Spiral
Ekonomi 2015
Firmanzah ; Staf
Khusus Presiden Bidang Ekonomi dan Pembangunan
|
KORAN
SINDO, 29 September 2014
Membaca dan memprediksi ekonomi Indonesia pada 2015 sangat diperlukan
agar kita dapat merealisasi target pembangunan nasional.
Lantaran ekonomi Indonesia berada dalam pusaran ekonomi dunia dan
kawasan, melihat perekonomian nasional juga perlu diletakkan dalam kerangka
kawasan dan global. Dua aspek penting, baik dalam maupun luar negeri, perlu
kita cermati secara paralel, termasuk pengaruh dan interaksi keduanya. Apa
yang terjadi di lingkungan regional dan global akan berdampak, langsung
maupun tidak langsung, terhadap perekonomian nasional.
Begitu juga sebaliknya. Ekonomi 2015 akan terasa spesial bagi bangsa
dan negara Indonesia mengingat perekonomian 2015 dirancang oleh dua
pemerintahan. Secara teknokratik, pemerintahan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono mempersiapkan rencana kerja pemerintah (RKP) dan RAPBN 2015.
Sementara itu, pemerintahan presiden terpilih Joko Widodo, yang secara
resmi memerintah mulai 20 Oktober 2014, akan memberikan muatan politik dan
bahkan melakukan penyesuaian-penyesuaian, baik program, aktivitas maupun
kebijakan anggaran melalui APBN-P 2015. Bersama DPR periode 2014-2019,
pemerintahan baru akan memulai menjalankan RPJMN III yang berawal pada 2015.
Tantangan perekonomian nasional sepanjang 2015 akan semakin dinamis,
penuh ketidakpastian akibat tren ekonomi global, dan memerlukan penanganan
kebijakan secara terpadu dari otoritas moneter, fiskal, dan sektor riil. Dari
sisi eksternal, hal yang paling perlu kita cermati bersama adalah dampak
pengakhiran (tapering-off) dari
kebijakan pemberian stimulus moneter nonkonvensional (quantitative easing-QE III) di Amerika Serikat (AS).
Membaiknya sejumlah indikator seperti di bidang ketenagakerjaan dan
pertumbuhan ekonomi di AS semakin menguatkan dihentikannya QE III dan
kemudian digantikan dengan kebijakan moneter yang lebih konvensional, yaitu
penyesuaian suku bunga acuan. Dinaikkannya suku bunga acuan (The Fed Rate) membuat bank sentral di
berbagai negara menaikkan suku bunga acuan untuk mencegah derasnya aliran
modal keluar (capital outflow).
Yang menjadi tantangan pada 2015 adalah ketika Bank Indonesia (BI)
menyesuaikan BI Rate untuk membendung pembalikan modal (sudden reversal) ke AS. Ketika langkah ini pada akhirnya
ditempuh, dapat dipastikan pertumbuhan ekonomi tidak akan setinggi seperti
asumsi makro dalam APBN 2015 yang disepakati sebesar 5,8%. Kenaikan suku
bunga berdampak pada perekonomian, investasi, penciptaan lapangan kerja serta
sektor riil secara keseluruhan.
Meningkatnya suku bunga acuan membuat masyarakat melakukan penundaan
konsumsi dan cenderung menempatkan dananya di sektor perbankan. Dari sisi
perbankan, terdapat pilihan kebijakan, di antaranya mengurangi net interest
margin (NIM) atau menyesuaikan suku bunga pinjaman. Ketika opsi terakhir yang
diambil, risiko baru akan muncul, yaitu meningkatnya kredit bermasalah (non-performing loan /NPL).
Dari sisi eksternal lainnya, perekonomian nasional akan dihadapkan pada
sejumlah faktor eksternal seperti perlambatan ekonomi besar dunia seperti
yang terjadi di China dan Eropa. Sementara itu, tren pelemahan harga
komoditas dunia serta instabilitas politik dan keamanan sejumlah kawasan juga
akan mengganggu pemulihan ekonomi dunia.
Meskipun ekonomi Indonesia tidak terlalu bergantung pada aktivitas
ekspor sebesar perekonomian sejumlah negara di ASEAN seperti Singapura,
Malaysia, Thailand, Filipina maupun Vietnam, tetap saja sejumlah faktor di
atas akan berdampak pada laju pertumbuhan volume dan nilai ekspor nasional.
Pendapatan dari pajak ekspor juga diprediksi tertahan lantaran masih
diperlukan waktu penyelesaian pembangunan sejumlah smelter untuk memberikan
nilai tambah ekspor hasil tambang dan mineral. Diperkirakan pembangunan
sejumlah smelter yang saat ini berlangsung akan mulai beroperasi pada
2016-2018 dan memberikan dampak signifikan pada pendapatan di sektor
perpajakan.
Hal menarik yang dapat kita cermati adalah rencana pemerintah baru
untuk menyesuaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Di satu sisi
kebijakan ini akan dapat menyeimbangkan postur fiskal dan penghematan
anggaran subsidi BBM bersubsidi yang dapat dialokasikan ke sektor-sektor
prioritas pembangunan lainnya.
Namun dalam jangka pendek, paling tidak sepanjang 2015, dampak
kebijakan ini akan berakibat pada inflasi dan menurunnya daya beli masyarakat
akibat naiknya harga-harga kebutuhan pokok dan produk lainnya. Masyarakat
akan fokus terlebih dahulu untuk mendahulukan kebutuhan yang lebih
substansial dan cenderung mengurangi konsumsi barang-barang yang bersifat
sekunder.
Bagi kelompok masyarakat berpendapatan rendah atau miskin, pilihan
kebijakan untuk meringankan beban dan memberikan waktu penyesuaian dapat dilakukan
melalui dana bantuan sementara langsung. Namun bagi kelompok masyarakat
menengah, pilihannya melakukan penghematan konsumsi. Apabila beberapa faktor
di atas bertemu dan terjadi secara bersamaan, dunia usaha akan berhadapan
dengan sejumlah tantangan seperti menurunnya daya beli masyarakat, biaya
modal yang meningkat, dan tuntutan kenaikan upah buruh akibat meningkatnya
harga dari komponen hidup layak.
Apabila hal ini terjadi, dunia usaha akan menghadapi dua tekanan
sekaligus, yaitu dari sisi permintaan pasar (demand-side) dan meningkatnya biaya produksi. Sejauh ini
tantangan dalam doing business di
Indonesia terkompensasi dengan besarnya pasar domestik sehingga dunia usaha
masih menikmati margin yang memadai untuk menutup biaya produksi.
Namun ketika pelemahan daya beli masyarakat terjadi, sementara komponen
biaya produksi juga meningkat, hal ini membutuhkan langkahlangkah antisipasi
dari para pengambil kebijakan untuk memberikan stimulus pada dunia usaha
nasional. Kompleks dan dinamisnya tantangan ekonomi Indonesia sepanjang 2015
membutuhkan perencanaan dan penghitungan yang cermat serta komprehensif untuk
antisipasi segala kemungkinan yang akan terjadi.
Sektor-sektor strategis seperti UMKM, pangan, energi, sistem keuangan,
transportasi, dan logistik membutuhkan perhatian khusus untuk menghadapi
spiral perekonomian nasional 2015. Tidak kalah penting, bauran kebijakan,
baik di sektor moneter, fiskal maupun sektor riil, perlu segera dirumuskan
bersama oleh BI, pemerintah, LPS, dan OJK.
Koordinasi yang baik seperti yang kita tunjukkan di masa lalu sangatlah
diperlukan agar fundamental perekonomian nasional dapat terus dijaga dan
semakin ditingkatkan. Tiap pilihan kebijakan yang akan ditempuh baik dari
sisi moneter, fiskal maupun sektor riil pasti akan berpengaruh dan terkait
satu dengan yang lain.
Inilah yang perlu untuk segera dikomunikasikan dan dikoordinasikan oleh
otoritas pengambil kebijakan di dalam negeri agar kebijakan ekonomi menjadi
lebih komprehensif, terukur, dan tepat sasaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar