Minggu, 28 September 2014

Menata Republik, Memuliakan Intelektual

Menata Republik, Memuliakan Intelektual

Airlangga Pribadi Kusman  ;   Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga, Surabaya; Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University, Australia
KORAN SINDO, 26 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

SALAH satu wacana yang tengah meledak menjadi kontroversi dalam pengumuman postur kabinet adalah pembelahan kabinet pendidikan dan penggabungan Ditjen Pendidikan Tinggi dengan Kementerian Riset menjadi Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset.

Inisiatif melahirkan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset ini di satu sisi menjadi jalan pembuka untuk memberdayakan kontribusi intelektual dalam kerja-kerja risetnya. Namun demikian, inisiatif di atas tanpa memperhitungkan persoalan pertautan relasi kuasa politik dan intelektual tidak akan memberikan pengaruh besar bagi penguatan peran intelektual bagi pemenuhan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Enam belas tahun era reformasi telah berkali-kali kita dipertontonkan oleh janji-janji politik dan bongkar-pasang kebijakan. Di tengah perubahan pada tiap-tiap pemerintahan, pemimpin masih absen melakukan inisiatif untuk memanfaatkan peran dan kontribusi dari kalangan intelektual, akademisi, maupun peneliti dalam memberikan solusi dan kritik secara integratif terhadap perjalanan pembangunan dan penataan negara (state building).

Adalah benar bahwa selama ini pemerintah baik pihak eksekutif maupun legislatif menyertakan kalangan akademisi dalam pembuatan undang-undang.

Kementerian selalu melibatkan akademisi dalam memoles kebijakan, pemerintahan daerah juga mengajak kalangan intelektual dalam penyusunan peraturan daerah dan kebijakan di tingkat lokal. Namun demikian, yang dibutuhkan untuk penataan negara dan perumusan agenda pembangunan nasional lebih dari hal itu.

Peran-peran intelektual dan akademisi dalam proses bina negara (statecraft) jauh dari memadai ketika ditempatkan pada peran-peran peripheral seperti di atas yang kerap hanya diposisikan sebagai pemberi legitimasi dari arahan kebijakan yang menjadi turunan agenda politis dari elite-elite yang berkuasa.

Seperti diutarakan oleh Daniel Dhakidae dan Vedi R Hadiz (2005) bahwa posisi kalangan intelektual sejak era rezim Soeharto telah ditempatkan secara struktural sebagai instrumen atau tukang dari kekuasaan politik, yang mengintervensi kehidupan pendidikan dan pengetahuan serta memotong kalangan intelektual dari basis-basis sosial yang memungkinkan mereka bersikap kritis dan berperan independen.

Runtuhnya “raja besar” Soeharto yang tidak mengubah pola-pola relasi ekonomi-politik Indonesia pasca-otoritarianisme dan lahirnya raja-raja baru di tingkat lokal maupun oligarki-oligarki nasional baru yang muncul dari proteksi ekonomi politik sejak era Soeharto.

Dalam konstelasi politik baru inilah, sebagian besar kalangan intelektual berkumpul dan berkerumun di seputar aliansi-aliansi politik-bisnis baru menjadi bagian integral di dalamnya sebagai kekuatan hegemoni yang memproduksi pengetahuan dan legitimasi terhadap manuver-manuver para elite politik maupun korporasi. Akibat relasi intelektual dan aliansi oligarki ini fatal bagi dunia akademik.

Hal ini tampak dari laporan yang dilansir oleh UNESCO pada tahun 2010 menunjukkan bahwa kontribusi peneliti Indonesia dalam penerbitan jurnal ilmiah bahasa Inggris di Asia Tenggara selama periode 1998-2008 (10 tahun) sangatlah minim tercatat kontribusi intelektual Indonesia (5.212) di bawah Malaysia (14.731), Singapura (51.762), Thailand (23.163), dan hanya sedikit di atas Vietnam (5070) maupun Kamboja (401).

Rendahnya kontribusi ilmiah dari kalangan intelektual Indonesia ini juga tidak dapat dilepaskan dari rendahnya Growth Expenditure of Research and Development (GERD) atau bujet anggaran berbanding GDP untuk riset dari negara yang masih di bawah 1% (Riefqi Muna, 2014).

Filosof Raja

Untuk mempertimbangkan kembali betapa pentingnya peran kalangan intelektual, ilmuwan, dan peneliti dalam penataan republik, maka hendaknya kita memikirkan kembali konsep dari kebijaksanaan filosofis tua dari Plato yakni raja filosof (philosopher king). Dalam pemahaman umum selama ini pengertian raja filosof sebatas konsep pemerintahan tentang tatanan negara yang dipimpin oleh seorang raja yang cerdas dan pintar, seperti profesor menjadi presiden.

Padahal, konsep raja filosof tadi memiliki makna yang lebih luas yakni bahwa sebuah negara akan mampu memberikan kemajuan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi rakyatnya ketika pemimpinnya memuliakan kalangan intelektual dan menempatkan hasil riset dan pengetahuan mereka sebagai pandu bagi perjalanan penataan republik dan pembangunan, bukan sebaliknya. (Plato 2013, Muthahhari 1996).

Kebutuhan mendesak kepemimpinan nasional saat ini terkait dengan relasi antara intelektual dan kuasa negara adalah bagaimana negara mampu memobilisasi dan mengonsolidasikan kalangan ilmuwan untuk memberi arah dan orientasi pembangunan nasional (Jeffrey Sachs 2011). Kalau kita ambil contoh untuk merealisasikan tujuan pembangunan mencapai kedaulatan pangan, hal itu tidak bisa dilakukan tanpa mengonsolidasikan kontribusi integratif dari kaum intelektual yang berbasis di universitas.

Program kedaulatan pangan membutuhkan riset di bidang ekonomi-politik untuk melihat relasi produktif yang terjalin antara petani, aparat pedesaan, para penghubung komoditi dan struktur politik desa, riset ekonomi kerakyatan untuk memahami misalnya bagaimana pemberdayaan koperasi sebagai institusi produksi bagi petani, riset teknologi-industri untuk penyediaan infrastruktur perangkat modern pertanian bagi petani, riset agraria terkait pemberdayaan kapasitas produksi dan struktur kepemilikan tanah.

Persoalannya adalah reformasi kelembagaan dengan penataan postur kabinet ini masih belum cukup untuk menjadi formula solutif bagi pemberdayaan kaum intelektual. Tatanan ekonomi-politik Indonesia pasca-otoritarianisme menyisakan relasi-relasi pemanfaatan akses terhadap sumber daya publik dan kekuasaan bagi kepentingan segelintir oligarki, di mana intelektual kerap menjadi tukang dari manuver-manuver oligarki.

Satu hal yang patut diamati secara kritis, bukanlah tidak mungkin kepentingan privat yang mendistorsi kontribusi intelektual ini menyelinap lincah dalam desain kelembagaan yang direformulasi oleh pemerintahan Jokowi-JK.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar