KMP
Melawan Kehendak Rakyat
Wildan Pramudya ; Head of Data Analyst Division – Indonesia Indicator (i2)
|
INDOPROGRESS,
27 September 2014
GERAKAN Koalisi Merah Putih (KMP) yang mendorong penghapusan pilkada
langsung dalam UU Pilkada merupakan langkah politik yang melawan kehendak
Rakyat. Gejala politik tersebut telah diukur oleh Indonesia Indicator (I2).
I2 adalah lembaga riset berbasis piranti lunak Artificial Intelligence (AI) untuk
menganalisis indikasi politik, ekonomi, sosial di Indonesia melalui
pemberitaan (media mapping). Monitoring dilakukan secara real time, 24 x 7 x
365, dengan cakupan 330 media online nasional dan daerah dalam waktu sebulan
terakhir. Metode pengumpulan dilakukan oleh perangkat lunak crawler (robot)
secara otomatis dengan analisis berbasis AI, semantik, dan text mining.
Masalah RUU Pilkada, sebenarnya bukan isu baru dalam jagad politik
nasional. Pada tahun 2012, rancangan undang-undangan ini sudah mengisi benak
publik dan ruang pemberitaan. Sejauh dari telusuran media, upaya
mempersoalkan dan gagasan untuk meninjau kembali urgensi RUU Pilkada sudah
disuarakan dalam Munas NU dua tahun lalu, namun setelahnya isu ini kembali
mereda.
Dalam rentang 2012 hingga Agustus 2014, rata-rata pemberitaan RUU
Pilkada tidak lebih dari 250 eksposur per bulannya. Pemberitaan ini menjadi
gegar politik dan mencuat secara spektakuler dengan capaian angka 8.490
ekspos. Hal ini tidak lain dikarenakan move politik Koalisi Merah Putih di
parlemen yang mendorong penghapusan pilkada langsung dalam RUU Pilkada. Tak
pelak, dalam sebulan terakhir pemberitaan ini menjadi perhatian media
nasional maupun lokal di hampir seluruh wilayah Indonesia.
Pro dan kontra tak bisa dihindari. Polaritas politik pun membelah diri:
yang mendukung RUU Pilkada vis a vis yang menolak RUU pilkada. Dari pemetaan
konten media online, argumen yang mendasari masing-masing kubu dapat
dikategorikan argumen empiris, politis dan normatif, sebagaimana tabel berikut.
Dalih empiris yang digunakan oleh KMP untuk menghapuskan pilkada
langsung – pada tingkat tertentu – tidak bisa disangkal bahwa dengan pilkada
langsung lebih banyak memunculkan mudharat (kerugian) daripada manfaat,
seperti boros anggaran, politik uang, korupsi hingga terjadinya amuk massa.
Akan tetapi, bagi kalangan yang menolak RUU Pilkada, dalih mereka
dianggap mengabaikan semangat zaman, kurang proporsional tersebab tidak ada
data, misalnya, yang menunjukkan korelasi positif dan linier antara maraknya
korupsi dengan pilkada langsung. Maraknya politik uang, secara politis,
muncul bukan karena pilkada langsung, melainkan karena masih adanya oligarki
dan kartel politik yang merupakan praktik politik yang sudah hidup jauh waktu
sebelum pilkada langsung diimplementasikan.
Terendus kuat anggapan bahwa aspirasi menghapus pilkada langsung
sejatinya lebih didorong alasan dendam politik kubu KMP atas kekalahan di
Pilpres, ketimbang dalih empiris maupun normatif lainnya. Adanya anggapan
inilah yang membuat banyaknya penolakan dan mencoba membendung lolosnya RUU
Pilkada.
Melawan
Kehendak Rakyat
Sepuluh tahun lalu, lembaga kajian demokrasi Demos, mengangkat tesis
bahwa demokrasi telah dibajak elit politik. Dalam penelitian tersebut
dikatakan, elite politik menggunakan dan menjadikan demokrasi layaknya benda
milik pribadi yang digunakan untuk kepentingan pribadi dan golongannya
sendiri. Disahkannya RUU Pilkada makin memperkuat kebenaran tesis tersebut.
Namun demikian, seolah tidak ingin diam, pasca putusan DPR RI yang
mensahkan penghapusan pilkada langsung dalam RUU Pilkada, gerakan menolak UU
Pilkada ini tetap menguat di ruang publik. Ini terlihat hingga tanggal 27
September total terdapat 2.224 eksposur (78.5 persen) pemberitaan yang
menolak penghapusan pilkada langsung di 146 media online. Sementara,
pemberitaan yang mendukung penghapusan pilkada langsung hanya memiliki 610
eksposure (21.5 persen) yang tersebar di 112 media online.
Pemberitaan mengenai penolakan penghapusan pilkada langsung di atas,
tersebar secara merata di seluruh penjuru wilayah Indonesia. Dengan
distribusi pemberitaan yang begitu merata, setidaknya bisa dijadikan data
indikatif bahwa — di tataran nasional — gerakan menolak penghapusan pilkada
langsung begitu massif disuarakan. Melalui data ini pula, maka bisa dikatakan
bahwa aspirasi politik KMP yang ngotot menghapus pilkada langsung adalah
sebuah bentuk langkah politik yang melawan kehendak rakyat.
Penolakan yang lebih massif terjadi di linimasa. Sejauh ditunjukkan
dalam data, terdapat situasi yang sangat jomplang. Di satu sisi, terdapat
60.721 (89 persen) kicauan para netizen yang me-mention penolakan terhadap
penghapusan pilkada langsung. Sedangkan di sisi lain, hanya terdapat 7.515
(11 persen) kicauan netizen yang me-mention dukungan untuk menghapus pilkada
langsung. Gerakan menolak penghapusan pilkada langsung, justru makin membesar
pasca pengesahan RUU, yakni pada tanggal 26 September.
Kendati penolakan terhadap RUU/UU Pilkada lebih banyak disuarakan di
ruang publik, dan secara massif diresonansikan di linimasa, nampaknya kicauan
mereka tidak pernah didengar oleh elit politik yang tergabung di Koalisi
Merah Putih di parlemen. Oleh karenya, bila kemudian politisi PKS (dari kubu
KMP) mengklaim ‘keberhasilan’ mereka dalam menghapus pilkada langsung sebagai
kemenangan rakyat, jelas merupakan sebuah kebohongan politik yang menyakiti
dan menistakan rakyat.
Demokrat
sebagai Penentu?
Sudah diprediksi sebelumnya, di atas kertas, secara kalkulasi politik
di parlemen, kubu KMP yang mendesak penghapusan pilkada langsung berpeluang
menang, terlebih lagi jika keputusan dilakukan melalui voting. Akan tetapi, konstelasi berubah ketika SBY sebagai
Pembina cum Ketua Umum Partai Demokrat secara eksplisit menolak penghapusan
pilkada langsung. Pada titik ini harapan publik dilabuhkan kepada SBY (baca:
Demokrat).
Pernyataan SBY untuk mempertahankan pilkada langsung, praktis mendokrak
ekposure Demokrat. Hal ini bisa dilihat dari bagaimana media menyediakan
volume pemberitaan yang cukup besar, terutama pada tanggal 18 September 2014.
Dari 1.806 pemberitaan mengenai penolakan terhadap RUU pilkada,
eksposure Partai Demokrat mencapai posisi tertinggi, yakni 696 news atau
sekitar 38.6 persen pemberitaan. Sementara itu sekitar 14,5 persen dari suara
(pemberitaan) berkaitan dengan PDIP. Merujuk pada data di atas, secara
indikatif bisa dikatakan bahwa dalam konteks RUU Pilkada, Demokrat menjadi
determinan atau penentu arah gerakan tarik menarik pendulum politik.
Pasca RUU Pilkada yang dimenangkan oleh KMP, ekspose Partai Demokrat
kembali meningkat tajam. Namun kali ini, tidak disebabkan oleh harapan baik
rakyat pada partai ini, tapi karena kritik dan kecaman publik atas aksi walk
out (WO) yang dilakukannya di saat-saat menentukan dari sidang DPR. Publik menganggap SBY dan Demokrat telah
melakukan pembiaran atas dijagalnya hak rakyat dalam melakukan pemilihan
langsung kepala daerahnya.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar