Dilema
Pemilihan Kepala Daerah
Tommy TRD ; PNS Pemko Padang
|
HALUAN,
26 September 2014
Rakyat indonesia kembali menunjukan kehidupan berdemokrasinya akhir-akhir
ini. Setelah perhelatan nasional pemilihan Presiden, rakyat Indonesia kembali
bermusyawarah mufakat untuk menentukan sistem pemilihan kepala daerah.
Dua kekuatan utama di
pemerintahan nasional dan parlemen memiliki pandangan yang berbeda. Pemilihan
oleh DPRD di propinsi dan kabupaten/kota didukung oleh Koalisi Merah Putih
(KMP) yang dimotori oleh Gerindra. Sementara bertahan dengan status quo didukung oleh partai
pemenang pilpres PDI Perjuangan dan beberapa partai lainnya.
Sudut pandang saya sebagai
penulis, bahwa semua sistem pemilihan kepala daerah ini memiliki sisi positif
dan negatif masing-masing. Banyak pendapat yang bisa digunakan dalam
mendukung sebuah pemikiran masing-masing. Jika kita melihat kondisi rakyat
Indonesia saat ini, cukup menjadi dilematis tentang penentuan sistem pemilihan
kepala daerah yang akan menjadi pemimpin pemerintahan di tingkat propinsi,
kabupaten dan kota. Pemilihan langsung seperti yang dilaksanakan
saat ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Untuk Pilkada di Sumatera
Barat bahkan menghabiskan hingga ratusan miliar. Sebagai penulis, saya hanya
ingin membuat sebuah perbandingan, hal-hal yang dihasilkan oleh pilkada
langsung.
Pilkada langsung memiliki aspek
positif bahwa itu menjadi cerminan langsung dari kehendak rakyat atau
masyarakat, namun seperti yang dituliskan di atas bahwa membutuhkan cost yang sangat tinggi. Indonesia
telah menjadi negara yang terlalu politis sehingga kadang kerap
meninggalkan aspek-aspek primer dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tidak banyak pejabat di negeri ini yang berbicara mengenai pendidikan, tidak
banyak stasiun TV yang memberitakan hal-hal yang mendidik atau hal-hal
yang terkait dunia pendidikan. Kalaupun ada berita mengenai pendidikan
lebih cenderung memberitakan tawuran, pungli, skandal dan hal-hal
negatif lainnya.
Jika kita semua sepakat, suka
atau tidak suka harus diakui bahwa pembangunan dan majunya sebuah negara
tidak lepas dari sistem pendidikan yang membentuk masyarakat suatu negara
itu sendiri. Bahkan konon ketika Jepang menderita kekalahan dalam perang
dunia kedua, kaisar hanya mengajukan satu pertanyaan kepada para pembantunya,
yaitu “berapa guru yang tersisa ?” Hal ini membuktikan bahwa begitu
pentingnya makna pendidikan bagi negara sakura itu, dan dapat kita saksikan
pertumbuhan negara Jepang di tengah-tengah dominasi negara maju dari belahan
barat.
Ada baiknya kita sebagai bangsa
Indonesia tidak lagi melulu menjadi negara yang terlalu politik sehingga
meninggalkan hal-hal yang sebenarnya lebih urgen. Memang demokrasi adalah
hal yang urgen, karena menjadi satu-satunya sistem yang bertahan dalam menghadapi
perubahan dunia. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah demokrasi seperti
apa ? Jika kita mengadopsi demokrasi yang dipraktekan oleh negara-negara
barat, ada baiknya kita mengadopsi dengan baik, dan tidak setengah-setengah
sehingga menimbulkan begitu banyak salah kaprah dalam aplikasinya di dalam
negeri. Bahkan Amerika Serikat tidak melaksanakan pemilihan langsung dalam
pemilihan presidennya.
Lalu sudah sepantasnya kita
bertanya demokrasi apa sesungguhnya yang kita laksanakan. Lebih jauh lagi,
mungkin perlu kita mengigat kembali pesan Cicero, “naik tanpa
persiapan, turun tanpa penghormatan”. Maka apapun kebijakan yang akan diambil
oleh pemerintah terhadap sistem pelaksanaan pilkada, ada baiknya masyarakat
kita diberikan pemahaman yang cukup mengenai politik. Berbeda dengan Myanmar
yang rela ditahan demi mendapatkan hak politiknya, Indonesia bukanlah negara
yang memahami politik sedemikian dalam. Sudahkah partai politik melaksanakan
tugasnya berupa memberikan pendidikan politik kepada masyarakat?
Namun sebelum membahas
perpolitikan itu lebih jauh, sebagai bangsa dan negara ini ada baiknya kita
memikirkan masa depan bangsa ini, masa depan generasi penerus yang akan
menjamin keberlangsungan negara ini dalam existingnya dalam peta
internasional. Situasi yang dihadapi oleh bangsa yang kita cintai ini kian
hari kian ekstrem, ada perlunya kita mengambil langkah yang cukup ekstrim
pula untuk kebaikan masa depan.
Mungkin sudah masanya kita
mempercayakan masa depan bangsa dan negara kita ini kepada generasi penerus
yang diberikan pendidikan yang baik dan kesempatan yang layak, sehingga tidak
lagi kita mendengar begitu banyak generasi muda yang menerima beasiswa dari
negara tetangga dan kemudian mengganti kewarganegaraannya. Cobalah sejenak
kita tidak lagi berorientasi kepada aspek politik suatu bangsa, tapi kita
mengorbankan egoisme status quo itu dengan menempatkan pembinaan pendidikan
dalam urutan teratas dalam skala prioritas. Memang hal itu mungkin tidak akan
menjadi populer dan tren, tetapi sebaiknya kita yakini bahwa berdikarinya
sebuah negara tidak bergantung kepada trend ataupun popularitas, tetapi
terkait dengan good will pemerintah
dan konsistensi dalam melaksanakan good
will tersebut.
Kepada wakil rakyat yang
sama-sama kita hormati, perlu kita gantungkan harapan agar tidak terjadinya
lost generation dalam bangsa kita ini, berkorbanlah mereka demi orang-orang
yang akan meneruskan perjuangan mereka di masa yang jauh akan datang. Tetapkanlah
keputusan yang memang akan berdampak positif dalam jangka yang panjang.
Sudah bukan saatnya politik dijadikan komoditi jual beli demi suara rakyat.
Dapat pula kita selidiki dalam pelaksanaan pilkada langsung, berapa banyak
biaya yang dikeluarkan pemerintah, dan berapa banyak masyarakat yang
menggunakan hal pilihnya, jika memang itu tidak sebanding, kenapa kita harus
memaksakan hal yang populer tetapi membahayakan kehidupan berbangsa dan
bernegara ke depan. Pertanyaannya adalah mampukan kita membuat suatu
kebijakan yang akan merubah bangsa kita ke depan demi kebaikan bangsa dan
negara. Dapat pula kita saksikan bahwa dalam pilkada langsung yang cenderung
“memenangi” pilkada adalah kelompok yang tergabung ke dalam golput, hal ini
secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi legitimasi kepala daerah
yang terpilih, sehingga sering kita mendengar kerusuhan yang dilatarbelakangi
oleh pilkada. Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD memang tidak menjamin akan
segala halnya berlangsung dengan sempurna, namun jika kita mengambil secara
umum, ada baiknya negara tidak membayar terlalu mahal untuk
dampak-dampak buruk.
Pendiri negara ini tentu tidak
membuat sebuah kebijakan untuk dirinya pribadi, karena pada zaman itu mungkin
tidak seperti zaman sekarang yang terlalu hedonis. Sebagaimana yang dicantumkan
dalam Pancasila yang menjadi dasar negara, ‘Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan perwakilan’. Mungkin ada baiknya kita kembali menggali
hal-hal positif yang ditinggalkan oleh para pendahulu, dibandingkan
menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa dan negara. Namun
apapun yang menjadi kebijakan bangsa dan negara yang kita cintai ini ke
depan, semoga kita semua yang menjadi stakeholder
bangsa ini mampu memberikan yang terbaik dalam melaksanakan tugas dan
menjalankan perannya masing-masing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar