Jumat, 19 September 2014

Daya Saing Bisa Hancur

Daya Saing Bisa Hancur

Sutrisno Iwantono  ;   Doktor Ekonomi Politik dari Okayama University Japan;
Mantan Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha
KORAN JAKARTA, 18 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) kini sedang menjadi perdebatan. Sebagian fraksi di parlemen ingin mengembalikan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota ke DPRD. Mereka adalah anggota Koalisi Merah Putih, yakni Fraksi PAN, Gerindra, PKS, PPP, Golkar, dan Demokrat, yang belakangan goyah karena ketuanya ingin langsung.

Pendukung pilkada langsung adalah PDIP dan Hanura. Rakyat mayoritas menginginkan pilkada langsung. Masyarakat dan akademisi mengingatkan bahwa substansi demokrasi ada di tangan rakyat. Kedaulatan rakyat sebagai esensi demokrasi merupakan pertimbangan pilkada harus dilaksanakan secara langsung.

Sejumlah jajak pendapat pun memperlihatkan mayoritas rakyat tetap menginginkan kedaulatan mereka dipertahankan dalam pilkada. Sebab masyarakat yakin bahwa pilkada langsung banyak melahirkan kepala daerah yang lebih berkualitas.

Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo (Jokowi), Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, dan Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil, adalah contoh nyata pemimpin berkualitas produk pilkada langsung.

Bahkan, Jokowi melesat menjadi pemenang pemilihan umum presiden secara langsung. Dari wali kota Solo, dia memenangi pertarungan DKI satu, dan akhirnya RI-1. Masyarakat melihat dia sebagai pejabat berhasil dengan mengandalkan sistem pemilihan langsung.

Tanpa model pemilihan umum langsung, mustahil, calon-calon alternatif yang berkualitas dan disukai publik tersebut bisa memenangi pilkada. Secara hukum, diperlukan kajian lagi untuk memperoleh kesepahaman terkait pokok-pokok pikiran dalam undang-undang dasar.

Tulisan ini mengetengahkan aspek ekonomi andai pilkada dilaksanakan tidak langsung. Praktik politik ini dapat berdampak fatal pada kehidupan ekonomi bangsa.

Oligarki

Pilkada di tangan DPRD menciptakan oligarki politik karena kekuasaan terpusat dalam kelompok tertentu. Ini akan berdampak pada praktik bisnis. Menurut teori ekonomi kelembagaan, kondisi tersebut bakal menciptakan ekonomi rente, yakni pengusaha akan memburu perlindungan dan fasilitas. Mereka mengabaikan upaya membangun produktivitas dan efisiensi.

Dalam struktur pasar sempurna, pelaku usaha berlomba-lomba membangun daya saing dengan berbagai kreativitas dan inovasi untuk mendapat keunggulan produktivitas atau efisiensi. Namun, dalam iklim oligarki politik, dana bukan untuk menciptakan produksi yang efisien, tapi buat melobi politik agar terbangun political patron-client. Dengan begitu, mereka memperoleh perlindungan dan fasilitas.

Korupsi mewarnai kehidupan ekonomi politik. Krueger (1974) yang diikuti berbagai ekonom lain dengan tegas menyatakan itu. Muphy et al (1991) menyatakan, “Official corruption divers resources and talent away from real investment into political rent seeking: lobbying politicians, influencing judges, and currying favor with bureaucrats.”

Buah pengejaran rente ekonomi politik adalah perlindungan dan fasilitas jauh lebih tinggi dibanding investasi untuk inovasi dan produktivitas. Dampaknya dahsyat seperti dinyatakan Murphy et al (1993), “Magnitude of this diversion is so large in many countries that it starves real investment in innovation of financing.”

Pasar pun menjadi tidak sehat. Pendatang baru (new entrance) sulit masuk pasar, teradang kekuatan oligopoli dan monopoli. Dalam pasar seperti itu, pelaku usaha cenderung mencari fasilitas seperti kuota impor dan proyek. Daya saing nasional bisa rontok karena pelaku usaha berubah menjadi pencari rente.

Pemimpin usaha bukan lagi para profesional dan wirausaha yang kompeten di bidang bisnis, tetapi dipenuhi para jagoan yang memiliki keterampilan lobi politik.

Hal seperti ini pernah terjadi di Rusia era Uni Sovyet. Ekonomi dikuasai perusahaan-perusahaan yang membangun hubungan patron-klien dengan kekuasaan. Indonesia jangan mengulang kesalahan tersebut. Oleh karena itu, pelaku usaha hendaknya tidak abai dengan wacana pilkada oleh DPRD. Hal itu bukan semata-mata perdebatan politik, tetapi juga sungguh persoalan ekonomi.

Tercabut

Jadi, pilkada tak langsung berdampak luar biasa (buruk) ke sektor perekonomian. Bukan hanya hak politik rakyat yang tercabut, tetapi juga hak ekonomi. Jika Pilkada dikembalikan ke DPRD, upaya pemerintah mendatang untuk melahirkan pengasaha-pengusaha baru yang andal akan sia-sia.

Dalam berbagai kesempatan, presiden terpilih, Joko Wdodo, dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) berjanji dengan aneka cara akan mempermudah dan mempersingkat urusan perizinan pendirian usaha. Jelas ini merupakan ide bagus dan menjadi kunci memacu pertumbuhan perekonomian di berbagai daerah. Terobosan tersebut bakal menjadi alat ampuh mengatasi masalah pemerataan pembangunan, mempercepat pertumbuhan ekonomi, dan kemakmuran rakyat.

Pemangkasan rantai birokrasi perizinan dan transparansi dalam urusan tersebut akan menekan ekonomi biaya tinggi. Jokowi sebenarnya sudah melakukannya saat menjabat wali kota Solo dan gubernur DKI.

Para pengusaha sadar bahwa dengan makin cepat dan proses perizinan murah, akan memangkas banyak biaya siluman. Ujungnya akan menekan biaya operasional perusahaan sehingga meningkatkan daya saing.

Gagasan Jokowi dan JK soal kemudahan berusaha akan menumbuhkan jiwa kewirausahaan nasional secara masif di berbagai wilayah. Dengan banyak lahir perusahaan-perusahaan baru, meski dalam skala kecil, akan membuka lapangan kerja.

Tantangan di depan mata adalah menghadapi pasar bersama ASEAN tahun depan. Yang terpenting mempermudah iklim usaha masyarakat setempat dan menghilangkan hambatan perusahaan atau usaha kecil. Menghapus hambatan dan distorsi pasar yang membentuk monopoli-oligopoli akan lebih efektif dengan membuka kesempatan berusaha seluas-luasnya.

Program pemerintah mendatang yang akan mempermudah pembukaan usaha tersebut menjadi salah satu alat distribusi pemerataan. Program ini sejalan dengan upaya membangun persaingan pasar yang sehat karena pemainnya banyak.

Pertanyaannya, upaya yang digencarkan Jokowi untuk meningkatkan daya saing ekonomi dengan mempersingkat perizinan di segala tingkatan dan bidang, akan menemukan tembok baru, pilkada tak langsung? Ini tentu menjadi PR bagi semua pihak, termasuk Presiden SBY yang segera lengser.

Dibutuhkan kearifan dan jiwa besar bangsa untuk melihat jauh ke depan. Para politisi hendaknya dapat melupakan kepentingan sesaat demi kemajuan dan kejayaan bangsa. Mari bersama-sama meningkatkan daya saing dengan mencurahkan seluruh energi secara sinergis, bukan malah menggerogoti.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar