Jokowi, Jagalah “Waktu” Rakyat!
Teuku Kemal Fasya ; Antropolog Aceh;
Anggota Asosiasi Antropologi Indonesia (AAI)
|
SATU
HARAPAN, 25 September 2014
Dalam perjalanan ke Jakarta untuk presentasi penelitian tentang gerakan
sosial pro Jokowi, di ketinggian 10 ribu kaki, saya menonton film yang
dirilis 2011, In Time. Film
thriller fiksi ilmiah ini dibintangi oleh Justin Timberlake, Amanda Seyfried,
dan Olivia Wilde.
Film yang disutradai dan diproduseri seniman
sinematografi asal Selandia Baru, Andrew M. Niccol, ini berkisah tentang
sebuah negeri pada tahun 2169, ketika manusia telah menjadi generasi dengan
rekayasa waktu digital. Saat itu secara biologis manusia berhenti berkembang
pada umur 25 tahun. Selanjutnya, panjang-pendeknya umur seseorang tergantung
berapa banyak tabungan waktu digital yang ia miliki.
Penduduk di negeri itu terbagi pada dua zona
waktu. Penduduk miskin yang bekerja setiap hari tinggal di Dayton. Adapun
penduduk yang paling sejahtera tinggal di New Greenwich.
Ingatan saya langsung mengarah pada istilah Thorstein Veblen, pakar ekonomi
asal Norwegia, the
leissure class: kelas ekonomi
tertinggi mendapatkan banyak kehormatan dan kesenangan, dan pekerjaan tanpa
berkeringat. Sebaliknya, masyarakat miskin yang terhina harus banting-tulang
setiap hari.
Will Salas (Justin Timberlake) harus bekerja keras setiap hari bersama
ibunya Rachel (Ovilia Wilde) untuk bertahan hidup. Ketika perjalanan menuju
pabrik ia kerap menjumpai orang yang mati di jalan karena “kehabisan waktu”.
Sementara masyarakat di New Greenwich bisa menikmati kehidupan serba lezat
dan fasilitas mewah. Masyarakat kelas sejahtera tak pernah sibuk dengan
waktu. Sistem ekonomi waktu mereka dilindungi sistem keamanan dan perbankan
canggih.
Bagian dramatis film itu terjadi ketika Will harus harus kehilangan
ibunya, yang tak sanggup membeli tiket pulang karena ongkos bus yang
tiba-tiba naik. Will tidak sempat mentransfer bahkan hanya beberapa menit
dari ratusan tahun deposit waktu yang dimilikinya, sedekah dari seorang kaya
depresi dan kemudian bunuh diri. Kisah selanjutnya adalah perjuangan kelas
pekerja memberontak dan merusak sistem waktu yang feodalistis dan tidak adil
itu.
Dramaturgi
Politik
Film itu saya tonton satu hari sebelum pemerintah Susilo Bambang
Yudhoyono menaikkan kembali tarif dasar listrik (TDL) 1 September lalu. Tahun
ini saja TDL telah tiga kali naik dan akan kembali naik pada November. Wacana
kenaikan TDL seperti lepas dari perbincangan publik karena disuguhi drama
kenaikan bahan bakan minyak (BBM) ancang-ancangnya akan dilakukan pemerintah
Joko Widodo – Jusuf Kalla.
Logika kenaikan BBM seperti telah menjadi kebenaran tunggal. Alasan BBM
tidak tepat sasaran, sangat membebani APBN, mempersempit ruang fiskal,
mengabaikan program kesejahteraan, dll memang masuk akal. Angka subsidi
APBN-P 2014 cukup fantastis, Rp. 350 triliun. Tahun depan akan ada Rp. 400
triliun lagi BBM “dibakar” untuk 70 persen mobil pribadi.
Terlepas dari dramaturgi politik yang dimainkan SBY, terutama setelah
pertemuan tertutupnya dengan Jokowi 27 Agustus lalu, pemerintah Jokowi – JK
harus tetap sadar langkah. Pertemuan itu memang berhasil melekatkan citra
seolah-olah Jokowi sama “neolib”-nya dengan pemerintahan SBY yang selama 10
tahun ini telah menaikkan 4 kali BBM dan sekali menurunkannya pada 2009
akibat protes keras publik.
Makanya penting mengingat, bahwa mencabut subsidi BBM di tengah
kelesuan ekonomi rakyat dan terbengkalainya investasi energi akan menjadi
bara baru bagi pemerintahan Jokowi – JK. Pelan-pelan batu ujian akan dilempar
juga oleh publik, seberapa berbedakah mereka dengan pemerintahan sebelumnya?
Hasil penelitian saya dan kawan-kawa tentang gerakan sosial partisan
(partisan social movement) relawan
pro Jokowi (-JK) yang diprakarsai Abdurrahman Wahid Centre (AWC UI)
sebenarnya memberikan harapan berlebih kepada JKW-JK akan melakukan perubahan
fundamental. Belum pernah dalam sejarah republik ada gerakan yang berbasis
kepada kesukarelaan (voluntarism)
sedemikian besarnya seperti Pilpres 2014 lalu. Mungkin di dunia hanya ada
dua, setelah Obama pada Pilpres 2008. Bahkan isu sektarianisme yang
dimobilisasi secara terstruktur, sistematis, dan massif tak berhasil meninju
KO Jokowi. Ia tetap terpilih sebagai
presiden RI ketujuh.
Waktu
Hidup Rakyat
Di balik wacana kenaikan BBM yang sama sekali belum dilakukan oleh
Jokowi – JK, SBY sendiri telah berkali-kali mengurangi subsidi energi
termasuk listrik. Publik memang pelan-pelan sadar dengan situasi pemerintah
jika nanti menaikkan harga BBM, tapi tidak dengan listrik.
Hampir tak ada logika pembenar kalau listrik dianggap konsumtif. Untuk
masyarakat termiskin sekali pun, listrik menjadi keperluan fundamental yang
tak dapat dipisahkan. Anak-anak memerlukan lampu di malam hari untuk belajar.
Kipas angin diperlukan di tengah situasi panas yang mengglobal. Pakaian perlu
disetrika dengan arus listrik. Tak mungkin mendobi pakaian dengan setrika
arang seperti kenangan masa kecil.
Karena tak punya mobil dan ongkos rekreasi, keluarga miskin hanya
memiliki hiburan tunggal melalui televisi. Bahan makanan perlu disimpan di
kulkas agar tidak membusuk dan layu. Mana mungkin setiap hari ke pasar.
Ongkosnya dari mana?
Selama ini liberalisasi energi terjadi akibat politik salah urus.
Pelbagai indikator seperti mafia migas dan Petral, tidak adanya pembangunan
kilang migas berskala besar selama 20 tahun terakhir, gagalnya diversifikasi
energi nonfosil seperti angin, air, sinar matahari, biogas, dan geotermal,
termasuk macetnya proposal proyek 10.000 MW (Jusuf Kalla, “Solusi untuk Kelistrikan Kita”, Kompas, 3 Maret 2014),
adalah kesalahan pemerintah. Tak elok jika rakyat tiba-tiba harus menanggung
derita.
Pemerintah menjadi “agen neolib” jika gagal melihat inti kerakyatan
dalam skema ekonominya dan melulu memelototi model komparasi harga dengan
negara lain. Ini jeratan kapitalisme – jika istilah neoliberalisme terlalu
lunak. Pemerintah selama ini membunuh dan mengotopsi institusi ekonominya
sesuai dengan kerangka regulasi global (mereka menyebutnya peta jalan
reformasi ekonomi yang sehat), yang dipromosikan IMF, World Bank, dan WTO.
Tujuannya tak lain untuk mengonfirmasi kepada dunia internasional bahwa telah
ada solusi atas pelbagai problem energi, sekaligus melegitimasi kebijakan dan
berdansa “norak” untuk menarik perhatian investor asing (Curtis J. Milhaupt and Katharina Pistor, Law and Capitalism, 2008: 45).
Sampai hari ini, saya dan ratusan ribu relawan meyakini bahwa Jokowi
dan JK tahu dimana letak “waktu rakyat” itu. Jika pun BBM harus dinaikkan,
mereka musti tahu daya tahan 80 persen rakyat Indonesia yang masih kurang
beruntung ekonomi. Filosofi Pancasila harus dipertimbangkan ketika membuat
rencana pembangunan ekonomi di tengah rakyat yang semakin kehabisan darah
akibat negara salah urus ini.
Jutaan rakyat akan semakin lemah, sakit, terluka, dan mati jika hajat
hidupnya pelan-pelan diambil. Lautan rakyat akan hilang skema waktunya jika
kebijakan neoliberalisme dipraktikkan tanpa reserve. Ini permasalahan serius bangsa. So, plizz Pak Jokowi dan JK, jagalah waktu rakyat itu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar