Daya
Saing Bisa Hancur
Sutrisno Iwantono ;
Doktor
Ekonomi Politik dari Okayama University Japan;
Mantan
Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha
|
KORAN
JAKARTA, 18 September 2014
Mekanisme
pemilihan kepala daerah (pilkada) kini sedang menjadi perdebatan. Sebagian
fraksi di parlemen ingin mengembalikan pemilihan gubernur, bupati, dan wali
kota ke DPRD. Mereka adalah anggota Koalisi Merah Putih, yakni Fraksi PAN,
Gerindra, PKS, PPP, Golkar, dan Demokrat, yang belakangan goyah karena
ketuanya ingin langsung.
Pendukung
pilkada langsung adalah PDIP dan Hanura. Rakyat mayoritas menginginkan
pilkada langsung. Masyarakat dan akademisi mengingatkan bahwa substansi
demokrasi ada di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat sebagai esensi demokrasi
merupakan pertimbangan pilkada harus dilaksanakan secara langsung.
Sejumlah
jajak pendapat pun memperlihatkan mayoritas rakyat tetap menginginkan
kedaulatan mereka dipertahankan dalam pilkada. Sebab masyarakat yakin bahwa
pilkada langsung banyak melahirkan kepala daerah yang lebih berkualitas.
Gubernur
DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja
Purnama, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, dan Wali Kota Bandung, Ridwan
Kamil, adalah contoh nyata pemimpin berkualitas produk pilkada langsung.
Bahkan,
Jokowi melesat menjadi pemenang pemilihan umum presiden secara langsung. Dari
wali kota Solo, dia memenangi pertarungan DKI satu, dan akhirnya RI-1.
Masyarakat melihat dia sebagai pejabat berhasil dengan mengandalkan sistem
pemilihan langsung.
Tanpa
model pemilihan umum langsung, mustahil, calon-calon alternatif yang
berkualitas dan disukai publik tersebut bisa memenangi pilkada. Secara hukum,
diperlukan kajian lagi untuk memperoleh kesepahaman terkait pokok-pokok
pikiran dalam undang-undang dasar.
Tulisan
ini mengetengahkan aspek ekonomi andai pilkada dilaksanakan tidak langsung.
Praktik politik ini dapat berdampak fatal pada kehidupan ekonomi bangsa.
Oligarki
Pilkada
di tangan DPRD menciptakan oligarki politik karena kekuasaan terpusat dalam
kelompok tertentu. Ini akan berdampak pada praktik bisnis. Menurut teori
ekonomi kelembagaan, kondisi tersebut bakal menciptakan ekonomi rente, yakni
pengusaha akan memburu perlindungan dan fasilitas. Mereka mengabaikan upaya
membangun produktivitas dan efisiensi.
Dalam
struktur pasar sempurna, pelaku usaha berlomba-lomba membangun daya saing
dengan berbagai kreativitas dan inovasi untuk mendapat keunggulan
produktivitas atau efisiensi. Namun, dalam iklim oligarki politik, dana bukan
untuk menciptakan produksi yang efisien, tapi buat melobi politik agar
terbangun political patron-client.
Dengan begitu, mereka memperoleh perlindungan dan fasilitas.
Korupsi
mewarnai kehidupan ekonomi politik. Krueger (1974) yang diikuti berbagai
ekonom lain dengan tegas menyatakan itu. Muphy et al (1991) menyatakan, “Official corruption divers resources and
talent away from real investment into political rent seeking: lobbying
politicians, influencing judges, and currying favor with bureaucrats.”
Buah
pengejaran rente ekonomi politik adalah perlindungan dan fasilitas jauh lebih
tinggi dibanding investasi untuk inovasi dan produktivitas. Dampaknya dahsyat
seperti dinyatakan Murphy et al (1993), “Magnitude
of this diversion is so large in many countries that it starves real
investment in innovation of financing.”
Pasar
pun menjadi tidak sehat. Pendatang baru (new
entrance) sulit masuk pasar, teradang kekuatan oligopoli dan monopoli.
Dalam pasar seperti itu, pelaku usaha cenderung mencari fasilitas seperti
kuota impor dan proyek. Daya saing nasional bisa rontok karena pelaku usaha
berubah menjadi pencari rente.
Pemimpin
usaha bukan lagi para profesional dan wirausaha yang kompeten di bidang
bisnis, tetapi dipenuhi para jagoan yang memiliki keterampilan lobi politik.
Hal
seperti ini pernah terjadi di Rusia era Uni Sovyet. Ekonomi dikuasai
perusahaan-perusahaan yang membangun hubungan patron-klien dengan kekuasaan.
Indonesia jangan mengulang kesalahan tersebut. Oleh karena itu, pelaku usaha
hendaknya tidak abai dengan wacana pilkada oleh DPRD. Hal itu bukan
semata-mata perdebatan politik, tetapi juga sungguh persoalan ekonomi.
Tercabut
Jadi,
pilkada tak langsung berdampak luar biasa (buruk) ke sektor perekonomian.
Bukan hanya hak politik rakyat yang tercabut, tetapi juga hak ekonomi. Jika
Pilkada dikembalikan ke DPRD, upaya pemerintah mendatang untuk melahirkan
pengasaha-pengusaha baru yang andal akan sia-sia.
Dalam
berbagai kesempatan, presiden terpilih, Joko Wdodo, dan Wakil Presiden Jusuf
Kalla (JK) berjanji dengan aneka cara akan mempermudah dan mempersingkat
urusan perizinan pendirian usaha. Jelas ini merupakan ide bagus dan menjadi
kunci memacu pertumbuhan perekonomian di berbagai daerah. Terobosan tersebut
bakal menjadi alat ampuh mengatasi masalah pemerataan pembangunan, mempercepat
pertumbuhan ekonomi, dan kemakmuran rakyat.
Pemangkasan
rantai birokrasi perizinan dan transparansi dalam urusan tersebut akan
menekan ekonomi biaya tinggi. Jokowi sebenarnya sudah melakukannya saat
menjabat wali kota Solo dan gubernur DKI.
Para
pengusaha sadar bahwa dengan makin cepat dan proses perizinan murah, akan
memangkas banyak biaya siluman. Ujungnya akan menekan biaya operasional
perusahaan sehingga meningkatkan daya saing.
Gagasan
Jokowi dan JK soal kemudahan berusaha akan menumbuhkan jiwa kewirausahaan
nasional secara masif di berbagai wilayah. Dengan banyak lahir
perusahaan-perusahaan baru, meski dalam skala kecil, akan membuka lapangan
kerja.
Tantangan
di depan mata adalah menghadapi pasar bersama ASEAN tahun depan. Yang
terpenting mempermudah iklim usaha masyarakat setempat dan menghilangkan
hambatan perusahaan atau usaha kecil. Menghapus hambatan dan distorsi pasar
yang membentuk monopoli-oligopoli akan lebih efektif dengan membuka
kesempatan berusaha seluas-luasnya.
Program
pemerintah mendatang yang akan mempermudah pembukaan usaha tersebut menjadi
salah satu alat distribusi pemerataan. Program ini sejalan dengan upaya
membangun persaingan pasar yang sehat karena pemainnya banyak.
Pertanyaannya,
upaya yang digencarkan Jokowi untuk meningkatkan daya saing ekonomi dengan
mempersingkat perizinan di segala tingkatan dan bidang, akan menemukan tembok
baru, pilkada tak langsung? Ini tentu menjadi PR bagi semua pihak, termasuk
Presiden SBY yang segera lengser.
Dibutuhkan
kearifan dan jiwa besar bangsa untuk melihat jauh ke depan. Para politisi
hendaknya dapat melupakan kepentingan sesaat demi kemajuan dan kejayaan
bangsa. Mari bersama-sama meningkatkan daya saing dengan mencurahkan seluruh
energi secara sinergis, bukan malah menggerogoti. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar