Minggu, 28 September 2014

Dilema Pemilihan Kepala Daerah

                              Dilema Pemilihan Kepala Daerah

Tommy TRD ;   PNS Pemko Padang
HALUAN,  26 September 2014

                                                                                                                       


Rakyat indonesia kembali menunjukan kehidupan ber­de­mok­ra­sinya a­khir-a­khir ini. Setelah perhelatan nasional pemilihan Presiden, rakyat Indonesia kembali bermusya­warah mufakat untuk menen­tukan sistem pemilihan kepala daerah.

Dua kekuatan utama di pemerintahan nasional dan parlemen memiliki pandangan yang berbeda. Pemilihan oleh DPRD di propinsi dan kabu­paten/kota didukung oleh Koalisi Merah Putih (KMP) yang dimotori oleh Gerindra. Sementara bertahan dengan status quo didukung oleh partai pemenang pilpres PDI Perjua­ngan dan beberapa partai lainnya.

Sudut pandang saya sebagai penulis, bahwa semua sistem pemilihan kepala daerah ini memiliki sisi positif dan negatif masing-masing. Banyak penda­pat yang bisa digunakan dalam mendukung sebuah pemikiran masing-masing. Jika kita me­lihat kondisi rakyat Indonesia sa­at ini, cukup menjadi dile­ma­tis tentang penentuan sistem pe­­­mi­lihan kepala daerah yang a­kan menjadi pemimpin pemerin­ta­han di tingkat propinsi, ka­bu­­pa­ten dan kota. Pemilihan lang­­­­sung seperti yang dilaksanakan saat ini membutuhkan bi­aya yang tidak sedikit. Untuk Pil­­ka­­da di Sumatera Barat bah­kan menghabiskan hingga ratu­­san miliar. Sebagai penulis, sa­ya ha­nya ingin membuat se­­bu­­ah per­­bandingan, hal-hal yang dihasilkan oleh pilkada lang­sung.

Pilkada langsung memiliki as­pek positif bahwa itu menjadi cer­minan langsung dari kehend­ak rakyat atau masyarakat, na­mun seperti yang dituliskan di atas bahwa membutuhkan cost yang sangat tinggi. Indo­ne­sia telah menjadi negara yang terlalu politis sehingga ka­­dang kerap meninggalkan aspek-aspek primer dalam kehi­dupan ber­bangsa dan berne­gara. Tidak banyak pejabat di nege­ri ini yang berbicara me­nge­­nai pendidikan, ti­dak ba­nyak stasiun TV yang memberitakan hal-hal yang men­­­di­dik atau hal-hal yang ter­ka­it dunia pen­didikan. Kalau­pun ada berita mengenai pen­di­­di­kan lebih cenderung mem­be­­ri­­takan tawuran, pungli, skan­­­­dal dan hal-hal negatif lainnya.

Jika kita semua sepakat, su­ka atau tidak suka harus diakui bahwa pembangunan dan majunya sebuah negara tidak lepas dari sistem pendi­dikan yang membentuk masya­rakat suatu negara itu sendiri. Bahkan konon ketika Jepang menderita kekalahan dalam perang dunia kedua, kaisar hanya mengajukan satu perta­nyaan kepada para pembantu­nya, yaitu “berapa guru yang tersisa ?” Hal ini membuktikan bahwa begitu pentingnya makna pendidikan bagi negara sakura itu, dan dapat kita saksikan pertumbuhan negara Jepang di tengah-tengah dominasi negara maju dari belahan barat.

Ada baiknya kita sebagai bangsa Indonesia tidak lagi melulu menjadi negara yang terlalu politik sehingga mening­galkan hal-hal yang sebenarnya lebih urgen. Memang demokrasi adalah hal yang urgen, karena menjadi satu-satunya sistem yang bertahan dalam mengha­dapi perubahan dunia. Namun yang menjadi pertanyaannya adalah demokrasi seperti apa ? Jika kita mengadopsi demok­rasi yang dipraktekan oleh negara-negara barat, ada baiknya kita mengadopsi dengan baik, dan tidak sete­ngah-setengah sehingga menim­bulkan begitu banyak salah kaprah dalam aplikasinya di dalam negeri. Bahkan Amerika Serikat tidak melaksanakan pemilihan langsung dalam pemilihan presidennya.

Lalu sudah sepantasnya kita bertanya demokrasi apa sesung­guhnya yang kita laksanakan. Lebih jauh lagi, mungkin perlu kita mengigat kembali pesan Cicero, “naik tanpa  persiapan, turun tanpa penghormatan”. Maka apapun kebijakan yang akan diambil oleh pemerintah terhadap sistem pelaksanaan pilkada, ada baiknya masya­rakat kita diberikan pema­haman yang cukup menge­nai politik. Berbeda dengan Myan­mar yang rela ditahan demi mendapatkan hak politiknya, Indonesia bukanlah negara yang memahami politik sede­mikian dalam. Sudahkah partai politik melaksanakan tugasnya berupa memberikan pendidikan politik kepada masyarakat?

Namun sebelum membahas perpolitikan itu lebih jauh, sebagai bangsa dan negara ini ada baiknya kita memikirkan masa depan bangsa ini, masa depan generasi penerus yang akan menjamin keberlangsu­ngan negara ini dalam existing­nya dalam peta internasional. Situasi yang dihadapi oleh bangsa yang kita cintai ini kian hari kian ekstrem, ada perlu­nya kita mengambil langkah yang cukup ekstrim pula untuk kebaikan masa depan.

Mungkin sudah masanya kita mempercayakan masa depan bangsa dan negara kita ini kepada generasi penerus yang diberikan pendidikan yang baik dan kesempatan yang layak, sehingga tidak lagi kita mendengar begitu banyak generasi muda yang menerima beasiswa dari negara tetangga dan kemudian mengganti ke­war­g­anegaraannya. Cobalah se­je­nak kita tidak lagi berorien­ta­si kepada aspek politik suatu bang­sa, tapi kita mengorbankan egoisme status quo itu dengan me­nempatkan pembinaan pendi­dikan dalam urutan tera­tas dalam skala prioritas. Me­mang hal itu mungkin tidak a­­kan menjadi populer dan tren, te­­tapi sebaiknya kita yakini bahwa berdikarinya sebuah ne­gara tidak bergantung kepada trend ataupun popularitas, teta­pi terkait dengan good will peme­­rintah dan konsistensi dalam melaksanakan good will tersebut.

Kepada wakil rakyat yang sama-sama kita hormati, perlu kita gantungkan harapan agar tidak terjadinya lost generation dalam bangsa kita ini, berkorbanlah mereka demi orang-orang yang akan meneruskan perjuangan mereka di masa yang jauh akan datang. Tetap­kanlah keputusan yang me­mang akan berdampak positif dalam jangka yang panjang. Sudah bukan saatnya politik dijadikan komoditi jual beli demi suara rakyat. Dapat pula kita selidiki dalam pelaksanaan pilkada langsung, berapa banyak biaya yang dikeluarkan pemerintah, dan berapa banyak masyarakat yang menggunakan hal pilihnya, jika memang itu tidak sebanding, kenapa kita harus memaksakan hal yang populer tetapi membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara ke depan. Pertanya­annya adalah mampukan kita membuat suatu kebijakan yang akan merubah bangsa kita ke depan demi kebaikan bangsa dan negara. Dapat pula kita saksikan bahwa dalam pilkada langsung yang cenderung “memenangi” pilkada adalah kelompok yang tergabung ke dalam golput, hal ini secara langsung maupun tidak lang­sung mempengaruhi legitimasi kepala daerah yang terpilih, sehingga sering kita mendengar kerusuhan yang dilatar­bela­kangi oleh pilkada. Pemilihan Kepala Daerah oleh DPRD memang tidak menjamin akan segala halnya berlangsung dengan sempurna, namun jika kita mengambil secara umum, ada baiknya negara tidak membayar terlalu mahal  untuk dampak-dampak buruk.

Pendiri negara ini tentu tidak membuat sebuah kebija­kan untuk dirinya pribadi, karena pada zaman itu mung­kin tidak seperti zaman sekarang yang terlalu hedonis. Sebagaimana yang dican­tumkan dalam Pancasila yang menjadi dasar negara, ‘Kerak­yatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan’. Mungkin ada baiknya kita kembali menggali hal-hal positif yang ditinggalkan oleh para pendahulu, dibandingkan menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan bangsa dan negara. Namun apapun yang menjadi kebijakan bangsa dan negara yang kita cintai ini ke depan, semoga kita semua yang menjadi stakeholder bangsa ini mampu memberikan yang terbaik dalam melaksanakan tugas dan menjalankan perannya masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar