Sabtu, 27 September 2014

Parpol dan Masyarakat Warga

Parpol dan Masyarakat Warga

Ramlan Surbakti  ;   Senior Advisor tentang Pemilu di Kemitraan
KOMPAS, 26 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SIKAP lima partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih di DPR yang tiba-tiba berubah, dari mendukung menjadi menolak pemilihan kepala daerah secara langsung (melalui pemilu) dalam pembahasan RUU Pilkada, menimbulkan pertanyaan tentang pola hubungan antara masyarakat warga (civil society) dan partai politik. Secara teoretis, dalam suatu negara-bangsa (nation-state) terdapat tiga ranah kegiatan (domain). Setiap ranah kegiatan itu punya tujuan dan pola perilaku sendiri, tetapi tetap berinteraksi, baik untuk mencapai tujuan masing-masing maupun tujuan negara-bangsa. Ketiga ranah kegiatan itu adalah negara, sektor swasta, dan masyarakat warga. Ranah negara (semua lembaga yang menyelenggarakan fungsi negara) membuat dan melaksanakan kebijakan publik untuk mewujudkan kepentingan umum dengan menggunakan kewenangan berdasarkan hukum.

Negara, satu-satunya institusi yang memiliki kewenangan menggunakan paksaan fisik terhadap setiap orang atau lembaga yang melanggar hukum. Ranah swasta melakukan kegiatan produksi, pemasaran, distribusi, serta penjualan barang dan jasa kepada konsumen untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Ranah swasta bekerja berdasarkan kebebasan ekonomi dan mekanisme pasar (hukum permintaan dan penawaran).

Apabila seseorang melakukan kegiatan produksi, distribusi, serta penjualan barang dan jasa untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, yang diuntungkan bukan hanya dia, melainkan juga pihak lain karena kegiatan ekonomi itu juga perlu keterlibatan pihak lain sebagai pemasok alat dan sarana produksi, pembuatan iklan dan pemasaran, serta transportasi, distribusi, retailer, dan sebagainya. Dalam konteks Indonesia (Pasal 33 UUD 1945), ranah swasta bergerak pada ”faktor produksi yang tidak menyangkut hajat hidup orang banyak”.

Kegiatan ranah masyarakat warga digerakkan tiga nilai dan norma utama: (1) perlindungan hak-hak individual (hak serta kebebasan politik, ekonomi, agama, informasi, budaya, dan agama), (2) kebaikan bersama (nirlaba, kesukarelawanan, filantropis, transparansi, pemerintahan bersih, pelayanan publik, atau supremasi hukum), dan (3) toleransi (menghormati perbedaan), kebangsaan, dan dialog sebagai penghubung serta perekat nilai pertama dan kedua. Ranah masyarakat warga mencakup berbagai organisasi yang memperjuangkan dan mewujudkan nilai-nilai itu. Ranah masyarakat warga merupakan forum atau arena publik (public sphere) untuk mendialogkan dan merumuskan kebaikan bersama guna diperjuangkan kepada ranah negara. Pandangan yang agak mirip, ranah masyarakat warga terbentuk karena tiga nilai: pluralisme (hak dan kebebasan individu menyatakan identitas pribadi serta kolektifnya melahirkan berbagai perbedaan bersifat horizontal), kesetaraan antarwarga negara, dan persaudaraan sebagai sebangsa dan setanah air.

Hal ini perlu dilakukan tak hanya karena kita memiliki kedudukan setara sebagai warga negara, tetapi juga karena kita saudara sebangsa dan setanah air. Ranah masyarakat warga menghasilkan kesepakatan tentang kebaikan bersama, tetapi hanya ranah negara yang memiliki kewenangan dan sumber daya untuk membuat dan melaksanakan kebijakan publik guna mewujudkan kebaikan bersama itu. Pertanyaannya, apa mekanisme yang menghubungkan ranah masyarakat warga dengan ranah negara sehingga kebaikan bersama yang dirumuskan masyarakat warga didengar dan diadopsi sebagai kebijakan publik oleh ranah negara.

Dalam sistem politik demokrasi, parpol-lah yang berperan sebagai jembatan dan penghubung ranah masyarakat warga dengan ranah negara. Parpol merupakan pengorganisasian warga negara untuk mewujudkan cita-cita politik (ideologi atau visi, misi, dan program) partai itu. Untuk itu, parpol melaksanakan dua fungsi utama: merumuskan dan memperjuangkan alternatif kebijakan publik setelah mendengarkan aspirasi dan kehendak warga masyarakat (fungsi representasi politik) serta berupaya mendapatkan dan/atau mempertahankan kursi di lembaga legislatif dan/atau eksekutif sebagai sarana memperjuangkan alternatif kebijakan publik menjadi UU, PP, perda, dan format kebijakan publik lain (peserta pemilu).

RUU Pilkada

Berdasarkan UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat (pemilu) sejak 2005. Setelah hampir 10 tahun dilaksanakan, pemerintah kemudian mengajukan RUU Pilkada kepada DPR. Dalam RUU Pilkada ini, pemerintah mengusulkan mekanisme pemilihan gubernur oleh DPRD, sedangkan pemilihan bupati dan wali kota dilakukan secara langsung oleh rakyat. Dalam RUU usulan pemerintah itu, wakil kepala daerah akan diangkat kepala daerah terpilih dari pegawai negeri yang memenuhi syarat.

Belakangan, pemerintah mengusulkan perubahan: gubernur dipilih langsung oleh rakyat, sedangkan bupati dan wali kota dipilih DPRD. Enam dari sembilan fraksi DPR tetap menghendaki pemilihan pasangan calon gubernur-wakil gubernur, pasangan calon bupati-wakil bupati, dan pasangan calon wali kota-wakil wali kota dipilih langsung oleh rakyat (pemilu). Perubahan yang sudah disepakati pemerintah dengan semua fraksi di DPR adalah pilkada serentak dalam tiga tahap (2015, 2017, dan 2019). Setelah hampir dua tahun dibahas di DPR, pemerintah mengeluarkan pernyataan sikap mendukung mekanisme pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota langsung oleh rakyat. Namun, setelah kalah dalam pilpres dan Mahkamah Konstitusi juga menolak permohonan Koalisi Merah Putih untuk membatalkan keputusan KPU tentang penetapan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai presiden dan wakil presiden, tiba-tiba Koalisi Merah Putih menyatakan menolak mekanisme pilkada secara langsung dan mendukung mekanisme pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Koalisi Merah Putih sudah mengeluarkan sikap yang berubah dalam dua RUU: tak lagi mendukung mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan MPR berdasarkan urutan perolehan kursi partai dalam pemilu (RUU MD3) serta tak lagi mendukung mekanisme pilkada secara langsung oleh rakyat (RUU Pilkada). Apa pun alasan yang dikemukakan untuk membenarkan perubahan sikap ini, tak dapat dipisahkan dari kekalahan pasangan capres-cawapres yang diusulkan Koalisi Merah Putih.

Suara masyarakat warga

Berbagai unsur masyarakat warga di beberapa daerah menolak mekanisme pilkada oleh DPRD dan tetap mendukung mekanisme pilkada secara langsung oleh rakyat melalui pemilu serentak. Tajuk rencana dan artikel opini sejumlah surat kabar juga menolak pilkada oleh DPRD.

Masyarakat warga mengajukan alasan konstitusional dan empiris. Para pembentuk UUD merumuskan, ”gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” (Pasal 18 Ayat 4). Pertanyaan pertama yang harus diajukan bukan apa yang dimaksud dengan ”dipilih secara demokratis”, melainkan mengapa pembentuk UUD menyepakati rumusan seperti itu? Kalau sejak semula pembentuk UUD menghendaki kepala pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih DPRD, mengapa mereka tak merumuskan saja demikian secara tegas, tetapi justru menyepakati rumusan yang lebih umum?

Alasannya karena masih menunggu perubahan pasal yang mengatur mekanisme pemilihan presiden-wakil presiden. Ketika Pasal 18 Ayat (4) itu dirumuskan tahun 1999, semua fraksi sepakat mempertahankan bentuk pemerintahan presidensial, tetapi masih ada beberapa fraksi yang belum sepakat mengenai pilpres langsung. Para pembentuk UUD menunggu mekanisme pemilihan presiden-wakil presiden yang disepakati karena mekanisme pilkada dalam suatu negara kesatuan yang memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom ditentukan oleh bentuk pemerintahan nasional (baca: mekanisme pemilihan kepala pemerintahan di tingkat nasional).

Jika menggunakan bentuk pemerintahan parlementer, yang berarti menteri pertama (sebutan yang benar berdasarkan bahasa Indonesia yang menggunakan hukum diterangkan-menerangkan) sebagai kepala pemerintahan dipilih anggota parlemen, kepala pemerintahan di daerah otonom harus pula dipilih anggota DPRD. Hal ini karena legitimasi kepala pemerintahan dalam pemerintahan parlementer terletak di parlemen karena bentuk pemerintahan parlementer tak mengenal pemisahan pemegang kekuasaan legislatif dari eksekutif (pimpinan serta anggota kabinet dari dan oleh anggota parlemen).

Namun, apabila mengadopsi bentuk pemerintahan presidensial, yang berarti presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu, kepala pemerintahan di daerah otonom juga harus dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu. Legitimasi kepala pemerintahan dalam pemerintahan presidensial tidak pada DPR, tetapi pada rakyat. Baik DPR maupun Presiden mendapat mandat dan legitimasi secara langsung dari rakyat karena bentuk pemerintahan presidensial memisahkan pemegang kekuasaan eksekutif dari legislatif. Kerangka berpikir konstitusional seperti inilah alasan mengapa semua fraksi DPR dan pemerintah menyepakati mekanisme pilkada langsung dalam UU Pemda.

Beberapa parpol yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih, seperti Golkar, justru yang paling tegas dan jelas sejak awal tak hanya mendukung mekanisme pilpres secara langsung, tetapi juga mekanisme pilkada secara langsung. Mengapa sekarang berbalik arah? Parpol yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih menyebut ”demi efisiensi” sebagai alasan tak lagi mendukung mekanisme pilkada langsung.

Apa betul mekanisme pilkada langsung tidak efisien? Dua catatan perlu dikemukakan. Apabila mekanisme pilkada secara langsung sudah diselenggarakan secara benar dan ternyata perlu dana besar, mekanisme pemilihan langsung itu tetap harus diselenggarakan karena konstitusi sebagai sistem nilai yang disepakati bersama harus lebih diutamakan daripada efisiensi. Sudah tentu akan lebih baik apabila mekanisme pemilihan secara langsung berdasarkan konstitusi dapat diselenggarakan secara efisien pula.

Dari pengalaman penyelenggaraan pilkada langsung, 2005-kini, dapat diidentifikasi tiga sumber penyebab pilkada langsung tak efisien. Pertama, parpol menarik dana dalam jumlah besar dari para bakal calon sebagai syarat pencalonan. Pungutan ini dikenal dengan berbagai ungkapan, seperti sewa perahu atau uang mahar. Kedua, dana kampanye pilkada untuk membiayai berbagai kampanye yang sesuai ataupun tak sesuai peraturan perundang-undangan, seperti pemberian sumbangan kepada tokoh berpengaruh di daerah, pembagian bahan pokok, dan jual-beli suara. Ketiga, biaya penyelenggaraan pilkada langsung, khususnya honor penyelenggara/panitia pelaksana.

Apabila ditelaah secara mendalam, kader parpol di DPR dan yang duduk dalam pemerintahanlah yang menjadi penyebab pilkada langsung tak efisien. Karena merekalah yang membuat UU dan karena partailah yang menyeleksi dan mengajukan pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah. Karena itu, kader parpol di DPR dan di pemerintahan itu pulalah yang harus mencegah pilkada yang tak efisien, bukan dengan mekanisme pilkada oleh DPRD karena pengalaman masa lalu mekanisme ini justru menunjukkan praktik transaksional yang menguras dana sangat besar, melainkan tetap menggunakan mekanisme pilkada langsung dengan sejumlah perbaikan di penyelenggaraannya.

Semua fraksi di DPR dan pemerintah ternyata sudah menyepakati pilkada serentak secara bertahap sebagai solusi atas sumber pemborosan ketiga (honor penyelenggara dan panitia pelaksana). Apabila parpol berhasil menemukan dan mengajukan dua tokoh yang baik (memiliki kapabilitas, kepemimpinan politik dan administrasi, serta integritas pribadi) dan dikenal baik pula oleh sebagian besar warga daerah sebagai pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah, kedua sumber pemborosan itu akan dapat dicegah. Dua alasan dapat dikemukakan. Pertama, tokoh yang baik dan dikenal baik pula oleh warga daerah tak akan mau memberikan uang sewa perahu atau uang mahar kepada parpol. Tokoh seperti ini bahkan tak memiliki dana membiayai berbagai bentuk kampanye yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sesungguhnya sejumlah parpol juga sudah berhasil mencegah sumber pemborosan pertama dan kedua di sejumlah daerah dengan cara mencari dan mengajukan tokoh yang baik dan dikenal baik oleh sebagian besar warga daerah menjadi calon kepala daerah. Wali Kota Surabaya, Bupati Banyuwangi, Wali Kota Bandung, mantan Wali Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta Jokowi, Bupati Bantaeng, serta sembilan bupati dan wali kota yang pernah dipilih Tempo sebagai kepala daerah pilihan pada 2013 serta 12 bupati dan wali kota yang pernah menerima MIPI Award dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia enam tahun terakhir adalah buktinya.

Jumlahnya memang masih sedikit daripada jumlah kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia. Namun, kalau parpol menjalankan fungsinya dengan benar sebagai ”pintu masuk jabatan politik” (mempersiapkan kader atau mencari dan mencalonkan tokoh yang baik) serta tak menjadikan bakal calon sebagai sumber penerimaan partai, niscaya pilkada langsung akan dapat diselenggarakan tidak saja sesuai pesan konstitusi, tetapi juga secara efisien. Parpol sebagai jembatan ranah masyarakat warga dengan ranah negara dan sebagai representasi politik masyarakat warga tidak hanya harus melaksanakan amanat konstitusi, tetapi juga mendengarkan suara masyarakat warga yang sesuai dengan konstitusi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar