Ekstra
Parlemen Melawan Koalisi Neo Orba
Arie Sujito ; Sosiolog UGM, peneliti IRE
|
DETIKNEWS,
29 September 2014
Sejak sidang paripurna DPR RI tanggal 25 September 2014 lalu yang
mengesahkan UU Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), sebagian besar aktivis,
akademisi dan masyarakat umumnya merasa khawatir mengenai masa depan
demokrasi lokal di Indonesia.
Situasi ini kian mencemaskan, karena mengancam kelangsungan demokrasi
dan sistem politik Indonesia pada umumnya. UU Pilkada itu jelas secara
substansi menggeser arah politik, dari corak popular demokrasi ke pola
perwakilan elitis untuk urusan pemilihan kepala daerah. Hak konstitusional
warga negara untuk secara langsung memilih pemimpinnya yakni Bupati, Wali
Kota dan Gubernur dirampas, diambilalih ke tangan segelintir anggota DPRD
yang berlindung dibalik elitis prosedural.
Kenyataan ini sungguh ironis. Di saat lembawa perwakilan politik
seperti DPR dan DPRD yang jelas-jelas mengalami krisis kepercayaan (distrust) oleh publik yang ditandai
oleh 'sinisme masyarakat”' serta cemoohan yang kerap muncul di media sosial,
justru melalui UU Pilkada itu kewenangan mereka ditambah dalam porsi besar,
merekalah yang berhak secara formal menentukan pemimpin.
Pencaplokan kewenangan kuasa rakyat oleh parlemen merupakan kemunduran
demokrasi, yang tidak lain mencerminkan corak politik bergaya orde baru.
Neo
orbaisme
Sebagaimana kita tahu, sepanjang pemerintah orde baru, model politik
korporatik otoriter menempatkan DPRD sebagai lembaga yang berperan menentukan
kepala daerah. Suara rakyat dipangkas masuk dalam perangkap DPRD, pemilihan
kepala daerah pada saat itu hanya menjadi arena transaksional, tertutup. Pada
saat itu Golkar sebagai partai orba mengatur keputusan apapun, dengan cara
liciknya, lalu diikuti kekuatan penggembira yakni anggota parlemen dari
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
Kepala daerah terpilih saat itu hanya mengabdi pada kepentingan para
anggota parlemen, dimana risikonya mereka secara berjamaah mengkorup uang
APBD sebagai konsekuensi transaksi itu. Tidak ada kepala daerah yang baik dan
berhasil, karena lahir dari proses yang tertutup dan penuh rekayasa sehingga
menyuburkan praktik korupsi kolusi dan nepotisme (KKN).
Peristiwa semacam itu cerita buruk masa lalu yang kemudian dikoreksi
melalui gerakan reformasi 1998. Melalui reformasi dijadikan titik tolak bagi kelangsungan
demokratisasi, diantaranya dalam hal pemilihan kepala daerah. Maka dari itu,
sejak terbit UU no. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemilukada
menggunakan sistem pemilihan oleh rakyat secara langsung tanpa diwakilkan
oleh DPRD.
Sepanjang 10 tahun berlangsung dinamis, hingga sampai tahun 2014 kita
tahu capaian positif luar biasa dipetik. Selain meningkat partisipasi warga,
kontestasi politik kian dinamis, muncul calon independen, harapan perbaikan
kian menjulang sebagai penanda demokrasi lokal bekerja. Lebih penting dicatat
adalah lahirnya banyak kepala daerah yang berprestasi, mereka berhasil
mendorong perubahan secara nyata. Demokratisasi lokal semacam itu telah
menstimulasi inovasi, kreasi dan gebrakan baru perubahan yang dikerjakan oleh
pemerintahan daerah di bidang pelayanan publik, pemenuhan hak dasar, serta
reformasi pemerintahan yang dapat dikatakan sebagai kisah positif, yang tidak
bisa dipungkiri.
Jikalau sekarang ini sebagian besar anggota DPR menginginkan Pilkada
dipilih oleh DPRD sebagaimana dikerjakan orde baru itu, berarti telah
mengingkari capaian objektif hasil dari reformasi dalam pilkada langsung.
Sejumlah alasan soal konflik dan kekerasan serta biaya politik yang
mahal selalu disampaikan sebagai cara untuk meloloskan hasrat kaum oligarkhi
itu. Padahal alasan konflik dan kekerasan yang selama ini ditudingkan,
kesemua itu justru bersumber dari kelakuan politisi parpol yang 'tidak matang
dan dewasa' dalam meraih kekuasaan.
Politisi cenderung berupaya merekayasa untuk memenangkan pertarungan
pada peristiwa pemilukada, sekalipun dengan cara culas. Karenanya, perbedaan
afiliasi seringkali dimanipulasi oleh elit parpol dan tim sukses untuk
membodohi rakyatnya. Dengan demikian, konflik dan kekerasan pada dasarnya
bersumber justru dari ulah politisi parpol dan parlemen, bukan dari
rakyatnya. Rakyat toh kian dewasa.
Simak saja dalam perkembangan sejauh ini peristiwa konflik dan
kekerasan yang mewarnai pilkada kian menurun. Jadi seharusnya parpol dan
parlemen yang mengoreksi diri, membenahi fungsi representasinya serta
meningkatkan kualitas berpolitiknya, bukan malah menuduh rakyat tidak mampu
menjalankan pilkada langsung. Anehnya dan begitu ngawur, kegagalan parpol dan
parlemen dalam pilkada malah meminta kewenangannya diperbesar, ini sungguh
bertolak belakang dengan kenyataan reformasi.
Korupsi
DPRD
Begitu pula adanya tudingan soal biaya politik yang mahal dalam Pilkada
langsung sesungguhnya tidak terbukti. Andai definisi biaya pilkada yakni
pendanaan bersumber dari APBD ditambah biaya politik yang dikeluarkan
kandidat untuk pemilih (tentu dengan kritik atas peristiwa ini), hal itu
tidak seberapa dibanding pilkada DPRD kelak.
Pilkada oleh DPRD justru dipastikan biaya politik makin besar, selain
membeli tiket ke parpol juga untuk menyuap anggota parlemen sebagai
konsekuensi keterpilihan kandidat. Setelah terpilih, kepala daerah pasti
'bertanggung jawab dalam transaksi' berupa 'pengkaplingan' anggaran
dinas-dinas yang bakal dikuasai parpol dan anggota parlemen.
Dinas atau SKPD bakal diperas anggarannya akibat dagang sapi saat
Pilkada, itu berarti akan menyuburkan praktik korupsi yang jamak. Dalam
konteks itu, APBD akan dijadikan bancakan anggota DPRD konsekuensi dari
Pilkada yang dikendalikan mereka. Persis sinyalemen KPK, bahwa pilkada oleh
DPRD dipastikan bakal menyuburkan korupsi dengan modus-modus transaksional.
Apalagi, pilkada yang dilakukan secara tertutup tanpa diawasi publik
serta tidak ada akses terbuka bagi masyarakat non parpol untuk
berpartisipasi, potensi penyalahgunaan kekuasaan makin membesar.
Dapat dibayangkan, pola semacam ini tidak akan mampu menjaring kandidat
yang baik, bersih, jujur, dan kredibel. Ruang calon independen misalnya untuk
terlibat menjadi bagian dalam proses politik lokal dan kesempatan menjadi
pemimpin daerah menjadi tertutup. Dengan demikian pilkada oleh DPRD tidak
akan bisa menghasilkan pemimpin daerah sesuai kehendak rakyat. Mereka yang
bisa maju dan terpilih tentu harus berani menyuap anggota DPRD.
Parlemen
Pasca Pilpres
Semenjak peristiwa pemilihan presiden (pilpres) sebagai ajang
kontestasi dua kubu, Jokowi-Jk dengan Prabowo-Hatta, nampaknya terus
berbuntut. Kemenangan Jokowi-Jk secara hukum dan legitimasi politik ternyata
masih belum diterima beberapa orang yang tergabung dalam kubu koalisi merah
putih (selanjutnya disebut kubu neo orba) di parlemen.
Reproduksi permusuhan pasca pilpres yang direkayasa oleh sebagian kecil
orang, tetapi mereka berperan dominan dalam koalisi merah putih, untuk terus
bermanuver dengan berbagai cara yang ujungnya menghambat laju pemerintahan
dan menggoncangkan sistem politik.
Tujuannya sangat pragmatis, dendam atas kekalahan pilpres. Mereka
berupaya mengolah kekuatan untuk menggerogoti kekuasaan pemerintahan dengan
mengedepankan cara-cara anti demokrasi. Sebagaimana diketahui, mesin dominan
yang bekerja dibalik koalisi neo orba ini adalah petinggi Golkar dengan
menyeret PKS sebagai kekuatan inti mengoperasikan manuver dengan mempengaruhi
PAN, PPP, PD dengan menumpukan blok Gerindra sebagai bamper.
Praktis cara kerja koalisi ini sangat sistematis. Selain memulai dengan
pengesahan UU MD3, lalu UU Pilkada agar bisa menguasai jaringan pemerintahan
daerah dengan memenangkan Pilkada melalui DPRD di Indonesia, dan beberapa
agenda lainnya untuk menopang ambisi politiknya.
Lebih dari itu dalam jangka panjang kemungkinan akan membangun siasat
baru dalam Pilpres, yakni upaya memperkuat kembali kewenangan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara. Pola semacam ini menjadi makin jelas, dimana
parlemen yang dikuasai oleh koalisi neo orba bakal menguasai kendali politik
untuk kedepan sehingga menelorkan keputusan-keputusan yang anti demokrasi
kerakyatan.
Jika MPR akan dirancang ulang menjadi lembaga tertinggi negara
sebagaimana kehendak koalisi neo orba, maka mereka membangun justifikasi bisa
memilih dan memberhentikan Presiden. Nah, dititik inilah kulminasinya.
Jikalau pemerintahan Jokowi membuat kebijakan yang bertentangan dengan
kepentingan koalisi neo orba, sekalipun kebijakan pemerintahan Jokowi itu
demi kepentingan rakyat, maka akan ada rekayasa dan diproyeksi untuk impeachment. Nalar ini mulai berproses
dan bekerja, yang tentu saja akan merusak seluruh disain reformasi dan
demokrasi yang telah berlansung selama ini.
Ekstra
Parlemen
Demokratisasi yang berlangsung sebagai mandat reformasi tentu tidak
bisa dihentikan. Upaya koalisi neo orba dengan merekayasa Pilkada oleh DPRD
berarti tindakan anti demokrasi. Karena anti demokrasi, berarti memusuhi
rakyat dalam proses politik kebijakan. Politik otoriter yang menjadi catatan
kelam masa lalu, tidak bisa dibiarkan hidup kembali oleh karena ulah para
pembajak demokrasi Indonesia.
Tentu sejarah harus maju dan berkembang, bukan dipangkas apalagi
ditenggelamkan oleh kecongkakkan parlemen dan politisi yang bermental kumuh.
Dalam konteks itulah, peran civil society, gerakan sosial sebagai kekuatan
pengimbang oligarkhi parlemen menjadi alternatif penting.
Upaya mengingatkan parpol agar berbenah tidak direspon, alih-alih
justru makin liar derajat oligarkhinya. Kekuatan ekstra parlemen yang
didalamnya sektor buruh, mahasiswa, petani, kaum miskin kota, aktivis LSM,
perempuan, jurnalis maupun golongan kelas menengah yang pro demokrasi perlu
untuk digalang kembali sebagai kekuatan pengimbang. Pilihan kerja politik
ekstra parlemen ini tujuannya agar jangan sampai arah politik terperosok pada
kembalinya pola orde baru.
Metamorphosis politik orba yang masuk dalam parpol neo orba ini secara
licik mengadaptasikan diri dalam demokrasi prosedural, dan sebenarnya mereka
berwatak elitis, tidak mengakar, tetapi menguasai akses dalam pengambilan
keputusan strategis di tingkat formal. Perlawanan penting yang perlu
dilakukan adalah 'mendelegitimasi kekuatan koalisi orba' dimana kekuatan
ekstra parlemen di berbagai sektor untuk lebih aktif melakukan gerakan sosial
secara massif yang ditopang kerja politik media, dalam berbagai bentuk.
Pilihan ini tantangannya adalah, bagaimana kita mampu mengelola isu-isu
struktural dan demokrasi popular yang bisa menumbuhkan energi kolektif
penopang gerakan sosial. Jangan sampai koalisineo orba memanipulasi isu dalam
arah sektarian, sebagai isu lama persis cara orde baru memecah bangsa.
Sejarah membuktikan melalui kerja ekstra parlemen ini akan mampu
menunjukkan bentuk pembangkangan dan perlawanan pada otoriterisme, dan secara
kontekstual saat ini untuk melawan oligarkhi koalisi neo orba. Atas dasar
itulah, pemerintahan Jokowi JK tentu harus dikawal dengan dukungan dan kritik
yang bisa memecahkan masalah bangsa ini sesuai dengan track demokrasi,
kerakyatan dan semangat membangun bangsa yang berdaulat. Bagaimananpun juga dari
realitas ini akan terbaca sesungguhnya; siapa menjadi kekuatan demokrasi dan
anti demokrasi. Akan bisa pula menemukan dan membedakan antara reformis
sejati dan reformis gadungan.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar