Jualan
Surga
Komaruddin Hidayat ; Rektor UIN Jakarta
|
KORAN
SINDO, 26 September 2014
Setiap bermain
golf bersama Pak JK (Jusuf Kalla), selalu saja saya mendapatkan cerita dan
lontaran pemikiran yang spontan, cerdas, dan jenaka. Misalnya saja
Jumat lalu saya bermain golf di Senayan, sambil berjalan menapaki hamparan
lapangan hijau kami berbincang ringan tentang fenomena gerakan ISIS di Irak-Suriah
yang imbasnya sampai Indonesia. Spontan, Pak JK berkomentar, gerakan
radikalisme agama itu di mana-mana selalu menawarkan jualan surga. Dianggapnya
surga itu bisa diraih dengan pintas hanya dengan melakukan bom bunuh diri
dengan niat jihad di jalan Allah.
Padahal dalam
setiap ceramah selalu ditutup dengan doa sapu jagat: Robbana atina fid-dunya hasana wa fil akhiroti hasanah waqina Robbana
atina fid-dunya hasana wa fil akhiroti hasanah waqina adzabannar (Ya Tuhan kami, berikanlah kami kebaikan di
dunia dan kebaikan di akhirat. Selamatkanlah kami dari api neraka). Jadi,
kita diperintah oleh Allah, yang pertama untuk membangun kehidupan yang baik,
damai, dan sejahtera. Sedangkan akhirat itu buah atau imbalan amal kita di
dunia.
Anehnya, kita
sangat hafal dengan doa itu, tetapi doa itu tidak menimbulkan gerakan
membangun kebajikan di dunia. Orang sanggup berjam-jam mengikuti pengajian
dan doa bersama. Itu satu hal yang sangat bagus. Tetapi, akan jauh lebih
bagus lagi kalau umat dan masyarakat itu digerakkan untuk juga kerja
produktif membangun kehidupan yang baik. Ukuran kebaikan itu secara umum
ditandai dengan tingkat pendidikan yang bagus, sejahtera, aman, dan
produktif.
Coba saja
perhatikan, kata Pak JK. Dalam berbagai gerakan radikalisme agama itu yang
diberitakan mati duluan adalah mereka yang pendidikannya rendah, ekonominya
kurang baik. Tetapi, para pimpinannya yang menganjurkan jihad dengan
kekerasan itu tinggal atau sembunyi di tempat yang aman. Mereka menganjurkan
orang lain jihad dengan nyawa, tetapi dirinya sesungguhnya memiliki agenda
dan cita-cita untuk menikmati kehidupan dunia.
Mengapa
begitu? Karena pada dasarnya naluri manusia memang menginginkan kehidupan
yang baik di dunia sebelum ajal tiba. Maka itu, agama pun menganjurkan agar
manusia membangun kehidupan yang baik, hidup dalam suasana damai dan
sejahtera. Pak JK memang sangat fasih dan tak pernah habis bahan cerita kalau
bicara soal kekerasan dan perdamaian karena kita semua tahu reputasinya
ketika mendamaikan konflik di Aceh, Ambon, dan Poso.
Baik
provokator yang datang dari kubu Islam maupun Kristen, katanya, selalu
menawarkan jalan ke surga secara pintas dengan modal nekat setelah didoktrin
untuk menyerang lawan semata karena beda keyakinan agama. Bayangkan, jika
hanya karena beda keyakinan agama lalu seseorang membunuh yang lain dengan
harapan akan langsung masuk surga, agama justru akan menjadi sumber kekacauan
dan permusuhan, bukan sumber pencerahan, perdamaian, dan kebaikan hidup
bersama.
Padahal
bukankah semua agama memiliki motto sebagai sumber dan kekuatan perdamaian
dan keadaban? Timur Tengah yang dalam sejarahnya merupakan wilayah kelahiran
para nabi pembawa agama besar dunia sekarang ini citranya justru menjadi
sumber api peperangan dan saling bunuh dengan melibatkan slogan dan motto
keagamaan. Sebuah ironi sejarah.
Anehnya lagi,
masyarakat Indonesia yang memiliki sejarah toleransi dan saling menghargai
perbedaan - Bhinneka Tunggal Ika - sekarang malah ada yang ikut-ikutan. Di
rumah besar Indonesia ini melebur sekian banyak kesultanan untuk bersama
menjaga dan memajukan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kesultanan
Hamengku Buwono Yogyakarta yang bergelar Khalifatullah Sayyidin Panata Gama
bahkan rela melebur masuk dalam NKRI, juga beberapa sultan lain di Nusantara
ini. Jadi, jauh sebelum ISIS mendeklarasikan khalifah yang diberitakan
mengajarkan kekerasan dan pembunuhan, di Yogyakarta sudah ada khalifah dan
sultan yang justru ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Mereka keras
melawan penjajah, tetapi penyebar kedamaian sesama warga Indonesia meski
berbeda etnis dan agama. Tulisan ini jangan diartikan saya antigerakan jihad
atau berjuang di jalan Tuhan. Tetapi, hanya ingin mengingatkan bahwa jihad
yang lebih utama adalah berjihad membangun kehidupan yang baik, sejahtera,
dan damai sebagai rasa syukur dan tanggung jawab atas anugerah kehidupan yang
diberikan Tuhan kepada kita semua.
Sesekali dalam
sejarah peperangan dan pertempuran memang tidak bisa dielakkan. Tetapi, itu
mesti memiliki alasan yang sangat kuat yang dibenarkan nalar sehat, etika
sosial, dan pemahaman agama yang senantiasa menekankan prinsip keadilan,
kebenaran, dan prokehidupan.
Mengikuti
berita seputar kekerasan oleh gerakan ISIS yang mendeklarasikan muncul
khalifah baru bagi umat Islam sedunia, juga gerakan radikalisme keagamaan
yang ingin mendirikan negara Islam sebagai pengganti NKRI, jika itu sebatas
wacana keilmuan atau gerakan ideologis yang ditawarkan secara damai dan
legal, itu sah-sah saja.
Kita hidup di
zaman terbuka yang memungkinkan siapa pun mengemukakan gagasan asalkan tidak
melalui jalan kekerasan dan pemaksaan. Ide apa pun dipersilakan masuk ke
bursa pasar secara terbuka.
Nanti
masyarakat yang akan menguji dan menilai itu. Hanya, di sana ada rambu-rambu
hukum, undang-undang, etika kepantasan sosial, dan mesti menjaga hak-hak
warga negara untuk hidup tenang, bebas dari ancaman dan paksaan. Semua itu mesti
ditaati. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar