Kepalsuan
SBY
Tomy C Gutomo ; Wartawan
Jawa Pos
|
JAWA
POS, 27 September 2014
SANDIWARA
politik kembali dipertontonkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Ketua umum
Partai Demokrat yang juga presiden RI yang sebentar lagi lengser itu adalah
aktor utama keberhasilan Koalisi Merah Putih (KMP) mengegolkan pemilihan
kepala daerah (pilkada) melalui DPRD. Beberapa jam setelah Wakil Ketua DPR
Priyo Budi Santoso mengetukkan palu tanda disahkannya Undang-Undang (UU)
Pilkada yang baru, SBY berakting sedih. Dari Washington DC, SBY menyatakan
kecewa atas hasil voting DPR kemarin dini hari (26/9). Untuk meyakinkan
aktingnya itu, SBY kemudian memerintah Ketua Dewan Kehormatan Partai Demokrat
Amir Syamsuddin mengusut dalang aksi walkout
(WO) Fraksi Partai Demokrat (FPD) saat rapat paripurna.
FPD merupakan
penentu dalam pengambilan keputusan pada rapat paripurna yang dimulai Kamis
siang (25/9) tersebut. Seperti kita saksikan bersama, sebenarnya peluang
kemenangan opsi pilkada langsung dengan penambahan sepuluh poin yang
diusulkan Demokrat sudah ada di depan mata. Fraksi PDIP, FPKB, dan Fraksi
Partai Hanura sudah menyatakan mendukung opsi itu. Namun anehnya, setelah
opsinya mendapat dukungan dan bakal menang, Benny K. Harman yang menjadi juru
bicara FPD malah menyatakan bahwa fraksinya netral.
Tidak cukup
itu, Benny yang memiliki nama tengah Kabur
mengatakan bahwa fraksinya kabur alias wo. WO-nya FPD tidak berarti netral.
Substansi WO FPD adalah mendukung pilkada melalui DPRD. FPD pasti menyadari,
kalau mereka abstain atau WO, pemenangnya adalah opsi pilkada melalui DPRD.
Jadi, dalam rapat paripurna DPR tersebut, FPD menjadi ”pahlawan” bagi KMP.
FPD awalnya
ingin memecah suara pendukung pilkada langsung dengan mengusulkan opsi ketiga
setelah opsi pilkada langsung dan pilkada melalui DPRD. Harapannya, dengan
muncul tiga opsi, pemenangnya tetap opsi pilkada melalui DPRD. Namun,
ternyata FPDIP, FPKB, dan Fraksi Hanura mendukung opsi FPD. Kalau opsi ketiga
bisa dipaksakan masuk, tentu mau tidak mau FPD akan memilih opsi yang
diusungnya sendiri. Tapi, karena niat FPD sebenarnya adalah mengegolkan
pilkada melalui DPRD, mereka memilih WO agar tidak terjebak dalam voting.
Gelagat
Demokrat dan SBY mendukung pilkada langsung sebenarnya sudah terlihat sebelum
rapat paripurna digelar. Statemen SBY yang mendukung pilkada langsung di
YouTube pada pertengahan September 2014 tidak lebih dari sekadar PHP (pemberi
harapan palsu). Sama persis ketika SBY menggelar konvensi Partai Demokrat
yang kemudian dimenangi Dahlan Iskan. Konvensi itu hanya PHP dan tidak ada
artinya karena pemenangnya bukan yang diinginkan SBY. Setelah membuat
pernyataan di YouTube, SBY kebanjiran pujian. Semua terbuai silat lidah
pencipta lagu Rinduku Padamu itu.
Kalau serius
dan benar-benar mendukung pilkada langsung, seharusnya sebagai presiden SBY
tinggal memerintah Mendagri Gamawan Fauzi menarik RUU pilkada sebelum masuk
ke paripurna DPR. Sebab, RUU tersebut adalah usulan pemerintah. SBY tidak
bisa berdalih bahwa sikapnya sebagai ketua umum Demokrat tak dapat disamakan
dengan sikapnya sebagai presiden. Sebab, Demokrat adalah pemimpin rezim yang
sedang berkuasa.
Dapat
disimpulkan, posisi SBY sebenarnya adalah mendukung pilkada melalui DPRD.
Namun, agar citranya di akhir jabatan tidak tercoreng, dia berkedok mendukung
pilkada langsung. Bisa saja SBY akan kembali berakting dengan tidak
menandatangani RUU pilkada. Tapi, itu tidak berarti karena dalam 30 hari,
apabila presiden tidak menandatangani, RUU tersebut tetap sah dan berlaku
sebagai UU. Karena itu, sebaiknya pada 22 hari terakhir masa jabatannya, SBY
tidak perlu bersandiwara lagi. Sudah cukup selama sepuluh tahun rakyat Indonesia disuguhi drama
pencitraan Anda. Sudah cukup wartawan di istana disuapi berita dan adegan
setingan.
Situasi ke
Depan
Masih ada
peluang untuk mengganjal berlakunya UU Pilkada yang baru itu. Sejumlah kepala
daerah yang dimotori Wali Kota Bandung Ridwan Kamil sudah berancang-ancang
melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, seperti yang
kerap dikemukakan mantan Ketua MK Mahfud M.D., peninjauan kembali UU Pilkada
ke MK akan sia-sia. Sebab, dari kacamata konstitusi, pilkada langsung atau
tidak langsung sama-sama konstitusional. MK hanya menguji dari kacamata
konstitusi, bukan menguji derajat demokrasi dua sistem pilkada itu.
Peluang yang
terbuka adalah menggugat ke MK atas sengketa UU Pilkada dan UU MPR, DPR, DPD,
dan DPRD (MD3). Di UU MD3, pada kewenangan DPRD provinsi (pasal 317) dan
kewenangan DPRD kabupaten/kota (pasal 336) sama sekali tidak tertulis adanya
wewenang DPRD memilih kepala daerah. Dulu UU tersebut disahkan secara
terburu-buru karena KMP begitu berfokus pada bab penentuan pimpinan DPR.
Karena sesuai dengan UU MD3 DPRD tidak memiliki wewenang untuk memilih kepala
daerah, seharusnya UU Pilkada juga tidak bisa dilaksanakan. Kecuali ada
tafsir hukum lain yang kemudian menyatakan bahwa dua UU tersebut tidak saling
bertabrakan.
Bila skenario
itu gagal, artinya rakyat harus menerima kenyataan tidak bisa lagi memilih
bupati/wali kota dan gubernurnya secara langsung. Kita harus menerima
kenyataan, tidak akan ada calon kepala daerah independen yang terpilih. Kita
akan kembali menyaksikan pesta pora anggota DPRD saat pilkada. Kita juga akan
menyaksikan para kepala daerah menjadi ”ATM” bagi para legislator. Selamat
datang, New Orde Baru. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar