etnik (Ivan H Light, 2011).

Berdasarkan perenungan atas konsepsi seperti itu, saya mencoba membagi tiga kategori ekonomi etnik yang eksis di Indonesia. Pertama, kegiatan ekonomi suku-suku penghuni awal (asli) dari suatu daerah, yang secara turun-temurun dimiliki dan/atau diwariskan dari generasi ke generasi.

Kegiatan usaha di bidang pertanian dan perikanan yang dilakukan subsisten, termasuk di dalamnya kebiasaan berburu binatang untuk keperluan dikonsumsi secara terbatas, atau kemudian diperjualbelikan sebagai sumber pendapatan keluarga.

Dalam konteks ini, sektor pertanian dan perikanan sebenarnya merupakan bagian komponen dasar dari ekonomi etnik, sekaligus sebagai bagian yang paling fundamental penyuplai kebutuhan dasar untuk hidup masyarakat manusia.

Petani dan nelayan atau masyarakat pedesaan, dengan demikian, merupakan komponen dasar bangsa ini yang berkontribusi besar dalam menjamin survival keseluruhan masyarakat bangsa ini—karena pada dasarnya kita semua memiliki ketergantungan mutlak dari mereka.

Dalam kaitan itulah, negara memiliki kewajiban membangun dan mengembangkannya, termasuk memproteksi hak-hak budaya dan lingkungan mereka.

Pemberdayaan petani dan nelayan, dengan berbagai kebijakan dan strategi pendekatannya—termasuk di dalamnya pemberian subsidi tepat sasaran untuk peningkatan kesejahteraan dan kebetahan mempertahankan mata pencarian mereka—adalah agenda fundamental negara yang tak boleh diabaikan.

Kedua, produk (kreasi) budaya. Kerajinan tangan yang dikembangkan orang-orang dari suatu kelompok etnik, merupakan bagian dari kreasi budaya sebagai wujud dari kewirausahaan yang beridentitas khusus, sekaligus bisa merupakan sumber nafkah keluarga. Indonesia sangat kaya dengan ragam kreasi budaya etnik, termasuk di dalamnya berupa ekspresi seni (musik, tari-tarian, dan sejenisnya).

Jika etnik di Indonesia lebih dari 500 kelompok dengan variasi subkultur masing-masing, dan masing-masing individu di dalamnya memiliki imajinasi sendiri-sendiri yang kemudian diekspresikan dalam wujud benda dan seni, kita bisa bayangkan sebenarnya begitu kayanya fondasi ekonomi lokal beridentitas etnik di bangsa ini.

Misalnya noken yang merupakan “keranjang budaya” dari sebagian komunitas Papua yang kemudian digunakan sebagai instrumen berdemokrasi dalam pemilihan pemimpin dan wakil rakyat, kini telah memperoleh pengakuan dari salah satu badan PBB (UNESCO).

Batik dan berbagai jenis tenunan lokal di Indonesia sudah terlebih dahulu dikenal, bahkan jadi bagian sumber penghidupan utama dari para warga bangsa yang menekuni atau memproduksinya. Demikian juga berbagai peninggalan sejarah budaya yang selalu ada di setiap daerah, merupakan potensi ekonomi etnik yang begitu sangat kayanya.

Ketiga, sumber daya alam yang ada di alam lingkup wilayah komunitas etnik. Masyarakat etnik di bangsa ini, yang memang menghuni daerah atau wilayahnya secara turun-temurun, seyogianya selalu diposisikan sebagai pemilik otentik sumber daya alam yang ada di sekitarnya.

Sejarah sosial dan budaya setiap komunitas etnik lokal itu tak bisa dilepaskan dengan lingkungannya, kendati cara-cara pemanfaatannya tentu saja berubah dari waktu ke waktu. Mereka pun memiliki cara-cara spesifik yang arif dalam mempertahankan keberlanjutan lingkungan untuk masa depan generasinya.

Kerusakan hutan misalnya, banyak pihak yang cenderung menuduh sebagai akibat dari perladangan berpindah yang dilakukan masyarakat di sekitarnya. Padahal, kenyataannya para pemilik modal besar (kapitalis) dengan dasar legal berupa lisensi atau konsesi dari pemerintah, yang berkontribusi besar melakukan degradasi hutan dan lingkungan.

Lihat saja perusahaan-perusahaan perkebunan dan/atau pertambangan yang begitu dahsyat daya rusaknya, dibanding para petani tradisional yang hanya mencari nafkah secara subsisten. Sejumlah penelitian antropologi yang dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia juga telah mengonfirmasi konstatasi ini.

Dalam konteks ini, jika pola hubungan masyarakat sekitar dan lingkungannya tetap dipertahankan secara tradisional, sebenarnya akan sangat sedikit kerusakan hutan dan lingkungan. Atau jika diolah dengan melibatkan pemilik modal besar, sebenarnya semakin kaya sumber daya alam suatu daerah, harusnya berjalan beriringan dengan derajat kesejahteraan para penghuni sebagai pemilik yang sesungguhnya itu.

Atau sebaliknya, jika sumber daya alam itu tetap dipertahankan untuk tidak diolah dulu, statusnya boleh sebagai tabungan masa depan untuk generasi penerus. Inilah yang disebut dengan natural capital (modal sumber daya alam) yang seyogianya ada kepastian sebagai milik mutlak masyarakat etnik lokal.

Problemnya kemudian, kebijakan dan pola pengelolaan modal ekonomi etnik itu bukan sekadar tak memperoleh perhatian yang serius dari negara, melainkan justru cenderung telah secara sistematis menyingkirkan posisi dan hak etnik untuk mengontrol modal sumber daya alam itu.

Sekali lagi, posisi komunitas etnik terkait dengan modal ekonominya itu terasa sangat lemah ketika berhadapan dengan kekuatan modal yang ditopang oleh kebijakan negara.

Kecenderungan seperti itu, bila terus dibiarkan berlangsung, suatu ketika di masa datang komunitas etnik yang menjadi bangsa penghuni awal di setiap daerah di Nusantara ini akan kehilangan hak kendali dan daulat atas milik yang melekat dengan lingkungan tempat tinggal mereka.

Kembali pada ekonomi etnik sebagai wujud kreasi budaya etnik seperti yang dijelaskan pada poin kedua di atas. Disadari atau tidak, komponen ekonomi etnik ini juga telah mengalami proses peminggiran, atau setidaknya pihak negara tidak memberi sentuhan yang sama antara suatu “karya etnik” dengan “karya etnik” lainnya.

Pada saat yang sama, ketika pemerintah menekankan pada program “ekonomi kreatif” yang ditangani suatu kementerian, bukan mustahil akan lebih diarahkan pada kreasi manusia dengan penggunaan teknologi yang tinggi (high-tech).

Wujudnya berupa antara lain kerasi musik modern, film (termasuk sinetron), berbagai kreasi animasi, dan sejenisnya. Tentu hal ini tidak salah, namun dominasi pada pengembangan program-program yang high-tech ini lama kelamaan akan menyingkirkan eksistensi ekonomi etnik warisan budaya bangsa, termasuk di dalamnya akan terus berangsur hilangnya kreasi musik-musik karya budaya etnik asli bangsa ini.

Apalagi, jika industri ekonomi kreatif modern itu akan ditopang kekuatan modal besar dengan berbagai promosinya, proses peminggiran terhadap karya etnik warisan itu akan sulit terelakkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar