Menata
Republik, Memuliakan Intelektual
Airlangga Pribadi Kusman ; Pengajar Departemen Politik FISIP Universitas Airlangga,
Surabaya; Kandidat PhD Asia Research Center Murdoch University, Australia
|
KORAN
SINDO, 26 September 2014
SALAH satu
wacana yang tengah meledak menjadi kontroversi dalam pengumuman postur
kabinet adalah pembelahan kabinet pendidikan dan penggabungan Ditjen
Pendidikan Tinggi dengan Kementerian Riset menjadi Kementerian Pendidikan
Tinggi dan Riset.
Inisiatif
melahirkan Kementerian Pendidikan Tinggi dan Riset ini di satu sisi menjadi
jalan pembuka untuk memberdayakan kontribusi intelektual dalam kerja-kerja
risetnya. Namun demikian, inisiatif di atas tanpa memperhitungkan persoalan
pertautan relasi kuasa politik dan intelektual tidak akan memberikan pengaruh
besar bagi penguatan peran intelektual bagi pemenuhan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Enam belas
tahun era reformasi telah berkali-kali kita dipertontonkan oleh janji-janji
politik dan bongkar-pasang kebijakan. Di tengah perubahan pada tiap-tiap
pemerintahan, pemimpin masih absen melakukan inisiatif untuk memanfaatkan
peran dan kontribusi dari kalangan intelektual, akademisi, maupun peneliti dalam
memberikan solusi dan kritik secara integratif terhadap perjalanan
pembangunan dan penataan negara (state
building).
Adalah benar
bahwa selama ini pemerintah baik pihak eksekutif maupun legislatif
menyertakan kalangan akademisi dalam pembuatan undang-undang.
Kementerian
selalu melibatkan akademisi dalam memoles kebijakan, pemerintahan daerah juga
mengajak kalangan intelektual dalam penyusunan peraturan daerah dan kebijakan
di tingkat lokal. Namun demikian, yang dibutuhkan untuk penataan negara dan
perumusan agenda pembangunan nasional lebih dari hal itu.
Peran-peran
intelektual dan akademisi dalam proses bina negara (statecraft) jauh dari memadai ketika ditempatkan pada peran-peran
peripheral seperti di atas yang kerap hanya diposisikan sebagai pemberi
legitimasi dari arahan kebijakan yang menjadi turunan agenda politis dari
elite-elite yang berkuasa.
Seperti
diutarakan oleh Daniel Dhakidae dan Vedi R Hadiz (2005) bahwa posisi kalangan
intelektual sejak era rezim Soeharto telah ditempatkan secara struktural
sebagai instrumen atau tukang dari kekuasaan politik, yang mengintervensi
kehidupan pendidikan dan pengetahuan serta memotong kalangan intelektual dari
basis-basis sosial yang memungkinkan mereka bersikap kritis dan berperan
independen.
Runtuhnya “raja
besar” Soeharto yang tidak mengubah pola-pola relasi ekonomi-politik
Indonesia pasca-otoritarianisme dan lahirnya raja-raja baru di tingkat lokal
maupun oligarki-oligarki nasional baru yang muncul dari proteksi ekonomi
politik sejak era Soeharto.
Dalam
konstelasi politik baru inilah, sebagian besar kalangan intelektual berkumpul
dan berkerumun di seputar aliansi-aliansi politik-bisnis baru menjadi bagian
integral di dalamnya sebagai kekuatan hegemoni yang memproduksi pengetahuan
dan legitimasi terhadap manuver-manuver para elite politik maupun korporasi.
Akibat relasi intelektual dan aliansi oligarki ini fatal bagi dunia akademik.
Hal ini tampak
dari laporan yang dilansir oleh UNESCO pada tahun 2010 menunjukkan bahwa
kontribusi peneliti Indonesia dalam penerbitan jurnal ilmiah bahasa Inggris
di Asia Tenggara selama periode 1998-2008 (10 tahun) sangatlah minim tercatat
kontribusi intelektual Indonesia (5.212) di bawah Malaysia (14.731),
Singapura (51.762), Thailand (23.163), dan hanya sedikit di atas Vietnam
(5070) maupun Kamboja (401).
Rendahnya
kontribusi ilmiah dari kalangan intelektual Indonesia ini juga tidak dapat
dilepaskan dari rendahnya Growth
Expenditure of Research and Development (GERD) atau bujet anggaran
berbanding GDP untuk riset dari negara yang masih di bawah 1% (Riefqi Muna,
2014).
Filosof Raja
Untuk
mempertimbangkan kembali betapa pentingnya peran kalangan intelektual,
ilmuwan, dan peneliti dalam penataan republik, maka hendaknya kita memikirkan
kembali konsep dari kebijaksanaan filosofis tua dari Plato yakni raja filosof
(philosopher king). Dalam pemahaman
umum selama ini pengertian raja filosof sebatas konsep pemerintahan tentang
tatanan negara yang dipimpin oleh seorang raja yang cerdas dan pintar,
seperti profesor menjadi presiden.
Padahal,
konsep raja filosof tadi memiliki makna yang lebih luas yakni bahwa sebuah
negara akan mampu memberikan kemajuan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi
rakyatnya ketika pemimpinnya memuliakan kalangan intelektual dan menempatkan
hasil riset dan pengetahuan mereka sebagai pandu bagi perjalanan penataan
republik dan pembangunan, bukan sebaliknya. (Plato 2013, Muthahhari 1996).
Kebutuhan
mendesak kepemimpinan nasional saat ini terkait dengan relasi antara
intelektual dan kuasa negara adalah bagaimana negara mampu memobilisasi dan
mengonsolidasikan kalangan ilmuwan untuk memberi arah dan orientasi
pembangunan nasional (Jeffrey Sachs 2011). Kalau kita ambil contoh untuk
merealisasikan tujuan pembangunan mencapai kedaulatan pangan, hal itu tidak
bisa dilakukan tanpa mengonsolidasikan kontribusi integratif dari kaum
intelektual yang berbasis di universitas.
Program
kedaulatan pangan membutuhkan riset di bidang ekonomi-politik untuk melihat
relasi produktif yang terjalin antara petani, aparat pedesaan, para
penghubung komoditi dan struktur politik desa, riset ekonomi kerakyatan untuk
memahami misalnya bagaimana pemberdayaan koperasi sebagai institusi produksi
bagi petani, riset teknologi-industri untuk penyediaan infrastruktur
perangkat modern pertanian bagi petani, riset agraria terkait pemberdayaan
kapasitas produksi dan struktur kepemilikan tanah.
Persoalannya
adalah reformasi kelembagaan dengan penataan postur kabinet ini masih belum
cukup untuk menjadi formula solutif bagi pemberdayaan kaum intelektual.
Tatanan ekonomi-politik Indonesia pasca-otoritarianisme menyisakan
relasi-relasi pemanfaatan akses terhadap sumber daya publik dan kekuasaan
bagi kepentingan segelintir oligarki, di mana intelektual kerap menjadi
tukang dari manuver-manuver oligarki.
Satu hal yang
patut diamati secara kritis, bukanlah tidak mungkin kepentingan privat yang
mendistorsi kontribusi intelektual ini menyelinap lincah dalam desain
kelembagaan yang direformulasi oleh pemerintahan Jokowi-JK. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar