Demokrasi
Bukan untuk Menyesatkan
Arissetyanto ; Rektor
Universitas Mercu Buana Jakarta
|
KORAN
SINDO, 25 September 2014
Setelah 16
tahun era reformasi berjalan, dunia politik nasional kembali diriuhkan oleh
kencangnya keinginan untuk mengubah sistem politik, yakni terkait pemilihan
kepala daerah (pilkada).
Situasi ini
disebabkan adanya perubahan pasal pada RUU Pemilihan Kepala Daerah, yang
merujuk kepada pelaksanaan pemilihan gubernur/bupati/ wali kota dilakukan
oleh anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. RUU Pilkada adalah bagian
dari RUU Pemerintahan Daerah (Pemda) yang diajukan pemerintah, dalam hal ini
Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), kepada DPR untuk menggantikan UU Nomor
32/2004 jo UU Nomor 12/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah.
Kementerian
Dalam Negeri melansir, setidaknya lebih dari 300 orang pejabat daerah telah
menjadi tersangka korupsi. Hal ini menunjukkan keberadaan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sering melakukan tangkap tangan tidak
membuat jera para pejabat pemerintah di pusat dan daerah. Tingginya biaya
politik dalam sistem politik setelah amendemen UUD 1945 dituding sebagai
faktor penyebab utama. Pelaksanaan pemilu legislatif, pemilu presiden, pemilu
gubernur, dan pemilu bupati/wali kota secara langsung menimbulkan tingginya
biaya politik. Setiap pelaksanaan pemilu dan pilkada selalu menimbulkan
kontroversi.
Munculnya
gugatan dari pihak yang merasa dicurangi atau dirugikan sehingga menyebabkan
kekalahan. Penyakit paling kronis adalah adanya money politics. Bisa dibayangkan, bagaimana seorang calon anggota
legislatif meminta tim suksesnya mengembalikan kubah masjid yang sudah
disumbangkan untuk sebuah desa karena suaranya ternyata jeblok di TPS-TPS
desa tersebut. Tentu masih banyak kasus-kasus lain yang membuat miris siapa
pun. Sudah menjadi kisah usang pula apabila seorang caleg akhirnya harus mengalami
habis harta bendanya dan menimbun banyak utang karena ikut bertarung dalam
pemilihan untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Kasus-kasus
yang terjadi di dalam ”pesta demokrasi” tersebut tidak boleh dianggap remeh.
Bagaimana mungkin proses demokrasi dinodai oleh perbuatan curang? Bagaimana
”suara rakyat” yang bisa ”ditukargulingkan” dengan perbaikan jalan yang hanya
beberapa ratus meter panjangnya? Saya yakin, para pendiri bangsa yang sudah
menemukan sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 akan
meneteskan air mata apabila bisa menyaksikan betapa ”minimnya” hati nurani
para elite politik— yang mengatasnamakan demokrasi— menempatkan pemilu dan
pilkada secara langsung sebagai ”dewa demokrasi”.
Peran Parpol
Dengan
demikian, sesungguhnya wajar apabila terdapat kelompok anggota DPR dari
berbagai fraksi Senayan mengusulkan dilakukan pilkada melalui DPRD provinsi
dan DPRD kabupaten/kota, tidak menggunakan sistem pilkada langsung. Pemilihan
gubernur, bupati dan wali kota melalui DPRD provinsi dan kabupaten/kota tidak
berarti mencederai demokrasi. Tidak berarti pula kehidupan berbangsa dan
bernegara menjadi mundur karena adanya perubahan sistem pilkada, bahkan
pemilu presiden sekalipun.
Tidak berarti
pula mengkhianati reformasi dan menghalangi suara rakyat dalam berdemokrasi?
Bukankah rakyat sudah menguasakan suaranya kepada para wakil rakyat di DPRD?
Dengan adanya pemilihan kepala daerah oleh DPRD ada banyak manfaat yang dapat
diperoleh. Penghematan pembiayaan dan minimnya potensi konflik horizontal
yang berkepanjangan baik di kalangan PNS maupun rakyat daerah. Setiap calon
tidak perlu lagi berkampanye secara langsung, membuat atribut, memasang iklan
kampanye, dan membagi-bagi bantuan dalam bentuk barang maupun uang.
Kapabilitas
dan integritas seorang calon akan lebih mudah diketahui karena sudah sangat
dikenal oleh masing-masing parpol/fraksi pengusungnya. Selain itu, gubernur,
bupati, dan wali kota terpilih akan lebih mudah dimintai pertanggungjawaban
terhadap program-program pembangunan yang dilakukan. Setiap kepala daerah
tidak bisa lagi beralasan bahwa rakyat masih mendukungnya dan rakyat menerima
program pembangunan yang dilakukan di daerahnya.
Untuk
meminimalkan efek negatif pilkada tak langsung adalah parpol dituntut lebih
terpacu untuk memajukan kaderkader terpilihnya. Untuk itu, parpol harus
benar-benar melakukan perbaikan menyeluruh rekrutmen atas setiap kadernya
yang memiliki kapabilitas dan integritas mumpuni untuk dicalonkan sebagai
anggota Dewan maupun pimpinan daerah.
Jika di era
lalu kita mengenal penelitian khusus untuk menyaring rekam jejak calon anggota
Dewan dan pimpinan daerah,maka saat ini kita bisa mengaplikasikan hal serupa
dalam bentuk yang berbeda, misalnya prasyarat mengikuti tes potensi akademik
bagi calon mahasiswa S-2, TOEFL score, dll. Track record seorang kader akan lebih mudah ditelisik ketimbang
harus mencalonkan orang di luar parpol apalagi orang yang benar-benar baru
dalam menjalani karier politiknya.
Parpol harus
menjadi kawah candradimuka untuk kader-kader pemimpin di Indonesia. Artinya,
parpol tidak bisa lagi mengusung kader-kader kagetan yang direkrut karena
kemampuan finansial dan sudah populer di masyarakat. Praktek money politics pun bisa lebih
diminimalisasi karena masing-masing anggota Dewan akan saling melakukan
kontrol terhadap anggota lainnya.
Jadi kita
tidak perlu harus takut dengan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung
karena kenyataannya hingga kini 12 juta penduduk DKI ”rela” bupati dan wali
kota diangkat gubernur serta 3,5 juta penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta
bangga memiliki gubernur dan wakil gubernur yang tidak pernah dipilih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar