Pertumbuhan
Dua Digit
Gustav Papanek ; Profesor Emeritus Bidang Ekonomi, Universitas Boston, AS
|
KOMPAS,
30 September 2014
Pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla punya dua pilihan skenario
kebijakan ekonomi. Pertama, skenario ”bisnis seperti biasa” dengan sekadar
melanjutkan kebijakan ekonomi yang ada saat ini. Kedua, memilih skenario
merebut peluang meraih mimpi pertumbuhan dua digit.
Skenario pertama hanya memberi peluang penciptaan kurang dari 1 juta
lapangan kerja baru per tahun. Pilihan ini kemungkinan juga hanya
menghadirkan pertumbuhan pendapatan nasional 5 persen, bahkan kurang, per
tahun. Padahal, dua juta angkatan kerja baru tumbuh setiap tahun di
Indonesia. Artinya, dengan skenario ini, 1 juta lebih tenaga kerja baru hanya
bisa bekerja di lapangan kerja tidak layak,
dengan produktivitas rendah, bahkan cenderung sebagai pengangguran.
Skenario kedua berbeda. Lewat skenario ini, Indonesia berpeluang
menciptakan 4 juta lapangan kerja berkualitas setiap tahun. Pertumbuhan
ekonomi akan mencapai 10 persen pada 2019, dan 10 juta keluarga miskin akan
beralih status sebagai kelas menengah. Pilihan kedua ini merupakan peluang
yang hanya ada sekali dalam seabad. Peluang ini hadir tidak terlepas dari
situasi ekonomi di Tiongkok. Negara yang telah mendominasi pasar manufaktur
dunia dalam beberapa dekade terakhir itu kini daya saingnya kian merosot.
Lima tahun ke depan, negara-negara lain—sebagian besar Asia—akan mengambil
pangsa pasar ekspor manufaktur Tiongkok.
Strategi
merebut peluang
Dalam buku Pilihan Ekonomi yang Dihadapi Presiden Baru, Dr Raden
Pardede, Profesor Suahasil Nazara, dan saya mencoba menggambarkan secara
detail kebijakan-kebijakan yang diperlukan untuk membawa ekonomi negeri ini
menuju pertumbuhan dan produktivitas yang tinggi. Buku ini dipublikasikan
oleh Pusat Transformasi Kebijakan Publik dan secara bebas dapat dibaca
melalui www.transformasi.org.
Dalam buku itu, kami mengalkulasi, ekspor manufaktur Indonesia akan meningkat
sekitar 110 miliar dollar AS jika negara ini dapat mengambil 7 persen saja
pangsa pasar manufaktur padat karya Tiongkok hingga lima tahun ke depan.
Bertumbuhnya ekspor dan industri pengganti impor, yang dikombinasikan dengan
meningkatnya permintaan domestik, akan menciptakan 21 juta lapangan kerja yang layak dan produktif
seiring berakhirnya masa jabatan presiden pada 2019. Hal itu berimbas pada
meningkatnya ketersediaan lapangan kerja untuk warga berpendidikan rendah dan
peningkatan penghasilan penduduk miskin.
Berita baik untuk Indonesia: kondisi para kompetitor pun tak sempurna.
Mereka punya keuntungan dalam beberapa hal, tetapi bermasalah dalam hal-hal
lain. Indonesia tidak harus memangkas seluruh biaya yang ada untuk
meningkatkan daya saingnya. Karena itu, pengambil kebijakan negeri ini dapat
fokus pada upaya penyesuaian biaya-biaya tertentu saja yang memberikan
keuntungan terbesar.
Sebagai contoh, biaya logistik Indonesia tergolong tinggi karena
tertundanya perbaikan infrastruktur utama. Karena itu, pemerintah mestinya
fokus pada upaya perbaikan jalan dan pelabuhan serta menyediakan pasokan
listrik memadai guna meningkatkan daya saing.
Terkait dengan upaya penyediaan infrastruktur yang baik, peningkatan
investasi publik untuk pembangunan infrastruktur nasional sangat diperlukan.
Salah satu upaya penting agar dana publik tersedia secara cukup untuk saat
ini adalah keputusan yang tegas dan berani guna memangkas subsidi bahan bakar
minyak (BBM).
Reformasi perpajakan menjadi langkah penting berikutnya untuk
meningkatkan penerimaan negara. Investasi publik diprioritaskan ke
daerah-daerah yang sukses menarik minat investasi baru di sektor manufaktur
sehingga dapat menghasilkan keuntungan yang cepat dan besar, yang kemudian
dapat digunakan untuk membangun infrastruktur di daerah-daerah lain.
Kebutuhan akan infrastruktur sangat besar. Pemerintah tidak mungkin
memenuhi semua kebutuhan tersebut. Keterlibatan modal dan keahlian swasta pun
sangat diperlukan. Sistem bagi hasil dengan sektor swasta, seperti dalam
industri minyak, dapat diaplikasikan dalam pembangunan dan operasional
sejumlah infrastruktur publik.
Rekomendasi lain, termasuk menawarkan kepada perusahaan swasta peluang
membangun infrastruktur dengan kompensasi keringanan pajak. Mengonversi BBM
kendaraan komersial ke gas alam guna mengurangi biaya transportasi juga
sangat penting.
Manufaktur
padat karya
Indonesia juga harus mengurangi ongkos tenaga kerja agar perusahaan
dapat berkompetisi dalam pasar dunia untuk kemudian meningkatkan penghasilan
tenaga kerja. Devaluasi nilai tukar mata uang merupakan cara ampuh mengurangi
biaya tenaga kerja dan biaya domestik lainnya bagi para eksportir. Inflasi
yang muncul akibat devaluasi dapat diatasi dengan menstabilkan harga makanan
pokok untuk 40 persen penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
Kami juga merekomendasikan sebuah program yang menjamin lapangan kerja
dan penghasilan untuk tenaga kerja di sektor pertanian selama musim paceklik
atau saat bencana alam. Program tersebut tak hanya memberikan lapangan kerja,
tetapi juga secara efisien dapat memberi keuntungan kembali bagi daerah
berupa terbangunnya infrastruktur serta memberi kontribusi signifikan untuk
jaring pengaman sosial.
Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih
banyak dipengaruhi ledakan harga komoditas di pasar global, terutama sumber
daya alam. Hal yang sama akan sulit terulang. Karena itu, jika Indonesia
tidak mendongkrak daya saingnya dalam pengembangan industri manufaktur
berbasis padat karya, pendapatan ekspor akan tersendat, permintaan domestik
akan melemah karena lambannya pertumbuhan.
Memperkuat daya saing di pasar manufaktur dunia menjadi pilihan terbaik
bagi pemerintah baru ke depan untuk meraih pertumbuhan dua digit. Langkah
tersebut memerlukan kerja sama yang erat antara pemerintah, pelaku bisnis,
dan gerakan buruh. Dengan cara itu, era baru tak mustahil dihadirkan, yaitu
era kesejahteraan bersama.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar