Mencegah
Konflik Agama Pasca-Pilpres
Arief Aulia Rachman ; Peneliti LIPI;
Kandidat Doktor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
|
OKEZONENEWS,
25 September 2014
Pemilu Presiden (Pilpres) 2014 telah menciptakan sejarah baru dalam
kehidupan berdemokrasi di Indonesia. Terpilihnya pasangan Joko Widodo
(Jokowi) dan Jusuf Kalla sebagai Presiden dan Wakil Presiden menjadi
kemenangan rakyat.
Berdasarkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor:
535/Kpts/KPU/Tahun 2014, Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor
urut 2 itu memenangkan Pilpres 2014 dengan perolehan suara sebanyak
70.997.833 suara atau sebanyak 53,15 persen dari suara sah nasional. Terpaut
tipis dari pasangan Prabowo Subianto-Hatta Radjasa yang menduliang 62.576.444
suara (46,85 persen). Kemenangan Jokowi kemudian dikukuhkan oleh putusan
Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan sengketa Pilpres uang
dilayangkan kubu Prabowo Subianto, 21 Agustus 2014.
Terlepas dari relevan atau tidaknya isu agama digunakan dalam Pilpres
2014, setidaknya isu itu telah menjadi bagian strategi pemenangan oleh tim
sukses kedua kubu. Alasannya, isu agama bagi sebagian masyarakat merupakan
hal yang sangat sensitif dan tidak membuka ruang negosiasi mencakup masalah
keyakinan. Singkat kata, sebagian besar masyarakat menginginkan adanya
pemimpin yang berkeyakinan sama dengan mereka. Bahkan, tidak jarang isu itu
menjadi lebih spesifik berkenaan dengan sejauh mana spiritualitas dan relijiusitas,
atau aliran apa yang dianut oleh capres dan cawapres yang bertarung.
Konflik
Antaragama
Beberapa konflik agama yang pernah terjadi di Indonesia antara lain
konflik di Ambon, Maluku Utara dan Poso. Ketiga konflik itu terjadi pada
akhir rezim Soeharto dan memasuki era reformasi yaitu pada tahun 1999 dan
2000 (Panggabean & Fauzi, 2014). Tanpa bermaksud membongkar luka lama,
ada persoalan penting yang harus diingat yaitu munculnya bahaya laten dan bom
waktu atas konflik-konflik agama yang terjadi sebelumnya.
Latar belakang konflik di tiga daerah itu berhubungan Suku, Agama, Ras
dan Antargolongan (SARA) dan tidak menutup kemungkinan adanya sejumlah
kepentingan politik. Dalam analisis sederhana, setiap masa transisi
pemerintahan atau pergantian rezim lazim terjadi gesekan sosial, baik laten
maupun nyata dengan berbagai macam motif, termasuk isu-isu provokatif yang
mengatasnamakan kepentingan agama.
Sekadar mengingatkan, pertikaian di Ambon, Maluku Utara dan Poso
menjadi gambaran riil konflik pada masa transisi Orde Baru ke era reformasi.
Konflik SARA lainnya terjadi berkaitan dengan pendirian tempat ibadah di mana
agama mayoritas masyarakat di daerah tertentu menolak pendirian tempat ibadah
agama lain. Seperti penolakan pendirian tempat ibadah GKI Yasmin di Bogor
Barat, Kota Bogor karena masyarakat di daerah itu kebanyakan beragama Islam.
Ketegangan antara masyarakat dan pengelola GKI Yasmin terjadi sejak
tahun 2002. Kemudian, penolakan pendirian tempat ibadah Huria Kristen Batak
Protestan (HKBP) Filadelfia di Desa Jejalen Jaya, Kecamatan Tambun Utara,
Kabupaten Bekasi. Ketegangan itu terjadi sejak tahun 2007 hingga sekarang.
Kasus lain, pendirian tempat Masjid Nur Musafir, di Batuplat, Kupang
juga terjadi di mana masyarakatnya mayoritas beragama Kristen. Ketegangan
antara pengelola Masjid Nur Musafir dan masyarakat sekitarnya terjadi tiga
kali yaitu tahun 2003, 2008, dan 2012, di mana terdapat eskalasi
ketegangannya. Kejadian serupa di Dusun Wolobheto, Desa Wolokoli, Kecamatan
Wolowaru, Kabupaten Ende pada tahun 2011 yaitu penolakan pendirian Masjid
Abdurrahman.
Ketegangan di empat daerah itu masih terasa hingga sekarang, khususnya
pada saat perayaan hari besar agama masing-masing dan momen pascapilpres ini
tetapi tidak sampai menimbulkan kekerasan. Inilah yang seharusnya menjadi
kewaspadaan semua pihak supaya tidak terjadi ketegangan, bahkan kekerasan
yang disebabkan oleh provokator yang tidak bertanggung jawab.
Konflik
Intra Agama
Dalam komunitas Islam juga tidak luput dari riak konflik sektarian.
Konflik ini melibatkan antara pengikut aliran tertentu dengan aliran lainnya
yang terdapat di dalam agama Islam. Misalnya, konflik antara pengikut Sunni
sebagai kaum mayoritas di Indonesia yang bersitegang dengan Jemaat Ahmadiyah
Indonesia (JAI) dan Komunitas Syiah di Indonesia.
Ada empat daerah yang pernah terjadi konflik tersebut yang terdiri dari
konflik di dua daerah menentang berkembangnya ajarah Ahmadiyah yaitu konflik
di Desa Manis Lor, Kecamatan Jalaksana, Kabupaten Kuningan pada tahun 2010
dan konflik di Kampung Peundeuy, Desa Umbulan, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten
Pandeglang pada tanggal 6 Februari 2011.
Konflik di dua daerah lainnya ditengarai sebagai gerakan menentang
ajaran Syiah di Kampung Omben dan Karang Penang, Kabupaten Sampang, Jawa
Timur pada tanggal 29 Desember 2011 dan tahun 2012 dan konflik di Bangil,
Pasuruan pada tanggal 20 April 2007 dan 15 Februari 2011. Konflik itu berawal
dari perbedaan interpretasi mengenai doktrin-doktrin Islam dan ritual
keagamaan yang dilakukannya.
Perlunya
Pendekatan Rekonsiliasi Konflik
Dengan mengamati berbagai konflik yang pernah terjadi di Indonesia,
perlu kiranya mewaspadai dan mencegah munculnya konflik serupa pada momen
transisi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke Jokowi. Sikap ini
lebih menegaskan pada sikap kewaspadaan dan antisipasi atas munculnya
konflik-konflik bernuansa agama pasca Pilpres.
Dalam mewaspadai konflik itu diperlukan dua pendekatan yaitu pendekatan
struktural dan kultural. Pertama, pendekatan struktural yang dimaksud adalah
melibatkan peran aktif pemerintah baik pusat maupun daerah dan lembaga
keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU),
Muhammadiyah, Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Konferensi Wali
Gereja Indonesia (KWI), Wali Umat Buddha Indonesia (Walubi), Parasida Hindu
Dharma Indonesia (PHDI), Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (MATAKIN).
Peran dari pemerintah pusat dapat diwujudkan dengan kebijakan meredam
para pendukung kedua kubu pasangan capres dan cawapres berupa sikap rendah
hati bagi pemenang dan legowo bagi yang kalah menurut perhitungan suara riil
KPU dan pascakeputusan MK. Anjuran lembaga keagamaan meskipun tidak selalu
diikuti oleh masyarakat, setidaknya dapat menjadi pengingat masyarakat untuk
tidak terprovokasi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang tidak
menginginkan Indonesia dalam kondisi damai dan rukun beragama.
Kedua, pendekatan selanjutnya adalah pendekatan kultural yaitu
melibatkan seluruh elemen masyarakat untuk menjaga stabilitas nasional dan
kerukunan umat beragama melalui kepekaan sosial dan penguatan spiritualitas
diri. Dalam menguatkan sikap ini, perlu kiranya memaksimalkan peran pemimpin
agama dan adat serta tokoh masyarakat untuk membimbing dan mengarahkan
umatnya supaya tidak mudah terprovokasi dan selalu meningkatkan kewaspadaan
diri terhadap isu-isu yang akan memecah belah umat dan rakyat Indonesia.
Peran pemimpin agama dan adat serta tokoh masyarakat juga diperlukan
supaya masyarakat dapat menerima hasil Pilpres 2014 dengan legowo dan penuh
sikap kenegarawanan tanpa mengurangi sikap kritis terhadap seluruh proses
Pilpres tersebut. Tidak ada salahnya juga memanfaatkan momen-momen keagamaan
seperti Hari Besar Agama dan perayaan agama lainnya sebagai ajang peningkatan
keimanan berupa sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan serta
memperkuat kesatuan antar dan intra umat beragama di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar