Media
dan “Revolusi Mental”
Hendrata Yudha ; Pengurus Pusat IJTI
Fellowship Eka Tjipta Foundation di Pascasarjana Univ. MercuBuana
|
OKEZONENEWS,
27 September 2014
ADA satu istilah baru yang menarik dalam konstelasi politik belakangan
ini, yakni Revolusi Mental. Konsep yang digagas presiden terpilih Jokowi ini,
masih berupa ide besar yang belum dijelaskan aplikasinya.
Agar tidak terjebak menjadi jargon politik semata. Sebaiknya media bisa
berperan memperjelas konsep tersebut lebih detail kemasyarakat dan mendorong
proses revolusi mental itu dengan pengertian yang aplikatif.
Dalam persoalan ini, saya pikir bahwa media massa, terutama televisi
bisa menjadikan konsep itu sebagai trigger untuk turut memperjelas ide dengan
pemahaman yang lebih jelas. Ini bukan soal dukungan politik kepada presiden
terpilih, tapi bagi saya soal momentum memanfaatkan euphoria partisi
pasiaktif-masyarakat dalam berbagai kegiatan publik.
Stasiun Televisi sebagai mana juga masyarakat lainnya, tentu punya hak
dan tanggung jawab yang sama untuk baru-membahu membantu pemerintahan kearah yang lebih baik. Fungsi tradisional jurnalistik media
massa yang selama ini sebagai watchdog, saya rasa bisa diperluas untuk fungsi
memberdayakan (empowerment)
masyarakat.
Pakar kepedulian sosial dari Inggris Steven M Shardlow menyimpulkan
bahwa pemberdayaan menyangkut permasalahan bagaimana individu, kelompok
ataupun masyarakat berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan
mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.
Pemberdayaan pada dasarnya adalah memberikan kekuatan kepada pihak yang
kurang atau tidak berdaya (powerless)
agar dapat memilliki kekuatan yang menjadi modal dasar aktualisasi diri.
Aktualisasi diri merupakan salah satu kebutuhan mendasar manusia.
Pemberdayaan yang dimaksud tidak hanya mengarah pada individu semata, tapi
juga kolektif.
Media televisi dengan kekuatan efeknya yang mampu memparuhi agenda
masyarakat, dapat memulainya dengan membuat iklan layanan masyarakat
selanjutnya disebut ILM.
ILM, dijadikan proses untuk memperdayakan peran serta masyarakat
me-Revolusi Mental dengan berbagai bentuk variasinya.
Salah satu teori efek media yang mengasumsikan bahwa media memiliki
kekuatan besar untuk membentuk pikiran orang atau publik. Apa yang dipikirkan
media sama dengan apa yang dipikirkan publik. Ketika media massa melayani
publik dengan menyiarkan ILM secara positif dengan frekuensi dan intensitas
yang tinggi, maka publik akan terpengaruh secara positif pula.
Sandaran hukum untuk mengeksekusi ILM itu, sudah ada dalam UU Penyiaran
UU No 32 tahun 2002, pasal 46 yang
secara jelas menyebutkan bahwa lembaga penyiaran wajib menayangkan iklan
layanan masyarakat bahkan hingga 10 persen dari jam tayang iklan komersial.
Berdasarkan perintah UU itu, seharusnya tidak ada alasan bagi pengelola
stasiun televisi untuk melaksanakan tugas sosial mendidik masyarakat.
Jangan lupa pula, televisi yang bersiaran dengan menggunakan frekuensi
milik public punya kewajiban untuk “mengembalikan” hak itu dengan memberikan
pencerahan kepada publiknya.
Jika mengambil rancangan Revolusi Mental Jokowi-JK, maka jika
dikategorikan akan menjadi tiga bagian besar yang bisa dijadikan tema ILM
yakni, Pertama, Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, Pendidikan Berbudi
Pekerti Luhur, Pendidikan Demokrasi dan Sadar Hukum.
Dari tiga kategori di atas itu, bisa di elaborasilagi menjadi
tema-teman spesifik yang terjadi sehari-hari untuk ILM, salah satunya
mengedukasi perilaku berkendara di jalan raya. Setiap hari kita sudah sampai
pada tahap sebal dan kesal menjumpai perilaku tidak disiplin di jalan raya,
menerobos lampu merah, melawan arah, ugal-ugalan, berhenti di sembarang
tempat, hingga mengebut di jalan yang bisa membahayakan jiwa orang lain. Liputan soal perilaku negative itu sudah
sering kali dijadikan materi berita, namun karena tidak diperkuat oleh
partisipasi public dan contoh yang baik maka bahan berita itu menjadi jenuh
dan dianggap biasa, sehingga tidak menarik lagi.
ILM juga bisa diproduksi dengan menggunakan budjet
Coorporate Social Responsibility
(CSR), yang menjadikan konsep ILM juga “seksi” bagi kepentingan citra
perusahaan.
Partisipasi sangat tinggi masyarakat Korea Selatan yang terdorong
mensukseskan perhelatan Asian Games, antara lain dengan membersihkan sampah
secara swadaya, bersikap santun kepada semua peserta dan bersika
pringantangan membantu atlet-atlet luar negri yang kesasar di Incheon,
disebutkan karena peran ILM media massa yang terstruktur, sistematis dan
massif. Berbagai ILM dibuat oleh media massa, menyampaikan pesan betapa
pentingnya Asian Games bagi kebanggaan dan kesuksesan semua rakyat Korea
Selatan.
Bagisaya, ILM sangat penting untuk membangun civic education dan tata
krama yang selama ini sudah tergerus oleh budaya instan.Keberhasilan
memberikan dorongan edukasi nilai-nilai moral, sosial dan kebijakan pro
public yang baik, perlahan-lahan akan menjadikan masyarakatnya lebih
berbudaya dan bermartabat, adalah bentuk Revolusi Mental yang
ditunggu-tunggu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar