Pengkhianatan
Suara Rakyat
Moh Yamin ; Dosen Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin
|
KORAN
JAKARTA, 30 September 2014
Rancangan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada) telah
disahkan menjadi UU Pilkada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada hari Jumat
dini hari (26/9). Hasilnya sangat mengejutkan dan memilukan. Praktis,
gubernur, bupati, maupun wali kota dipilih melalui Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD).
Rakyat yang seharusnya dapat memberikan suara politiknya secara
langsung untuk memilih kepala daerah tidak lagi menjadi realitas. Rakyat yang
sebelumnya mengenal para calon menjadi buta kandidat karena tidak ada
sosialisasi dan kampanye. Kendatipun itu dilakukan, hanya formalitas.
Ketok palu kemarin mengamanatkan pilkada secara tidak langsung. Kini,
rakyat sudah tidak lagi diberikan hak politik untuk memilih langsung. Ini
sangat membahayakan demokrasi yang seharusnya lahir dan bekerja untuk rakyat.
Memilih anggota wakil rakyat secara langsung dan memilih kepala daerah
secara langsung adalah dua hal berbeda. Ketika rakyat memberikan suara
politiknya kepada salah satu calon wakil rakyat, percaya mampu mengemban
amanat politik tersebut. Sementara ketika ada calon wakil rakyat kemudian
tidak terpilih, sesungguhnya rakyat tidak percaya bahwa yang bersangkutan
mampu bekerja untuk rakyat.
Maka, keterpilihan seseorang menjadi wakil terjadi karena suara politik
rakyat secara langsung. Ini berbeda ketika wakil rakyat diberi mandat untuk
memilih kepala daerah. DPRD memilih kepala daerah yang konon merupakan
representasi rakyat berbeda ketika masyarakat sendiri yang memilih. Ini
berarti tidak serta-merta setiap tindakan DPRD dapat disebut suara rakyat.
Pengkhianatan
Dengan kata lain, pemilihan langsung rakyat yang paling tepat.
Seharusnya tidak perlu ada pemilihan secara tidak langsung. UU Pilkada yang
mengamanatkan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD
adalah bentuk pengkhianatan hak rakyat.
Suara politik rakyat dikebiri. Suara rakyat dibunuh dengan memproduksi
undang-undang yang sangat jelas mengandung kepentingan politik sektoral.
Suara rakyat telah menjadi komoditas politik para wakil di daerah untuk
kemudian bermain atas nama kepentingan golongan.
Suara politik rakyat berada dalam dunia transaksi di antara mereka yang
berkepentingan untuk berkuasa. Adalah berbeda ketika rakyat sendiri yang
memilih. Pilihan rakyat berasal dari nurani, terlepas masih ada kepentingan
tertentu, namun itu masih dalam batas toleran. Sementara, ketika DPRD
memilih, mereka sangat jelas mewakili kepentingan partai dan tidak akan lepas
dari kepentingan titipan.
Dua hal tersebut kemudian tidak bisa disamatunggalkan. Dengan demikian,
vox populi tidak lagi vox dei (suara rakyat,tidak lagi suara tuhan). Dia kini
sudah mati bersamaan dengan kemunculan UU Pilkada. Suara rakyat yang berasal
dari nurani terdalam setiap insan dan diidentikkan dengan suara Tuhan telah
wafat. Kini, tidak ada lagi kebenaran atas kebenaran, kebaikan atas kebaikan,
moralitas atas moralitas.
Tidak ada lagi sebuah kerja kebangsaan dan kemanusiaan yang didasarkan
atas nilai-nilai ketuhanan untuk kemanusiaan. Sebab yang menentukan kepala
daerah tidak lagi rakyat, tapi DPRD.
Rakyat sudah dibuang sedemikian jauh. Ketika ada kontestasi pemilihan
kepala daerah, mereka hanya menjadi penonton. Kendatipun kemudian terpilih
kepala daerah, warga belum tentu mengenalnya. DPRD memilih tertutup
mengesankan serba abu-abu dan tidak transparan. Yang lebih ironis, kepala daerah
bekerja untuk DPRD. Tidak ada lagi pengabadian untuk rakyat. Mereka mengabdi
pada DPRD. Dia hanya melayani DPRD.
Wakil rakyat sudah melahirkan putusan pemilihan kepala daerah lewat
DPRD. Tentu, mereka yang sudah berjuang di era reformasi 1998 sakit hati
dengan ulah DPR yang sangat arogan dan destruktif. Amanat reformasi 1998
sudah dicederai. Keberpihakan untuk menuju transparansi dalam bentuk apa pun
tidak lagi dilakukan.
Ini yang disebut matinya demokrasi dan suara rakyat. Atas kondisi
tersebut, elemen masyarakat yang masih memiliki nurani harus bergerak
melakukan judicial review ke
Mahkamah Konstitusi (MK). Harapannya pemilihan kepala daerah kemudian kembali
dilakukan secara langsung.
Daerah-daerah yang kini sedang bersiap menuju pilkada selanjutnya tetap
bersandar pada pemilihan langsung dalam rangka melahirkan kepala daerah yang
berhati nurani. Kita semua menghendaki agar kepala daerah di republik ini
akan mirip Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya, atau Ridwan Kamil, Wali Kota
Bandung.
Tentu, beberapa kepala daerah yang sudah berprestasi. Keterpilihan
mereka secara langsung menunjukkan bahwa rakyat memilih pemimpinnya dengan
hati nurani. Sangat wajar apabila mereka selanjutnya bekerja untuk rakyat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar