Minggu, 28 September 2014

Becermin pada Negara Hukum yang Retak

Becermin pada Negara Hukum yang Retak

W Riawan Tjandra  ;   Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
KORAN SINDO, 27 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Nyaris terluput dari perhatian publik di tengah konflik (elite) berkepanjangan dan kesibukan para elite menebar janji penuh pesona, ternyata masih ada anak bangsa yang menjadi korban kriminalisasi hukum.

Di Semarang, Jawa Tengah, Sri Mulyati sempat mendekam di tahanan selama 13 bulan akibat tuduhan mempekerjakan anak di bawah umur. Sri Mulyati sempat dijatuhi hukuman 8 bulan penjara oleh Pengadilan Negeri (PN) Semarang yang dinaikkan menjadi 1 tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi (PT) Semarang, ditambah denda Rp 2 juta subsider dua bulan penjara. Di Mahkamah Agung kemudian terbukti bahwa tuduhan itu tak berdasar dan Sri Mulyati dibebaskan oleh MA dengan vonis bebas murni. Karena menghukum orang tidak bersalah, negara dijatuhi denda sebesar Rp 5 juta.

Peristiwa menyedihkan itu berawal saat Sri Mulyati yang menjadi kasir di salah satu tempat karaoke ditangkap polisi dengan tuduhan berat mempekerjakan anak di bawah umur. Polisi bukannya menahan pemilik atau pimpinan tempat karaoke itu, melainkan Sri Mulyati yang bergaji Rp750.000 per bulan. Tragisnya, saat polisi melakukan penggerebekan, Sri Mulyati justru sedang tidak bekerja. Di saat itulah manajer tempat karaoke itu menelepon Sri Mulyati dan memintanya datang.

Begitu sampai di tempat itu, Sri Mulyati langsung ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Sri Mulyati dijerat dengan Pasal 8 UU Perlindungan Anak dengan tuduhan melakukan eksploitasi anak. Ironisnya, konon sang pemilik karaoke itu justru tak tersentuh oleh proses hukum. Dimasa lalu, filosof Rousseau sempat memimpikan lahirnya sebuah negara hukum yang kini juga dicanangkan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945.

Dalam negara hukum itu setiap warga negara tak boleh kehilangan kebebasan personalnya di saat ia mematuhi hukum. Kewajiban setiap orang untuk mematuhi hukum harus merupakan cerminan dari kehendak subjektifnya yang otentik.

Apa yang dialami Sri Mulyati merupakan bagian dari kriminalisasi di negeri yang konstitusinya mendeklarasikan negara hukum, tetapi warga negara yang tak punya daya ekonomi, politik maupun sosial bisa tercederai oleh bekerjanya positivisme sistem hukum kriminal (criminal justice system). Meminjam tesis filosof Bourdieu (1998), hukum sering bekerja di bawah kendali oknum yang mampu mendikte makna bahasa yang tersurat dalam teks undang-undang sehingga praksis penegakan hukum justru telah melampaui makna linguistik bahasa teks undang-undang karena ditawan oleh kuasa kepemilikan kapital, terutama kapital simbolik.

Sri Mulyati tentu tak punya kuasa membangun kuasa oposisi atas ke(tidak)adilan hukum yang dialaminya seperti para elite yang mampu membangun kekuatan oposisi untuk melakukan tawar-menawar terhadap kekuatan politik rivalnya. Sri Mulyati telah menjadi korban kekerasan simbolik dan struktural akibat idealitas kepastian hukum yang menurut Tebbit (2000) tak mampu melepaskan diri dari formalisme hukum.

Hukum prosedural telah kehilangan rasionalitas dan mencabut makna substantif yang seharusnya digali para penegak hukum. Suatu konsep keadilan menurut Rawls tidak dapat bertumpu pada prinsip utilitas ataupun prinsip intuisionis. Keadilan sebagai fairness sebagai alternatif teori-teori keadilan kontemporer, menurut Rawls, memberikan prinsip-prinsip keadilan sebagai patokan dalam mendistribusikan sumber-sumber daya sosial. Prinsip-prinsip tersebut dipilih orang-orang yang rasional dalam sebuah kontrak sosial hipotesis, posisi asali (original position).

Posisi asali merupakan kondisi persamaan awal yang mengarah pada dua prinsip keadilan sebagai fairness. Keadilan prosedural dalam posisi asali merupakan mekanisme pengawasan dan menempatkan semua orang dalam keadaan setara sebagai person moral. Perilaku yang terjadi dalam dunia penegakan hukum (law enforcement) dan perilaku peradilan (the behaviour of court) di Indonesia mengalami something wrong.

Fakta empiris yang dialami Sri Mulyati tersebut melengkapi berbagai kasus sebelumnya yang pernah dialami Mbok Minah, kasus pencuri sandal, pencuri tebu, Prita Mulyasari, dan sejenisnya yang menyajikan realitas kasatmata adanya ketidakadilan dalam masyarakat dan perbedaan penanganan suatu perkara yang mencolok antara si kaya dan si miskin atau si penguasa dan si rakyat jelata, hal yang sudah menjadi gambaran yang dianggap biasa terjadi.

Tentu ditinjau dari segi asas, hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law, bahkan bertentangan dengan harkat dan martabat manusia itu sendiri. Padahal ditinjau dari segi kodratnya, sejak lahir masing-masing manusia merupakan pribadi yang berpotensi untuk berkembang sehingga mempunyai hak dan kewajiban sebagai makhluk sosial dan warga negara. Guna memenuhi hak dan kewajiban itu, secara universal diakui adanya hak asasi manusia (HAM), bahkan secara tekstual oleh PBB pada tahun 1948 telah dituangkan di norma yang dinamakan Universal Declaration of Human Right.

Beberapa oknum penegak hukum tak jarang kurang memiliki sensitivitas terhadap HAM. Padahal penegak hukum selalu mendengungkan bahwa dalam penegakan hukum harus berdasarkan irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bahkan dalam memaknai keadilan, ada kewajiban untuk menghormati HAM masing-masing individu atau masyarakat. Peristiwa tragis yang dialami Sri Mulyati tak boleh berulang. Penegakan hukum di era supremasi hukum seharusnya mampu menjadi tindakan komunikatif yang sungguh-sungguh mampu menyuarakan keadilan substantif di balik bahasa teks hukum.

Sri Mulyati hanyalah kasir sebuah karaoke, seorang buruh kecil, yang dipaksa untuk becermin di hadapan negara hukum yang retak. Akibat kasus tersebut, tiga dari empat anaknya harus putus sekolah karena tidak mampu membayar biaya sekolah. Peristiwa ironis yang terjadi di saat para elite kini sibuk membangun koalisi dan membangun menara kata-kata serta menebar janji yang tak selalu dipenuhi di saat berkuasa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar