Ditunggu
Peran SBY…
James Luhulima ; Wartawan
Kompas
|
KOMPAS,
27 September 2014
POLITIK bisa
sangat tidak masuk akal (absurd).
Pada hari Jumat dini hari, tepatnya pukul 01.45, rapat paripurna DPR
menetapkan, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Di akhir masa tugasnya, yang
berakhir 1 Oktober mendatang, anggota DPR periode 2009-2014 mencabut hak
rakyat untuk menentukan kepala daerah seperti sudah berjalan relatif baik 10
tahun terakhir.
Bahkan, dengan
mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) kepada DPRD, mereka
(anggota DPR 2009-2014) mengkhianati semangat reformasi dan melawan
konstitusi. Bukan itu saja, selain mencabut hak rakyat, mereka pun mematikan
peluang hadirnya calon perseorangan. Mereka adalah anggota DPR dari Fraksi
Golkar (73), Fraksi PPP (32), Fraksi PAN (44), Fraksi PKS (55), dan Gerindra
(22). Sementara Partai Demokrat yang melakukan aksi walk out (keluar dan
tidak memberikan suara) bisa dianggap sebagai mendukung pemilihan kepala
daerah oleh DPRD.
Namun, kita
juga mencatat adanya 11 anggota Fraksi Golkar dan 6 anggota Fraksi Demokrat
yang membelot dan mendukung pilkada langsung oleh rakyat. Mereka memilih
bergabung dengan Fraksi PDI-P (88), Fraksi PKB (20), dan Fraksi Hanura (10)
yang mendukung pilkada langsung.
Langkah Fraksi
Demokrat walk out memang
mengejutkan walaupun tanda-tanda ke arah itu sesungguhnya sudah ada. Yang
dimaksud dengan mengejutkan adalah dengan melakukan aksi walk out,
jelas-jelas Fraksi Demokrat memperlihatkan bahwa mereka secara sengaja
menyia-nyiakan suaranya untuk mewujudkan keinginan Ketua Umum Partai Demokrat
Susilo Bambang Yudhoyono yang mendukung mekanisme pilkada oleh rakyat.
Januari lalu,
pemerintah dan Panitia Kerja (Panja) RUU Pilkada Komisi II DPR sepakat,
gubernur, bupati, dan wali kota tetap dipilih langsung oleh rakyat. Pada awal
pengajuan RUU Pilkada, pemerintah mengusulkan gubernur dipilih DPRD provinsi,
sedangkan bupati/wali kota dipilih langsung oleh rakyat. Di tengah
pembahasan, pemerintah mengubah usulan menjadi gubernur dipilih langsung oleh
rakyat, sedangkan bupati/wali kota dipilih oleh DPRD kabupaten/kota. Namun,
mayoritas fraksi di Panja RUU Pilkada tetap meminta kepala daerah dipilih
langsung oleh rakyat.
Awal September
lalu, setelah tahapan Pilpres 2014 usai, lima dari enam fraksi yang tergabung
dalam Koalisi Merah Putih tiba-tiba berubah sikap. Jika pada awalnya mereka
menginginkan pilkada dipilih langsung oleh rakyat, kini mereka mengusulkan
pilkada dipilih oleh DPRD. Kelima fraksi itu adalah Demokrat, Golkar, PAN,
PPP, dan Gerindra. Sementara satu fraksi anggota Koalisi Merah Putih lainnya,
PKS, tetap mengusulkan pilkada dipilih secara langsung oleh rakyat. Ada
dugaan perubahan sikap kelima fraksi, yang dalam Pemilihan Presiden (Pilpres)
2014 mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, adalah akibat dari konstelasi
politik setelah Pilpres 2014.
Ironisnya,
perubahan sikap lima fraksi itu dilakukan tanpa melalui konsultasi publik.
Fraksi-fraksi di DPR merampas hak rakyat secara sepihak demi kepentingan
politik jangka pendek, rakyat yang diwakilinya sama sekali tidak diajak
bicara.
Sikap Fraksi
Demokrat yang walk out dan ditangkap sebagai sinyal menentang pilkada
langsung oleh rakyat itu membuat citra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
sebagai seorang tokoh demokrasi dipertaruhkan. Berbagai serangan dilancarkan
kepada Yudhoyono, dengan harapan ia menegur anggota-anggota Partai Demokrat
yang mengusulkan pilkada oleh DPRD.
Pada
pertengahan September, dalam wawancara yang diunggah melalui kanalnya di
Youtube, Yudhoyono sebagai Ketua Umum Partai Demokrat mengatakan, selama 10
tahun ini rakyat Indonesia sudah terbiasa dengan sistem pemilihan kepala
daerah secara langsung. Apalagi, pilkada juga memiliki benang merah dengan
pemilihan langsung presiden dan wakil presiden. Dalam wawancara itu, ia juga
mengingatkan tentang perlu ekses-ekses yang terjadi dikurangi, seperti banyak
politik uang dan penggunaan anggaran yang besar dalam pilkada.
Sama-sama berisiko
Baik pilkada
langsung oleh rakyat maupun pilkada oleh DPRD memiliki kebaikan dan
keburukannya sendiri-sendiri. Pilkada langsung disebut-sebut memiliki peluang
terjadinya politik uang dan menggunakan anggaran yang besar, tetapi segi
positifnya adalah suara rakyat langsung yang menentukan. Sementara pilkada
oleh DPRD selain memiliki peluang adanya politik uang, juga memiliki peluang
suara rakyat dikhianati. Sistem perwakilan menyimpan bahaya tersendiri. Kita
belum melupakan bagaimana PDI-P yang mengusung Megawati Soekarnoputri sebagai
calon presiden memperoleh suara terbanyak dalam Pemilihan Umum 1999
ditumbangkan fraksi-fraksi di MPR, yang akhirnya memiliki Abdurrahman Wahid
sebagai presiden. Itu sebabnya jika pilkada langsung oleh rakyat dianggap
memiliki ekses-ekses negatif, atasilah ekses-ekses itu, bukan dengan
menggantinya dengan pilkada oleh DPRD.
Kita sudah
gembira ketika pada akhirnya Partai Demokrat mendukung pilkada langsung oleh
rakyat walaupun menyertakan 10 syarat. Apalagi, isi dari 10 syarat pada intinya
hanya ingin memperbaiki ekses-ekses negatif dari pilkada langsung oleh
rakyat.
Tidak ada yang
aneh dengan 10 syarat yang diajukan Partai Demokrat. Itu sebabnya 10 syarat
itu akhirnya diterima oleh fraksi-fraksi yang mendukung pilkada langsung.
Namun, karena pimpinan DPR tidak mau membuka opsi tambahan untuk memasukkan
10 syarat itu, Partai Demokrat walk out.
Tanpa suara dari Partai Demokrat, fraksi-fraksi yang mendukung pilkada
langsung, kalah.
Yudhoyono,
yang tengah berada di Washington DC, Amerika Serikat, menyatakan kecewa
dengan hasil pemungutan suara di DPR itu walaupun ia menghormati prosesnya.
Kini, bola ada di tangan Yudhoyono. Sebagai kepala pemerintahan, ia mempunyai
waktu satu bulan untuk memutuskan, akan mengesahkan RUU Pilkada itu menjadi
UU atau mengembalikannya untuk dibahas kembali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar