Selasa, 30 September 2014

Tiga Cerita

Tiga Cerita

Trias Kuncahyono  ;   Kolumnis “Kredensial” Kompas
KOMPAS,  28 September 2014

                                                                                                                       


ADA dua cerita politik yang menarik pekan lalu. Satu cerita berasal dari Skotlandia dan cerita lain dikisahkan dari Afganistan. Kedua cerita itu sama menariknya.

Cerita pertama yang berasal dari Skotlandia mengisahkan referendum yang digelar di negeri itu. Referendum yang dilaksanakan pada Kamis, 18 September, itu untuk menentukan masa depan Skotlandia. Satu pertanyaan diajukan kepada rakyat Skotlandia: apakah sebaiknya Skotlandia menjadi negara merdeka. Merdeka berarti berpisah dari Inggris Raya, yang sudah mereka jalani 307 tahun.

Lewat secarik kertas, rakyat dimintai pendapat, apa keinginan mereka: tetap bergabung dalam Inggris Raya atau merdeka. Dan, jawabannya, 1.617.989 orang atau 44,5 persen memilih ”ya”, mendukung kemerdekaan. Sebanyak 2.001.926 orang atau 55,5 persen memilih ”tidak”, artinya tetap memilih berada dalam Inggris Raya.

Rakyat sudah bicara. Rakyat sudah menyampaikan kehendaknya. Perkara selesai. Bukankah Inggris adalah negara demokrasi, demokrasi parlementer dengan raja (ratu) sebagai kepala negara. Dalam negara demokrasi, kedaulatan berada di tangan rakyat. Bukankah inti dari demokrasi adalah rakyat: suara rakyat, kehendak rakyat.

Selesai sudah kisah politik di Skotlandia. Hasil akhir diterima dengan legawa dan kebesaran hati oleh yang kalah. Demokrasi memungkinkan kekuatan-kekuatan, kelompok-kelompok politik, yang dalam konflik menaati hasil pemilihan. Dengan catatan, di sana ada kematangan berdemokrasi.

Cerita yang terjadi di Afganistan adalah cara kedua dalam menyelesaikan krisis politik. Hasil pemilihan presiden memunculkan krisis politik. Menurut hitungan komite pemilu, pemilu presiden dimenangi oleh Ashraf Ghani, tetapi Abdullah Abdullah sebagai lawan Ashraf Ghani tidak menerima putusan itu dan tetap mengklaim sebagai pemenang pemilu.

Krisis politik itu pelan-pelan menyeret Afganistan mendekati jurang perang saudara yang pasti akan menghancurkan negeri yang nyaris tidak pernah berhenti dari konflik bersenjata ini. Ashraf Ghani berasal dari etnik Pashtun, sedangkan Abdullah Abdullah beretnik Tajik. Pashtun adalah etnik terbesar di Afganistan, 42-45 persen dari penduduk Afganistan (sekitar 32 juta jiwa). Sementara Tajik etnik terbesar kedua, 25 persen. Bukan rahasia bahwa persaingan dan pertarungan antar-etnik sangat kuat di negeri itu, yang berkali-kali memicu perang saudara.

Di tengah kebuntuan politik itu, ditemukanlah ”jalan tengah” untuk mengakomodasi kedua belah pihak, yang lebih penting lagi untuk mencegah perang saudara. Ashraf Ghani ditetapkan sebagai presiden, sementara Abdullah Abdullah menduduki jabatan seperti perdana menteri. Memang jalan tengah ini ”menyimpang” dari prinsip demokrasi, prinsip pemilu demokratis. Akan tetapi, inilah jalan yang ditempuh Afganistan demi keutuhan bangsa meski mengandung berbagai risiko persaingan dua eksekutif itu jika saling percaya di antara mereka melemah atau bahkan hilang.

Lalu, yang terjadi di negeri ini, Indonesia, adalah cerita ketiga. Pemilu sudah selesai, pemenang sudah ditentukan oleh rakyat. Namun, riak-riak ketidakpuasan masih muncul di mana-mana, dalam berbagai bentuk, wajah, dan tindakan, yang hanya membuat rakyat mengelus dada, prihatin. Apakah ini yang disebut politik santun? Politik berhati? Politik bermartabat? Semua itu dirasakan dan disaksikan rakyat saban hari di negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar