Minggu, 28 September 2014

Demokrasi Bukan untuk Menyesatkan

Demokrasi Bukan untuk Menyesatkan

Arissetyanto ;   Rektor Universitas Mercu Buana Jakarta
KORAN SINDO, 25 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Setelah 16 tahun era reformasi berjalan, dunia politik nasional kembali diriuhkan oleh kencangnya keinginan untuk mengubah sistem politik, yakni terkait pemilihan kepala daerah (pilkada).

Situasi ini disebabkan adanya perubahan pasal pada RUU Pemilihan Kepala Daerah, yang merujuk kepada pelaksanaan pemilihan gubernur/bupati/ wali kota dilakukan oleh anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. RUU Pilkada adalah bagian dari RUU Pemerintahan Daerah (Pemda) yang diajukan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), kepada DPR untuk menggantikan UU Nomor 32/2004 jo UU Nomor 12/2008 tentang Pemilihan Kepala Daerah.

Kementerian Dalam Negeri melansir, setidaknya lebih dari 300 orang pejabat daerah telah menjadi tersangka korupsi. Hal ini menunjukkan keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sering melakukan tangkap tangan tidak membuat jera para pejabat pemerintah di pusat dan daerah. Tingginya biaya politik dalam sistem politik setelah amendemen UUD 1945 dituding sebagai faktor penyebab utama. Pelaksanaan pemilu legislatif, pemilu presiden, pemilu gubernur, dan pemilu bupati/wali kota secara langsung menimbulkan tingginya biaya politik. Setiap pelaksanaan pemilu dan pilkada selalu menimbulkan kontroversi.

Munculnya gugatan dari pihak yang merasa dicurangi atau dirugikan sehingga menyebabkan kekalahan. Penyakit paling kronis adalah adanya money politics. Bisa dibayangkan, bagaimana seorang calon anggota legislatif meminta tim suksesnya mengembalikan kubah masjid yang sudah disumbangkan untuk sebuah desa karena suaranya ternyata jeblok di TPS-TPS desa tersebut. Tentu masih banyak kasus-kasus lain yang membuat miris siapa pun. Sudah menjadi kisah usang pula apabila seorang caleg akhirnya harus mengalami habis harta bendanya dan menimbun banyak utang karena ikut bertarung dalam pemilihan untuk DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.

Kasus-kasus yang terjadi di dalam ”pesta demokrasi” tersebut tidak boleh dianggap remeh. Bagaimana mungkin proses demokrasi dinodai oleh perbuatan curang? Bagaimana ”suara rakyat” yang bisa ”ditukargulingkan” dengan perbaikan jalan yang hanya beberapa ratus meter panjangnya? Saya yakin, para pendiri bangsa yang sudah menemukan sistem kenegaraan berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 akan meneteskan air mata apabila bisa menyaksikan betapa ”minimnya” hati nurani para elite politik— yang mengatasnamakan demokrasi— menempatkan pemilu dan pilkada secara langsung sebagai ”dewa demokrasi”.

Peran Parpol

Dengan demikian, sesungguhnya wajar apabila terdapat kelompok anggota DPR dari berbagai fraksi Senayan mengusulkan dilakukan pilkada melalui DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, tidak menggunakan sistem pilkada langsung. Pemilihan gubernur, bupati dan wali kota melalui DPRD provinsi dan kabupaten/kota tidak berarti mencederai demokrasi. Tidak berarti pula kehidupan berbangsa dan bernegara menjadi mundur karena adanya perubahan sistem pilkada, bahkan pemilu presiden sekalipun.

Tidak berarti pula mengkhianati reformasi dan menghalangi suara rakyat dalam berdemokrasi? Bukankah rakyat sudah menguasakan suaranya kepada para wakil rakyat di DPRD? Dengan adanya pemilihan kepala daerah oleh DPRD ada banyak manfaat yang dapat diperoleh. Penghematan pembiayaan dan minimnya potensi konflik horizontal yang berkepanjangan baik di kalangan PNS maupun rakyat daerah. Setiap calon tidak perlu lagi berkampanye secara langsung, membuat atribut, memasang iklan kampanye, dan membagi-bagi bantuan dalam bentuk barang maupun uang.

Kapabilitas dan integritas seorang calon akan lebih mudah diketahui karena sudah sangat dikenal oleh masing-masing parpol/fraksi pengusungnya. Selain itu, gubernur, bupati, dan wali kota terpilih akan lebih mudah dimintai pertanggungjawaban terhadap program-program pembangunan yang dilakukan. Setiap kepala daerah tidak bisa lagi beralasan bahwa rakyat masih mendukungnya dan rakyat menerima program pembangunan yang dilakukan di daerahnya.

Untuk meminimalkan efek negatif pilkada tak langsung adalah parpol dituntut lebih terpacu untuk memajukan kaderkader terpilihnya. Untuk itu, parpol harus benar-benar melakukan perbaikan menyeluruh rekrutmen atas setiap kadernya yang memiliki kapabilitas dan integritas mumpuni untuk dicalonkan sebagai anggota Dewan maupun pimpinan daerah.

Jika di era lalu kita mengenal penelitian khusus untuk menyaring rekam jejak calon anggota Dewan dan pimpinan daerah,maka saat ini kita bisa mengaplikasikan hal serupa dalam bentuk yang berbeda, misalnya prasyarat mengikuti tes potensi akademik bagi calon mahasiswa S-2, TOEFL score, dll. Track record seorang kader akan lebih mudah ditelisik ketimbang harus mencalonkan orang di luar parpol apalagi orang yang benar-benar baru dalam menjalani karier politiknya.

Parpol harus menjadi kawah candradimuka untuk kader-kader pemimpin di Indonesia. Artinya, parpol tidak bisa lagi mengusung kader-kader kagetan yang direkrut karena kemampuan finansial dan sudah populer di masyarakat. Praktek money politics pun bisa lebih diminimalisasi karena masing-masing anggota Dewan akan saling melakukan kontrol terhadap anggota lainnya.

Jadi kita tidak perlu harus takut dengan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung karena kenyataannya hingga kini 12 juta penduduk DKI ”rela” bupati dan wali kota diangkat gubernur serta 3,5 juta penduduk Daerah Istimewa Yogyakarta bangga memiliki gubernur dan wakil gubernur yang tidak pernah dipilih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar