Parpol
dan Masyarakat Warga
Ramlan Surbakti ;
Senior Advisor tentang Pemilu di
Kemitraan
|
KOMPAS,
26 September 2014
SIKAP lima
partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih di DPR yang tiba-tiba
berubah, dari mendukung menjadi menolak pemilihan kepala daerah secara
langsung (melalui pemilu) dalam pembahasan RUU Pilkada, menimbulkan
pertanyaan tentang pola hubungan antara masyarakat warga (civil society) dan partai politik. Secara
teoretis, dalam suatu negara-bangsa (nation-state)
terdapat tiga ranah kegiatan (domain).
Setiap ranah kegiatan itu punya tujuan dan pola perilaku sendiri, tetapi
tetap berinteraksi, baik untuk mencapai tujuan masing-masing maupun tujuan
negara-bangsa. Ketiga ranah kegiatan itu adalah negara, sektor swasta, dan
masyarakat warga. Ranah negara (semua lembaga yang menyelenggarakan fungsi
negara) membuat dan melaksanakan kebijakan publik untuk mewujudkan
kepentingan umum dengan menggunakan kewenangan berdasarkan hukum.
Negara,
satu-satunya institusi yang memiliki kewenangan menggunakan paksaan fisik
terhadap setiap orang atau lembaga yang melanggar hukum. Ranah swasta
melakukan kegiatan produksi, pemasaran, distribusi, serta penjualan barang
dan jasa kepada konsumen untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Ranah
swasta bekerja berdasarkan kebebasan ekonomi dan mekanisme pasar (hukum
permintaan dan penawaran).
Apabila
seseorang melakukan kegiatan produksi, distribusi, serta penjualan barang dan
jasa untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya, yang diuntungkan bukan
hanya dia, melainkan juga pihak lain karena kegiatan ekonomi itu juga perlu
keterlibatan pihak lain sebagai pemasok alat dan sarana produksi, pembuatan
iklan dan pemasaran, serta transportasi, distribusi, retailer, dan
sebagainya. Dalam konteks Indonesia (Pasal 33 UUD 1945), ranah swasta
bergerak pada ”faktor produksi yang tidak menyangkut hajat hidup orang
banyak”.
Kegiatan ranah
masyarakat warga digerakkan tiga nilai dan norma utama: (1) perlindungan
hak-hak individual (hak serta kebebasan politik, ekonomi, agama, informasi,
budaya, dan agama), (2) kebaikan bersama (nirlaba, kesukarelawanan,
filantropis, transparansi, pemerintahan bersih, pelayanan publik, atau
supremasi hukum), dan (3) toleransi (menghormati perbedaan), kebangsaan, dan
dialog sebagai penghubung serta perekat nilai pertama dan kedua. Ranah
masyarakat warga mencakup berbagai organisasi yang memperjuangkan dan
mewujudkan nilai-nilai itu. Ranah masyarakat warga merupakan forum atau arena
publik (public sphere) untuk mendialogkan dan merumuskan kebaikan bersama
guna diperjuangkan kepada ranah negara. Pandangan yang agak mirip, ranah
masyarakat warga terbentuk karena tiga nilai: pluralisme (hak dan kebebasan
individu menyatakan identitas pribadi serta kolektifnya melahirkan berbagai
perbedaan bersifat horizontal), kesetaraan antarwarga negara, dan
persaudaraan sebagai sebangsa dan setanah air.
Hal ini perlu
dilakukan tak hanya karena kita memiliki kedudukan setara sebagai warga
negara, tetapi juga karena kita saudara sebangsa dan setanah air. Ranah
masyarakat warga menghasilkan kesepakatan tentang kebaikan bersama, tetapi
hanya ranah negara yang memiliki kewenangan dan sumber daya untuk membuat dan
melaksanakan kebijakan publik guna mewujudkan kebaikan bersama itu.
Pertanyaannya, apa mekanisme yang menghubungkan ranah masyarakat warga dengan
ranah negara sehingga kebaikan bersama yang dirumuskan masyarakat warga
didengar dan diadopsi sebagai kebijakan publik oleh ranah negara.
Dalam sistem
politik demokrasi, parpol-lah yang berperan sebagai jembatan dan penghubung
ranah masyarakat warga dengan ranah negara. Parpol merupakan pengorganisasian
warga negara untuk mewujudkan cita-cita politik (ideologi atau visi, misi,
dan program) partai itu. Untuk itu, parpol melaksanakan dua fungsi utama:
merumuskan dan memperjuangkan alternatif kebijakan publik setelah
mendengarkan aspirasi dan kehendak warga masyarakat (fungsi representasi
politik) serta berupaya mendapatkan dan/atau mempertahankan kursi di lembaga
legislatif dan/atau eksekutif sebagai sarana memperjuangkan alternatif
kebijakan publik menjadi UU, PP, perda, dan format kebijakan publik lain
(peserta pemilu).
RUU Pilkada
Berdasarkan UU
No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dan wakil kepala daerah
dipilih melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat (pemilu) sejak 2005.
Setelah hampir 10 tahun dilaksanakan, pemerintah kemudian mengajukan RUU
Pilkada kepada DPR. Dalam RUU Pilkada ini, pemerintah mengusulkan mekanisme
pemilihan gubernur oleh DPRD, sedangkan pemilihan bupati dan wali kota
dilakukan secara langsung oleh rakyat. Dalam RUU usulan pemerintah itu, wakil
kepala daerah akan diangkat kepala daerah terpilih dari pegawai negeri yang
memenuhi syarat.
Belakangan,
pemerintah mengusulkan perubahan: gubernur dipilih langsung oleh rakyat,
sedangkan bupati dan wali kota dipilih DPRD. Enam dari sembilan fraksi DPR
tetap menghendaki pemilihan pasangan calon gubernur-wakil gubernur, pasangan
calon bupati-wakil bupati, dan pasangan calon wali kota-wakil wali kota
dipilih langsung oleh rakyat (pemilu). Perubahan yang sudah disepakati
pemerintah dengan semua fraksi di DPR adalah pilkada serentak dalam tiga
tahap (2015, 2017, dan 2019). Setelah hampir dua tahun dibahas di DPR,
pemerintah mengeluarkan pernyataan sikap mendukung mekanisme pemilihan
gubernur, bupati, dan wali kota langsung oleh rakyat. Namun, setelah kalah
dalam pilpres dan Mahkamah Konstitusi juga menolak permohonan Koalisi Merah
Putih untuk membatalkan keputusan KPU tentang penetapan Joko Widodo-Jusuf
Kalla sebagai presiden dan wakil presiden, tiba-tiba Koalisi Merah Putih
menyatakan menolak mekanisme pilkada secara langsung dan mendukung mekanisme
pemilihan kepala daerah oleh DPRD.
Koalisi Merah
Putih sudah mengeluarkan sikap yang berubah dalam dua RUU: tak lagi mendukung
mekanisme pemilihan pimpinan DPR dan MPR berdasarkan urutan perolehan kursi
partai dalam pemilu (RUU MD3) serta tak lagi mendukung mekanisme pilkada
secara langsung oleh rakyat (RUU Pilkada). Apa pun alasan yang dikemukakan
untuk membenarkan perubahan sikap ini, tak dapat dipisahkan dari kekalahan
pasangan capres-cawapres yang diusulkan Koalisi Merah Putih.
Suara masyarakat warga
Berbagai unsur
masyarakat warga di beberapa daerah menolak mekanisme pilkada oleh DPRD dan
tetap mendukung mekanisme pilkada secara langsung oleh rakyat melalui pemilu
serentak. Tajuk rencana dan artikel opini sejumlah surat kabar juga menolak
pilkada oleh DPRD.
Masyarakat
warga mengajukan alasan konstitusional dan empiris. Para pembentuk UUD
merumuskan, ”gubernur, bupati, dan wali kota masing-masing sebagai kepala
pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis” (Pasal 18
Ayat 4). Pertanyaan pertama yang harus diajukan bukan apa yang dimaksud dengan
”dipilih secara demokratis”, melainkan mengapa pembentuk UUD menyepakati
rumusan seperti itu? Kalau sejak semula pembentuk UUD menghendaki kepala
pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih DPRD, mengapa mereka tak
merumuskan saja demikian secara tegas, tetapi justru menyepakati rumusan yang
lebih umum?
Alasannya
karena masih menunggu perubahan pasal yang mengatur mekanisme pemilihan
presiden-wakil presiden. Ketika Pasal 18 Ayat (4) itu dirumuskan tahun 1999,
semua fraksi sepakat mempertahankan bentuk pemerintahan presidensial, tetapi
masih ada beberapa fraksi yang belum sepakat mengenai pilpres langsung. Para
pembentuk UUD menunggu mekanisme pemilihan presiden-wakil presiden yang
disepakati karena mekanisme pilkada dalam suatu negara kesatuan yang
memberikan otonomi seluas-luasnya kepada daerah otonom ditentukan oleh bentuk
pemerintahan nasional (baca: mekanisme pemilihan kepala pemerintahan di
tingkat nasional).
Jika
menggunakan bentuk pemerintahan parlementer, yang berarti menteri pertama
(sebutan yang benar berdasarkan bahasa Indonesia yang menggunakan hukum
diterangkan-menerangkan) sebagai kepala pemerintahan dipilih anggota
parlemen, kepala pemerintahan di daerah otonom harus pula dipilih anggota
DPRD. Hal ini karena legitimasi kepala pemerintahan dalam pemerintahan
parlementer terletak di parlemen karena bentuk pemerintahan parlementer tak
mengenal pemisahan pemegang kekuasaan legislatif dari eksekutif (pimpinan
serta anggota kabinet dari dan oleh anggota parlemen).
Namun, apabila
mengadopsi bentuk pemerintahan presidensial, yang berarti presiden sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan dipilih langsung oleh rakyat melalui
pemilu, kepala pemerintahan di daerah otonom juga harus dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilu. Legitimasi kepala pemerintahan dalam pemerintahan
presidensial tidak pada DPR, tetapi pada rakyat. Baik DPR maupun Presiden
mendapat mandat dan legitimasi secara langsung dari rakyat karena bentuk
pemerintahan presidensial memisahkan pemegang kekuasaan eksekutif dari legislatif.
Kerangka berpikir konstitusional seperti inilah alasan mengapa semua fraksi
DPR dan pemerintah menyepakati mekanisme pilkada langsung dalam UU Pemda.
Beberapa
parpol yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih, seperti Golkar, justru yang
paling tegas dan jelas sejak awal tak hanya mendukung mekanisme pilpres
secara langsung, tetapi juga mekanisme pilkada secara langsung. Mengapa
sekarang berbalik arah? Parpol yang bergabung dalam Koalisi Merah Putih
menyebut ”demi efisiensi” sebagai alasan tak lagi mendukung mekanisme pilkada
langsung.
Apa betul
mekanisme pilkada langsung tidak efisien? Dua catatan perlu dikemukakan.
Apabila mekanisme pilkada secara langsung sudah diselenggarakan secara benar
dan ternyata perlu dana besar, mekanisme pemilihan langsung itu tetap harus
diselenggarakan karena konstitusi sebagai sistem nilai yang disepakati
bersama harus lebih diutamakan daripada efisiensi. Sudah tentu akan lebih
baik apabila mekanisme pemilihan secara langsung berdasarkan konstitusi dapat
diselenggarakan secara efisien pula.
Dari
pengalaman penyelenggaraan pilkada langsung, 2005-kini, dapat diidentifikasi
tiga sumber penyebab pilkada langsung tak efisien. Pertama, parpol menarik
dana dalam jumlah besar dari para bakal calon sebagai syarat pencalonan. Pungutan
ini dikenal dengan berbagai ungkapan, seperti sewa perahu atau uang mahar.
Kedua, dana kampanye pilkada untuk membiayai berbagai kampanye yang sesuai
ataupun tak sesuai peraturan perundang-undangan, seperti pemberian sumbangan
kepada tokoh berpengaruh di daerah, pembagian bahan pokok, dan jual-beli
suara. Ketiga, biaya penyelenggaraan pilkada langsung, khususnya honor
penyelenggara/panitia pelaksana.
Apabila
ditelaah secara mendalam, kader parpol di DPR dan yang duduk dalam
pemerintahanlah yang menjadi penyebab pilkada langsung tak efisien. Karena
merekalah yang membuat UU dan karena partailah yang menyeleksi dan mengajukan
pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah. Karena itu, kader parpol di
DPR dan di pemerintahan itu pulalah yang harus mencegah pilkada yang tak
efisien, bukan dengan mekanisme pilkada oleh DPRD karena pengalaman masa lalu
mekanisme ini justru menunjukkan praktik transaksional yang menguras dana
sangat besar, melainkan tetap menggunakan mekanisme pilkada langsung dengan
sejumlah perbaikan di penyelenggaraannya.
Semua fraksi
di DPR dan pemerintah ternyata sudah menyepakati pilkada serentak secara
bertahap sebagai solusi atas sumber pemborosan ketiga (honor penyelenggara
dan panitia pelaksana). Apabila parpol berhasil menemukan dan mengajukan dua
tokoh yang baik (memiliki kapabilitas, kepemimpinan politik dan administrasi,
serta integritas pribadi) dan dikenal baik pula oleh sebagian besar warga
daerah sebagai pasangan calon kepala daerah-wakil kepala daerah, kedua sumber
pemborosan itu akan dapat dicegah. Dua alasan dapat dikemukakan. Pertama,
tokoh yang baik dan dikenal baik pula oleh warga daerah tak akan mau
memberikan uang sewa perahu atau uang mahar kepada parpol. Tokoh seperti ini
bahkan tak memiliki dana membiayai berbagai bentuk kampanye yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Sesungguhnya
sejumlah parpol juga sudah berhasil mencegah sumber pemborosan pertama dan
kedua di sejumlah daerah dengan cara mencari dan mengajukan tokoh yang baik
dan dikenal baik oleh sebagian besar warga daerah menjadi calon kepala
daerah. Wali Kota Surabaya, Bupati Banyuwangi, Wali Kota Bandung, mantan Wali
Kota Solo dan Gubernur DKI Jakarta Jokowi, Bupati Bantaeng, serta sembilan
bupati dan wali kota yang pernah dipilih Tempo sebagai kepala daerah pilihan
pada 2013 serta 12 bupati dan wali kota yang pernah menerima MIPI Award dari
Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia enam tahun terakhir adalah buktinya.
Jumlahnya
memang masih sedikit daripada jumlah kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia.
Namun, kalau parpol menjalankan fungsinya dengan benar sebagai ”pintu masuk
jabatan politik” (mempersiapkan kader atau mencari dan mencalonkan tokoh yang
baik) serta tak menjadikan bakal calon sebagai sumber penerimaan partai,
niscaya pilkada langsung akan dapat diselenggarakan tidak saja sesuai pesan
konstitusi, tetapi juga secara efisien. Parpol sebagai jembatan ranah
masyarakat warga dengan ranah negara dan sebagai representasi politik
masyarakat warga tidak hanya harus melaksanakan amanat konstitusi, tetapi
juga mendengarkan suara masyarakat warga yang sesuai dengan konstitusi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar