Becermin
pada Negara Hukum yang Retak
W Riawan Tjandra ; Pengajar Hukum Kenegaraan Fakultas Hukum
Universitas Atma Jaya Yogyakarta
|
KORAN
SINDO, 27 September 2014
Nyaris
terluput dari perhatian publik di tengah konflik (elite) berkepanjangan dan
kesibukan para elite menebar janji penuh pesona, ternyata masih ada anak
bangsa yang menjadi korban kriminalisasi hukum.
Di Semarang, Jawa Tengah, Sri Mulyati
sempat mendekam di tahanan selama 13 bulan akibat tuduhan mempekerjakan anak
di bawah umur. Sri Mulyati sempat dijatuhi hukuman 8 bulan penjara oleh
Pengadilan Negeri (PN) Semarang yang dinaikkan menjadi 1 tahun penjara oleh
Pengadilan Tinggi (PT) Semarang, ditambah denda Rp 2 juta subsider dua bulan
penjara. Di Mahkamah Agung kemudian terbukti bahwa tuduhan itu tak berdasar
dan Sri Mulyati dibebaskan oleh MA dengan vonis bebas murni. Karena
menghukum orang tidak bersalah, negara dijatuhi denda sebesar Rp 5 juta.
Peristiwa
menyedihkan itu berawal saat Sri Mulyati yang menjadi kasir di salah satu
tempat karaoke ditangkap polisi dengan tuduhan berat mempekerjakan anak di
bawah umur. Polisi bukannya menahan pemilik atau pimpinan tempat karaoke itu,
melainkan Sri Mulyati yang bergaji Rp750.000 per bulan. Tragisnya, saat
polisi melakukan penggerebekan, Sri Mulyati justru sedang tidak bekerja. Di
saat itulah manajer tempat karaoke itu menelepon Sri Mulyati dan memintanya
datang.
Begitu sampai
di tempat itu, Sri Mulyati langsung ditangkap dan ditetapkan sebagai
tersangka. Sri Mulyati dijerat dengan Pasal 8 UU Perlindungan Anak dengan
tuduhan melakukan eksploitasi anak. Ironisnya, konon sang pemilik karaoke itu
justru tak tersentuh oleh proses hukum. Dimasa lalu, filosof Rousseau sempat
memimpikan lahirnya sebuah negara hukum yang kini juga dicanangkan dalam
Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945.
Dalam negara
hukum itu setiap warga negara tak boleh kehilangan kebebasan personalnya di
saat ia mematuhi hukum. Kewajiban setiap orang untuk mematuhi hukum harus
merupakan cerminan dari kehendak subjektifnya yang otentik.
Apa yang
dialami Sri Mulyati merupakan bagian dari kriminalisasi di negeri yang
konstitusinya mendeklarasikan negara hukum, tetapi warga negara yang tak
punya daya ekonomi, politik maupun sosial bisa tercederai oleh bekerjanya
positivisme sistem hukum kriminal (criminal
justice system). Meminjam tesis filosof Bourdieu (1998), hukum
sering bekerja di bawah kendali oknum yang mampu mendikte makna bahasa yang
tersurat dalam teks undang-undang sehingga praksis penegakan hukum justru
telah melampaui makna linguistik bahasa teks undang-undang karena ditawan
oleh kuasa kepemilikan kapital, terutama kapital simbolik.
Sri Mulyati
tentu tak punya kuasa membangun kuasa oposisi atas ke(tidak)adilan hukum yang
dialaminya seperti para elite yang mampu membangun kekuatan oposisi untuk
melakukan tawar-menawar terhadap kekuatan politik rivalnya. Sri Mulyati telah
menjadi korban kekerasan simbolik dan struktural akibat idealitas kepastian
hukum yang menurut Tebbit (2000) tak mampu melepaskan diri dari formalisme
hukum.
Hukum
prosedural telah kehilangan rasionalitas dan mencabut makna substantif yang
seharusnya digali para penegak hukum. Suatu konsep keadilan menurut Rawls
tidak dapat bertumpu pada prinsip utilitas ataupun prinsip intuisionis.
Keadilan sebagai fairness sebagai
alternatif teori-teori keadilan kontemporer, menurut Rawls, memberikan
prinsip-prinsip keadilan sebagai patokan dalam mendistribusikan sumber-sumber
daya sosial. Prinsip-prinsip tersebut dipilih orang-orang yang rasional dalam
sebuah kontrak sosial hipotesis, posisi asali (original position).
Posisi asali
merupakan kondisi persamaan awal yang mengarah pada dua prinsip keadilan
sebagai fairness. Keadilan
prosedural dalam posisi asali merupakan mekanisme pengawasan dan menempatkan
semua orang dalam keadaan setara sebagai person
moral. Perilaku yang terjadi dalam dunia penegakan hukum (law enforcement) dan perilaku
peradilan (the behaviour of court)
di Indonesia mengalami something wrong.
Fakta empiris yang dialami Sri Mulyati
tersebut melengkapi berbagai kasus sebelumnya yang pernah dialami Mbok Minah,
kasus pencuri sandal, pencuri tebu, Prita Mulyasari, dan sejenisnya yang
menyajikan realitas kasatmata adanya ketidakadilan dalam masyarakat dan
perbedaan penanganan suatu perkara yang mencolok antara si kaya dan si miskin
atau si penguasa dan si rakyat jelata, hal yang sudah menjadi gambaran yang
dianggap biasa terjadi.
Tentu ditinjau
dari segi asas, hal ini bertentangan dengan prinsip equality before the law, bahkan bertentangan dengan harkat dan
martabat manusia itu sendiri. Padahal ditinjau dari segi kodratnya, sejak
lahir masing-masing manusia merupakan pribadi yang berpotensi untuk
berkembang sehingga mempunyai hak dan kewajiban sebagai makhluk sosial dan
warga negara. Guna memenuhi hak dan kewajiban itu, secara universal diakui
adanya hak asasi manusia (HAM), bahkan secara tekstual oleh PBB pada tahun
1948 telah dituangkan di norma yang dinamakan Universal Declaration of Human Right.
Beberapa oknum
penegak hukum tak jarang kurang memiliki sensitivitas terhadap HAM. Padahal
penegak hukum selalu mendengungkan bahwa dalam penegakan hukum harus
berdasarkan irah-irah “demi
keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bahkan dalam memaknai
keadilan, ada kewajiban untuk menghormati HAM masing-masing individu atau
masyarakat. Peristiwa tragis yang dialami Sri Mulyati tak boleh berulang. Penegakan hukum di era supremasi hukum
seharusnya mampu menjadi tindakan komunikatif yang sungguh-sungguh mampu menyuarakan keadilan substantif di
balik bahasa teks hukum.
Sri Mulyati hanyalah kasir sebuah
karaoke, seorang buruh kecil, yang dipaksa untuk becermin di hadapan negara
hukum yang retak. Akibat kasus tersebut, tiga dari empat anaknya harus putus sekolah karena tidak mampu
membayar biaya sekolah. Peristiwa
ironis yang terjadi di saat para elite kini sibuk membangun koalisi dan
membangun menara kata-kata serta menebar janji yang tak selalu dipenuhi di
saat berkuasa! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar