Tiga
Cerita
Trias Kuncahyono ; Kolumnis “Kredensial” Kompas
|
KOMPAS,
28 September 2014
ADA dua cerita politik yang menarik pekan lalu. Satu cerita berasal
dari Skotlandia dan cerita lain dikisahkan dari Afganistan. Kedua cerita itu
sama menariknya.
Cerita pertama yang berasal dari Skotlandia mengisahkan referendum yang
digelar di negeri itu. Referendum yang dilaksanakan pada Kamis, 18 September,
itu untuk menentukan masa depan Skotlandia. Satu pertanyaan diajukan kepada
rakyat Skotlandia: apakah sebaiknya Skotlandia menjadi negara merdeka.
Merdeka berarti berpisah dari Inggris Raya, yang sudah mereka jalani 307
tahun.
Lewat secarik kertas, rakyat dimintai pendapat, apa keinginan mereka:
tetap bergabung dalam Inggris Raya atau merdeka. Dan, jawabannya, 1.617.989
orang atau 44,5 persen memilih ”ya”, mendukung kemerdekaan. Sebanyak
2.001.926 orang atau 55,5 persen memilih ”tidak”, artinya tetap memilih
berada dalam Inggris Raya.
Rakyat sudah bicara. Rakyat sudah menyampaikan kehendaknya. Perkara
selesai. Bukankah Inggris adalah negara demokrasi, demokrasi parlementer
dengan raja (ratu) sebagai kepala negara. Dalam negara demokrasi, kedaulatan
berada di tangan rakyat. Bukankah inti dari demokrasi adalah rakyat: suara
rakyat, kehendak rakyat.
Selesai sudah kisah politik di Skotlandia. Hasil akhir diterima dengan legawa dan kebesaran hati oleh yang
kalah. Demokrasi memungkinkan kekuatan-kekuatan, kelompok-kelompok politik,
yang dalam konflik menaati hasil pemilihan. Dengan catatan, di sana ada
kematangan berdemokrasi.
Cerita yang terjadi di Afganistan adalah cara kedua dalam menyelesaikan
krisis politik. Hasil pemilihan presiden memunculkan krisis politik. Menurut
hitungan komite pemilu, pemilu presiden dimenangi oleh Ashraf Ghani, tetapi
Abdullah Abdullah sebagai lawan Ashraf Ghani tidak menerima putusan itu dan
tetap mengklaim sebagai pemenang pemilu.
Krisis politik itu pelan-pelan menyeret Afganistan mendekati jurang
perang saudara yang pasti akan menghancurkan negeri yang nyaris tidak pernah
berhenti dari konflik bersenjata ini. Ashraf Ghani berasal dari etnik
Pashtun, sedangkan Abdullah Abdullah beretnik Tajik. Pashtun adalah etnik
terbesar di Afganistan, 42-45 persen dari penduduk Afganistan (sekitar 32
juta jiwa). Sementara Tajik etnik terbesar kedua, 25 persen. Bukan rahasia
bahwa persaingan dan pertarungan antar-etnik sangat kuat di negeri itu, yang
berkali-kali memicu perang saudara.
Di tengah kebuntuan politik itu, ditemukanlah ”jalan tengah” untuk
mengakomodasi kedua belah pihak, yang lebih penting lagi untuk mencegah
perang saudara. Ashraf Ghani ditetapkan sebagai presiden, sementara Abdullah
Abdullah menduduki jabatan seperti perdana menteri. Memang jalan tengah ini
”menyimpang” dari prinsip demokrasi, prinsip pemilu demokratis. Akan tetapi,
inilah jalan yang ditempuh Afganistan demi keutuhan bangsa meski mengandung
berbagai risiko persaingan dua eksekutif itu jika saling percaya di antara
mereka melemah atau bahkan hilang.
Lalu, yang terjadi di negeri ini, Indonesia, adalah cerita ketiga.
Pemilu sudah selesai, pemenang sudah ditentukan oleh rakyat. Namun, riak-riak
ketidakpuasan masih muncul di mana-mana, dalam berbagai bentuk, wajah, dan
tindakan, yang hanya membuat rakyat mengelus dada, prihatin. Apakah ini yang
disebut politik santun? Politik berhati? Politik bermartabat? Semua itu
dirasakan dan disaksikan rakyat saban hari di negeri ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar