Pembebasan
Bersyarat : Keliru Asal, Meleset Tujuan
Reza Indragiri Amriel ; Pakar
Psikologi Forensik, Alumnus The University of Melbourne , Anggota World
Society of Victimology
|
KORAN
SINDO, 29 September 2014
Kekesalan naik ke ubun-ubun saban kali menyimak warta tentang betapa
ringannya ganjaran hukum bagi pelaku korupsi. Yang mutakhir adalah pembebasan
bersyarat bagi sejumlah koruptor, walau telah melakukan kejahatan dahsyat,
hanya “diinapkan” untuk periode waktu singkat di dalam penjara. Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia punya pembelaan diri atas kebijakan tersebut.
Menurut seorang pejabat teras di kementerian itu, pembebasan bersyarat diatur
dalam UU No 12/1995 tentang Permasyarakatan.
Ia menambahkan, pembebasan bersyarat hendaknya dilihat sebagai langkah
penegakan hukum sekaligus untuk menciptakan kepastian hukum. Kendati bisa
diterima nalar, pernyataan sedemikian rupa mengindikasikan bobot filosofis
penghukuman yang dianut rezim Kemenkumham saat ini. Perspektif kriminologi
masih kental mewarnai corak berpikir kementerian atau setidaknya pejabat
tersebut yang ditandai oleh dominannya pertimbangan terhadap kondisi dan hak
pelaku kejahatan.
Tilikan viktimologi masih dangkal, empati terhadap korban pun demikian,
sebagaimana tampak pada nihilnya pernyataan berisikan kepedulian terhadap
para korban (masyarakat Indonesia!) yang telah digagahi para penjahat
korupsi. Secara umum dikenal lima jenis doktrin atau filosofi penghukuman
yang mendasari pemberian perlakuan terhadap para pelaku kejahatan. Mari kita
cermati satu per satu untuk menakar jika ada filosofi di balik pembebasan
bersyarat bagi para narapidana korupsi.
Apakah filosofi restorasi? Tentu tidak tepat menyikapi kasus dan pelaku
korupsi dengan filosofi tersebut. Pembebasan bersyarat baru dapat dipandang
sebagai perlakuan dengan latar filosofi restorasi apabila kelak pelaku
berkesempatan berhadap-hadapan secara langsung dengan korbannya. Dengan
pertemuan sedemikian rupa, tata kehidupan personal dan sosial yang sudah kadung
dirusak koruptor dapat dibenahi kembali.
Di situ pelaku mengutarakan penyesalan dan permintaan maaf, sementara
korban boleh memberikan pemaafan dan menuntut ganti rugi langsung dari
pelaku. Kondisi semacam itu tidak berlaku dalam kejahatan korupsi. Korupsi
adalah kejahatan luar biasa, bukan serangan terhadap orang per orang atau
kelompok per kelompok. Korupsi merupakan kejahatan besar yang mengoyak
seluruh dimensi kehidupan suatu bangsa.
Mungkinkah pembebasan bersyarat dilakukan dengan rehabilitasi sebagai
basis filosofisnya? Pun tidak bisa diterima. Faktanya, selain mengirim para
narapidana korupsi ke penjara khusus koruptor (misal: Sukamiskin),
pemenjaraan tidak disertai dengan program-program yang bersifat
merehabilitasi. Dengan kata lain, di dalam penjara penjahat korupsi
memperoleh perlakuan yang tidak berbeda dengan penjahatpenjahat selain tindak
korupsi.
Penjara khusus bagi narapidana korupsi tak pelak seperti menjadi hotel
prodeo bintang empat karena para penghuninya tidak dicampur dengan pelaku
kriminalitas jenis lain. Penghukuman dengan doktrin rehabilitasi
diselenggarakan sebagai suatu program yang menyasar kebutuhan kriminogenik (criminogenic needs) di balik perilaku
jahat. Jika kebutuhan itu berhasil dikelola secara positif yakni melalui program
rehabilitasi, diasumsikan bahwa individu tidak akan lagi mengulangi perilaku
jahatnya.
Sebaliknya, apabila dorongan-dorongan untuk berbuat korupsi ternyata
tidak dimodifikasi selama pelaku berada di balik jeruji besi dan itu berarti
bahwa penjara telah gagal difungsikan sebagai lingkungan untuk proses belajar
ulang, dipastikan bahwa pelaku akan melakukan perbuatan korupsinya setelah
mengakhiri masa pemenjaraan. Kalau bukan restorasi dan rehabilitasi, seberapa
mungkin pembebasan bersyarat ditegakkan di atas filosofi pembatasan kapasitas
(incapacitation) pelaku?
Para pengusung penghukuman dengan filosofi ini memandang bahwa pelaku
kriminalitas harus dibatasi mobilitasnya. Aksesnya terhadap sumber daya
kejahatan juga harus ditutup. Pemenjaraan menjadi pilihan jenis hukuman.
Filosofi ini tak mengena untuk kejahatan jenis korupsi. Apa pasal? Mobilitas
dan kapasitas fisik bukan unsur vital bagi penjahat korupsi. Koruptor bekerja
dengan teknologi, mengelabui sistem, memanipulasi aturan, dan kerap kali mengajak
kongkalikong aparat penegak hukum.
Untuk menggangsir uang negara, koruptor tidak harus berhadapan secara
frontal dengan pihak yang ia viktimisasi. Berbeda dengan bromocorah
konvensional semisal pencuri, pemerkosa, pembunuh, dan lainnya. Dengan modus kejahatan
yang tidak mengandalkan gerak dan kapasitas fisik, incapacitation kehilangan
relevansinya jika diterapkan bagi koruptor. Jadi tidak hanya pembebasan
bersyarat bertolak belakang total dengan incapacitation,
doktrin ini juga akan bisa diaplikasikan secara tepat guna hanya apabila
kapasitas tidak dibatasi dalam pengertian fisik.
Berikutnya adalah filosofi penangkalan. Hukuman bagi pelaku tindak
kejahatan korupsi dinilai menimbulkan efek tangkal jika pelaku tidak mau lagi
mengulangi perbuatan kriminalnya dan pihak lain tidak mau meniru perilaku
serupa. Berbasis pada hukum sebabakibat, filosofi penangkalan menuntut ada
pertimbangan dijatuhkan jenis perlakuan (hukuman) yang tepat agar koruptor
tidak melakukan korupsi kembali.
Juga agar warga masyarakat tidak terinspirasi untuk menampilkan
kelakuan kotor bak hewan pengerat itu. Doktrin penangkalan berjalan efektif
ketika negara juga telah membangun sistem pemantauan gerak narapidana korupsi
pascapemenjaraan. Tanpa sistem pemantauan itu, pembebasan bersyarat tak lebih
dari pembebasan musang ke kandang itik. Sampai kapan pun dipuasakan dengan
cara apa pun, tidak akan pernah musang menjadi vegetarian.
Filosofi kelima adalah balas dendam. Dinilai sebagai doktrin paling
purba, hukuman bagi bandit harus menyakitkan. Pelaku kejahatan harus dibikin
menderita. Mata dibalas mata, nyawa dibalas nyawa. Semakin berat tipe
kejahatan si pelaku, semakin brutal pula hukuman yang ditimpakan kepadanya.
Apakah pelaku jera atau kelak mengulangi perbuatannya, tidak terlalu
dipusingkan. Apakah kerugian korban dapat dipulihkan, itu isu nomor sekian.
Apakah orang lain mendapat pembelajaran dari kesakitan pelaku, bukan tujuan yang
ingin direalisasikan.
Pokoknya, tak lain, kriminal harus diempas ke jurang rasa pedih dan
sedih. Kematian penjahat juga dianggap sah-sah saja. Pembebasan bersyarat,
lagi-lagi, berlawanan seratus delapan puluh derajat dengan filosofi balas
dendam. Lima doktrin penghukuman telah diuraikan. Pembebasan bersyarat
sebagai “langkah penegakan hukum”, di mata saya, sungguh-sungguh tidak
berkesesuaian dengan doktrin mana pun.
Bahkan kontras dengan serbaneka rasionalisasi di balik pembebasan
bersyarat, melihat situasi penegakan hukum khususnya terhadap kejahatan
korupsi saat ini, penjatuhan sanksi sekeji mungkin bagi pelaku kejahatan luar
biasa itu saya yakin sebagai pilihan realistis yang sangat dinanti-nanti
bukan hanya oleh saya. Allahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar